Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Oposisi gaya hancou klaha

Di peukan aceh seseorang berpidato seperti orang gila, mengkritik kebijaksanaan demokrasi dibawah kekuasaan soekarno. dia mengesankan sebagai orang gila agar pesan politik sampai tanpa gangguan.

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MARI kita kuburkan partai, kuburkan, kuburkan!" teriak Soekarno, satu tahun setelah Pemilu yang pertama terlaksana. Tidak hanya Soekarno yang jengkel dengan partai-partai. Juga Hatta, sang demokrat. "Partai-partai," demikian Feith mengutip, "sudah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, negara menjadi alatnya. Kedudukan pemerintah sudah menjadi pesuruh partai-partal politik." Di samping A.H. Nasution menganjurkan Junta Pemuda untuk menggantikan situasi oposan partai, Soekarno pada akhirnya membuat klimaks: pembubaran partai-partai (oposan), setelah Konstituante dibubarkan. Politik 'nonoposisi' Orde Baru tampaknya merupakan kelanjutan dari pemerintah sebelumnya. Perbedaannya terletak pada corak kebijaksanaan Orde Baru yang bersifat lebih konseptual, direfleksikan dari asumsi-asumsi kultural masyarakat Indonesia. Kerangka yang dikemukakan adalah 'Demokrasi Pancasila', dan bahasanya yang lebih teknis 'konsensus politik'. Rosihan Anwar menyebutkan di tahun 1973 (The Indonesian Quaterly, I:3), ketika untuk pertama kali Pak Harto terpilih kembali bahwa tiadanya calon tandingan untuk presiden adalah manifestasi konsensus politik, dan dengan sendirinya konsisten dengan prinsip Demokrasi Pancasila. Dan bahwa sikap oposisi adalah manifestasi steamroller politics, pemaksaan politik. Corak konsensus semacam ini terus berlangsung sampai ke tingkat lebih rendah. Contoh terakhir, terpilihnya Pak Sudharmono sebagai ketua umum Golongan Karya. Dengan melihat proses-proses itu, sebenarnya kita telah bisa mencanangkan, dengan gembira, berakhirnya masa oposisi dalam sistem politik Indonesia. Tetapi corak oposisi yang berlangsung selama ini tidaklah unik. Kalau tidak mengambil bentuk formal, maka dilaksanakan dengan kekerasan. Pemberontakan yang pernah terjadi di beberapa tempat memberikan corak kultural-ideologis - sejauh tesis Van Dijk bisa dipegang - yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan bersenjata. Maka, amatlah menarik melihat suatu gaya oposisi unik di Aceh, di sekitar 1963-1965. Tahun-tahun itu adalah masa ketika Gerakan DI/TII Daud Beureu'eh baru saja berakhir, dan proses Pemantapan Demokrasi Terpimpinnya Soekarno baru digerakkan. Oposisi kultural ideologis telah berakhir. Kritik Daud Beureu'eh yang menuduh pemerintah Soekarno berhasrat mengembalikan zaman Kerajaan Majapahit dan Jawanisasi tidak lagi terdengar. Keamanan sudah jalan. Dalam situasi itulah muncul seseorang di tempat-tempat ramai lebih sering di Peukan Aceh - berbicara dan berpidato. Orang ramai menyebutnya gila - dan memang ia mengesankan diri sebagai orang gila. Diawali kata-kata "Hancou klaha! Naa loum poudouk!" ia berpidato, mengkritik kebijaksanaan Demokrasi Terpimpin. Baginya demokrasi semacam itu hanya alat pengesahan pemupukan kekuasaan di satu tangan. Tetapi yang terutama menjadi sasaran kritiknya adalah proses komunikasi Indonesia di bawah bayang-bayang kekuasaan Soekarno. "Tidak hanya Islam akan terancam dengan gejala ini, tetapi juga agama-agama lain. Termasuk Nasrani!" ujarnya. Itulah yang penulis dengar setiap hari, ketika masih kanak-kanak. Oposan ini selalu meminta-minta sebelum berpidato. "Goloum jep kopi, pakiban meupidato" Belum minum kopi, bagaimana bisa pidato? Demikian ujarnya setiap orang memintanya bicara. Meski demikian, kawasan 'gerakan'-nya ternyata tidak hanya di Banda Aceh. Dengan gaya orang gila yang sama, ia berkelana ke beberapa kota lainnya. Sampai ke Meulaboh, Manggeng, dan Labuhan Haji. Hampir setiap orang di kota-kota itu mengenalnya, sampai pun kanak-kanak. Sikap kegilaannya dan materi pidato yang disampaikannya, bagaimanapun punya fungsi tersendiri. Betapa pun ia dianggap gila, ia telah menyebarkan kesadaran partisipasi politik, pendidikan politik, dan sosialisasi politik di masyarakat Aceh. Dan baru pada bulan Oktober yang lalu penulis ketahui, sebenarnya ia tidak gila. Dengan sengaja ia mengesankan diri sebagai orang gila agar pesan-pesan politiknya bisa sampai kepada orang banyak tanpa gangguan. Beberapa tahun kemudian, ia hilang. Kabarnya meninggal - entah di mana. Dan yang mendorong tulisan ini lahir justru kelenyapannya yang tidak wajar itu. Gaya oposisinya yang unik pun dibungkam dengan cara yang unik pula. Dalam keadaan sakit, dulu, ia berjalan maksudnya pulang ke Labuhan Haji, kota kelahirannya. Tapi ia hanya mampu sampai ke Manggeng. Dan di kota kecil yang sunyi inilah nyawanya lepas. Ia mati diracun orang. Ternyata, sikap gilaan pun tidak menjamin keamanan gerak oposisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus