SONAL Mansingh menghaturkan sembah kepada bumi dan memuja dewa
Ganesha. Penari dari India itu menaburkan bunga-bunga. Maka,
dalam sekejap, penonton yang hampir memenuhi Graha Bhakti
Budaya, Taman Ismail Marzuki, 6 November yang lalu, tahu bahwa
yan di pentas bukan sembarang penari. Sikap-sikap dasar
tribangga (tekukan tiga dengan tekanan di lambung), yang
melandasi kebenaran dan keterampilan gerak tari menurut tradisi
Hindu, disuguhkan dengan prima. Juga bawa (emosi), raga
(melodi), dan tala (irama) dibawakan dengan meyakinkan.
Di India tari dianggap sangat penting. Tari dan drama bagi orang
India adalah pemberian atau anugerah Tuhan. Menurut kepercayaan
Hindu, Dewa Syiwa menciptakan dunia ini sambil menari. Dan
sebagai Nataraja, Syiwa adalah rajanya para penari dan aktor.
Tak heran jika telaah tentang drama dan tari telah berkembang
dalam taraf lanjut di negeri Mahatma Gandhi itu.
Ini terbukti, misalnya, dengan adanya buku pintar drama dan tari
Natyasastra, buah karya wiku Bharata 2.000 tahun yang lampau.
Buku ini merupakan ensiklopedi drama dan tari tradisional India,
dan menjadi sendi utama bagi tari klasik India yang mana pun.
Ada tiga unsur utama yang dibahas buku ini. Nritta (gerak tari
yang murni), Natya (gerak paduan antara drama dan tari), dan
Nritya (gerakan tari yang ekspresif atau interpretatif, atau
yang melibatkan rasa dan emosi). Tapi, buku yang dijadikan
pedoman dasar drama dan tan yang hampir sempurna ini sekaligus
merupakan kelebihan dan keterbatasan. Sebab, kemudian muncul
anggapan seolah-olah tak ada lagi kemunkinan lain selain
menuruti yang tersurat. Itulah sebabnya, pembaharuan-pembaharuan
tari India banyak yang tetap berkait erat dengan kaidah-kaidah
baku.
Odissi dan Bharatanatyam, yang malam itu dibawakan Sonal
Mansingh dengan eloknya, merupakan dua dari enam tari klasik
India. Keduanya merupakan jenis tarian yang semula berkembang di
candi-candi dan ditarikan oleh hanya seorang penari wanita.
Odissi (yang terdapat di daerah Orissa, India Timur) baru pada
tahun 1950-an dibawa keluar dari candi. Dalam tari ini tekukan
tubuh, gerakan tangan, dan sikap-sikap berjalan merupakan
rekonstruksi dari posepose yang terpahat di candi-candi di
daerah Orissa, yang juga dapat ditemui di dalam
manuskrip-manuskrip lama. Dan Bharatanatyam, aslinya adalah
tarian yang dilakukan oleh para devadasi (dara ting-ting) di
candi-candi di daerah Tamilnadu (India Selatan).
Dalam perkembangan selanjutnya - masih dalam strukturnya yang
jelas, abstraksi ritmisnya yang murni dan ketentuan-ketentuan
visualnya yang nyata - masuk unsur-usur baru ke dalam kedua
jenis tari itu dipadukan gerakan tangan (indra) yang mengandung
arti, dan abhinaya (cara pengungkapan emosi lewat mimik muka)
untuk menginterpretasikan berbagai tema cerita oleh seorang
penari saja. Baru dalam perkembangan sekarang kedua gaya itu
mencoba menyajikan banyak peran, yang masing-masing membawakan
sebuah karakter.
Dalam salah satu nomor yang ditampilkan, (Nawarasa), Sonal
Mansingh menginterpretasikan ke-9 rasa manusia lewat bingkai
cerita Rama. Shringara (cinta): ketika pandangan pertama terjadi
antara Rama dan Sita. Wira (pahlawan: ketika Rama berhasil
mematahkan busur pusaka dan memenangkan sayembara. Karunya
(iba): ketika seorang sahaya meminta belas kasihan Rama. Hasya
(lucu): ketika Sarpakenaka merayu Rama. Adbhuta (heran): ketika
kera-kera berhasil membuat tambak ke Alengka, dan seterusnya.
Bagi penonton India, Rama dan Krishna bukanlah sekadar
tokoh-tokoh dalam sebuah wiracarita. Tetapi merupakan inkarnasi
Dewa Wishnu, dewa pelindung yang memelihara keseimbangan,
kebaikan, dan kejahatan di dalam hidup manusia. Dewa yang dalam
berbagai bentuk inkarnasinya hidup bersama manusia tanpa jarak.
Jika nomor-nomor natya disajikan lewat "bahasa dan kalimat
gerak" yang indah, maka nomor-nomor nritta (Pallawi) disuguhkan
dalam gerak tarian yang murni tanpa beban cerita. Menyaksikan
ketepatan antara irama gerak kaki, tubuh, tangan, dan kepala,
dan irama pukulan Kendang yang semakin cepat, yang dipadu dengan
dendang syair dengan iringan sitar dan pakhwaj (gendang)
memberikan kepuasan tersendiri. Lantas gerak dan iringan yang
berhenti mendadak, sunyi yang jatuh ke panggung, menyuguhkan
surpnse yang langka.
Nomor tari dari jenis Bharatanatyam disuguhkan Sonal juga dengan
meminjam bingkai cerita Rama: Sita Swayamvaram atau Sayembara
Sita. Jenis tari Odissi lebih menampilkan aliran gerak tari yang
luwes, liris, dan puitis. Bharatanatyam, lebih tegas dalam
ritme, garis, dan geraknya. Dan Posepose ketika Sonal
menghentikan gerak dalam posisi tertentu, bak sebuah patung,
lebih terasa dalam jenis tari klasik yang ini.
"Di India tak banyak penari yang menguasai dua gaya tari klasik
sekaligus," tutur Sonal Mansingh. Sebab, dibutuhkan disiplin
latihan yang ketat. Sonal Mansingh sendiri berlatih empat jam
sehari, enam hari dalam seminggu. Tiga hari khusus untuk Odissi
dan tiga hari untuk Bharatanatyam.
Penari ini punya stamina yang luar biasa, terbukti dari
pertunjukannya di Jakarta ini. la baru mendarat di Halim
Perdanakusuma pukul 20.10, langsung ke TIM. Dan persis pukul
21.00 ia mulai menampilkan beberapa nomor tari yang membutuhkan
tenaga, bersambungan, praktis tanpa istirahat secukupnya.
"Capai?" tanya saya pagi hari menjelang lokakarya dengan
mahasiswa tari IKJ. "Tidak," jawabnya, riang. Dan kondisi itu
ternyata tidak mempengaruhi mutu penampilannya. Saya ingat,
setahun yang lewat dalam sebuah pertemuan seniman di Calcutta ia
berkata, "Seorang penari yang mencapai prestasi lewat latihan
yang tekun dan disiplin yang teguh, akan selalu siap tampil di
pentas. Tak akan la )atuh d bawah nilai enam. Sebab di dalam
tubuhnya terdapat sumber yang dapat menghidupkan gerak laku
kepenariannya di atas pentas."
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini