Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pahatan-pahatan tari dari candi

Penari india, sonal mansingh, menyuguhkan nomor tari dari kuil-kuil di india. penari ini punya stamina luar biasa terbukti dari pertunjukkannya di tim jakarta. (tr)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SONAL Mansingh menghaturkan sembah kepada bumi dan memuja dewa Ganesha. Penari dari India itu menaburkan bunga-bunga. Maka, dalam sekejap, penonton yang hampir memenuhi Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 6 November yang lalu, tahu bahwa yan di pentas bukan sembarang penari. Sikap-sikap dasar tribangga (tekukan tiga dengan tekanan di lambung), yang melandasi kebenaran dan keterampilan gerak tari menurut tradisi Hindu, disuguhkan dengan prima. Juga bawa (emosi), raga (melodi), dan tala (irama) dibawakan dengan meyakinkan. Di India tari dianggap sangat penting. Tari dan drama bagi orang India adalah pemberian atau anugerah Tuhan. Menurut kepercayaan Hindu, Dewa Syiwa menciptakan dunia ini sambil menari. Dan sebagai Nataraja, Syiwa adalah rajanya para penari dan aktor. Tak heran jika telaah tentang drama dan tari telah berkembang dalam taraf lanjut di negeri Mahatma Gandhi itu. Ini terbukti, misalnya, dengan adanya buku pintar drama dan tari Natyasastra, buah karya wiku Bharata 2.000 tahun yang lampau. Buku ini merupakan ensiklopedi drama dan tari tradisional India, dan menjadi sendi utama bagi tari klasik India yang mana pun. Ada tiga unsur utama yang dibahas buku ini. Nritta (gerak tari yang murni), Natya (gerak paduan antara drama dan tari), dan Nritya (gerakan tari yang ekspresif atau interpretatif, atau yang melibatkan rasa dan emosi). Tapi, buku yang dijadikan pedoman dasar drama dan tan yang hampir sempurna ini sekaligus merupakan kelebihan dan keterbatasan. Sebab, kemudian muncul anggapan seolah-olah tak ada lagi kemunkinan lain selain menuruti yang tersurat. Itulah sebabnya, pembaharuan-pembaharuan tari India banyak yang tetap berkait erat dengan kaidah-kaidah baku. Odissi dan Bharatanatyam, yang malam itu dibawakan Sonal Mansingh dengan eloknya, merupakan dua dari enam tari klasik India. Keduanya merupakan jenis tarian yang semula berkembang di candi-candi dan ditarikan oleh hanya seorang penari wanita. Odissi (yang terdapat di daerah Orissa, India Timur) baru pada tahun 1950-an dibawa keluar dari candi. Dalam tari ini tekukan tubuh, gerakan tangan, dan sikap-sikap berjalan merupakan rekonstruksi dari posepose yang terpahat di candi-candi di daerah Orissa, yang juga dapat ditemui di dalam manuskrip-manuskrip lama. Dan Bharatanatyam, aslinya adalah tarian yang dilakukan oleh para devadasi (dara ting-ting) di candi-candi di daerah Tamilnadu (India Selatan). Dalam perkembangan selanjutnya - masih dalam strukturnya yang jelas, abstraksi ritmisnya yang murni dan ketentuan-ketentuan visualnya yang nyata - masuk unsur-usur baru ke dalam kedua jenis tari itu dipadukan gerakan tangan (indra) yang mengandung arti, dan abhinaya (cara pengungkapan emosi lewat mimik muka) untuk menginterpretasikan berbagai tema cerita oleh seorang penari saja. Baru dalam perkembangan sekarang kedua gaya itu mencoba menyajikan banyak peran, yang masing-masing membawakan sebuah karakter. Dalam salah satu nomor yang ditampilkan, (Nawarasa), Sonal Mansingh menginterpretasikan ke-9 rasa manusia lewat bingkai cerita Rama. Shringara (cinta): ketika pandangan pertama terjadi antara Rama dan Sita. Wira (pahlawan: ketika Rama berhasil mematahkan busur pusaka dan memenangkan sayembara. Karunya (iba): ketika seorang sahaya meminta belas kasihan Rama. Hasya (lucu): ketika Sarpakenaka merayu Rama. Adbhuta (heran): ketika kera-kera berhasil membuat tambak ke Alengka, dan seterusnya. Bagi penonton India, Rama dan Krishna bukanlah sekadar tokoh-tokoh dalam sebuah wiracarita. Tetapi merupakan inkarnasi Dewa Wishnu, dewa pelindung yang memelihara keseimbangan, kebaikan, dan kejahatan di dalam hidup manusia. Dewa yang dalam berbagai bentuk inkarnasinya hidup bersama manusia tanpa jarak. Jika nomor-nomor natya disajikan lewat "bahasa dan kalimat gerak" yang indah, maka nomor-nomor nritta (Pallawi) disuguhkan dalam gerak tarian yang murni tanpa beban cerita. Menyaksikan ketepatan antara irama gerak kaki, tubuh, tangan, dan kepala, dan irama pukulan Kendang yang semakin cepat, yang dipadu dengan dendang syair dengan iringan sitar dan pakhwaj (gendang) memberikan kepuasan tersendiri. Lantas gerak dan iringan yang berhenti mendadak, sunyi yang jatuh ke panggung, menyuguhkan surpnse yang langka. Nomor tari dari jenis Bharatanatyam disuguhkan Sonal juga dengan meminjam bingkai cerita Rama: Sita Swayamvaram atau Sayembara Sita. Jenis tari Odissi lebih menampilkan aliran gerak tari yang luwes, liris, dan puitis. Bharatanatyam, lebih tegas dalam ritme, garis, dan geraknya. Dan Posepose ketika Sonal menghentikan gerak dalam posisi tertentu, bak sebuah patung, lebih terasa dalam jenis tari klasik yang ini. "Di India tak banyak penari yang menguasai dua gaya tari klasik sekaligus," tutur Sonal Mansingh. Sebab, dibutuhkan disiplin latihan yang ketat. Sonal Mansingh sendiri berlatih empat jam sehari, enam hari dalam seminggu. Tiga hari khusus untuk Odissi dan tiga hari untuk Bharatanatyam. Penari ini punya stamina yang luar biasa, terbukti dari pertunjukannya di Jakarta ini. la baru mendarat di Halim Perdanakusuma pukul 20.10, langsung ke TIM. Dan persis pukul 21.00 ia mulai menampilkan beberapa nomor tari yang membutuhkan tenaga, bersambungan, praktis tanpa istirahat secukupnya. "Capai?" tanya saya pagi hari menjelang lokakarya dengan mahasiswa tari IKJ. "Tidak," jawabnya, riang. Dan kondisi itu ternyata tidak mempengaruhi mutu penampilannya. Saya ingat, setahun yang lewat dalam sebuah pertemuan seniman di Calcutta ia berkata, "Seorang penari yang mencapai prestasi lewat latihan yang tekun dan disiplin yang teguh, akan selalu siap tampil di pentas. Tak akan la )atuh d bawah nilai enam. Sebab di dalam tubuhnya terdapat sumber yang dapat menghidupkan gerak laku kepenariannya di atas pentas." Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus