DIIRINGI tabuhan gong dan kataka, nyanyian tradisional Sumba,
satu per satu kerbau yang bertanduk panjang dan mulus dibawa ke
tanah lapang di depan Istana. Kedua tanduk hewan itu diikat,
lalu ditarik dari dua arah. Seorang algojo muncul dengan parang
mengkilap. Sekali parang diayun, darah muncrat dari leher
binatang itu.
Kerbau jatuh tersunkur, tetapi kemudian bangkit memberontak.
Gong semakin keras dipukul. Algojo seperti kesurupan, sekali
lagi mengayunkan pedangnya, sampai kerbau itu tak bergerak lagi.
Tak kurang dari 10 kerbau pilihan bernasib seperti itu. Darah
binatang itu dihamburkan agar membasahi seluruh halaman Istana
yang berdebu.
Inilah puncak acara yang dinantikan masyarakat dari rangkaian
upacara penguburan Raja Pau di Malolo, Kabupaten Sumba Timur
(NTT), akhir bulan lalu. "Darah kerbau yang menggenangi tanah
itu adalah pertanda kami memohon kesuburan di bumi yang gersang
ini," kata Umbu Nggiku, 55, pewaris Kerajaan Pau saat ini.
Selain 10 kerbau yang disembelih dengan upacara adat itu, masih
banyak yang disembelih secara biasa untuk hidangan.
Upacara adat kerajaan ini memang mahal. Karena itu, jarang
diselenggarakan. Raja Pau, Nggaba Haoemara, yang meninggal dunia
tahun 1961 dalam usia 70 tahun, dikenal kewibawaannya. Ahli
warisnya sepakat menyimpan jenazahnya sambil menunggu saat baik
untuk upacara. Selama 22 tahun jenazah itu disimpan di Balai Uma
Bara (rumah kematian), ditutupi kain tenunan Sumba yang terkenal
itu. Kedua permaisuri Raja, Rambu Payu Ayang dan Rambu Hada
Riawa, yang menyusul wafat tahun 1971, juga diperlakukan sama.
Rangkaian upacara kerajaan ini dimulai 5 September lalu dengan
pahadang, acara membangkitkan arwah. Sejak itu, jenazah yang
sudah tak berbau itu ditunggui siang malam dengan upacara
pembacaan doa. Penduduk diberi kesempatan memberi penghormatan
dan mendoakan agar Raja selamat menuju Prahing Marapen alias
surga.
Kuburan dibuat tak jauh dari rumah atau istana. Untuk penutup
makam, dicarikan batu yang terdapat di bukit-bukit. Batu harus
ditarik dengan tali khusus yang dibuat dari bahan tertentu.
Upacara menarik batu makam Raja Pau ini dilaksanakan 17 Oktober,
disebut upacara Irru Watu. Batu seberat tujuh ton ditarik oleh
lebih dari 1.000 orang sejauh tiga kilo meter dan melewati enam
sungai kecil, dalam waktu dua hari.
Rangkaian upacara itu bisa Jadi pertanda kebesaran upacara
kerajaan menurut kepercayaan Merapu. Dukungan dari kerajaan
tetangga dan rakyat sangat membantu. Bahkan dalam hal dukungan
serta sumbangan terjadi persaingan. Ukuran gengsi dan kehormatan
adalah dari banyaknya sumbangan untuk upacara ini.
Raja Karera, salah satu tetangga Kerajaan Pau, sehari sebelum
pemakaman, datang bersama rakyatnya dengan lima truk penuh.
Kerajaan ini menyumbang 10 kerbau pilihan - diukur dari
keindahan dan panjang tanduk. Kerajaan Rende, yang juga
bertetangga dengan Pau, datang dengan 200 anggota rombongan,
sebagian besar wanita. Maklum, kerajaan ini diperintah wanita,
Tamu Rambu Yuliana. Mereka menyumbang sembilan ekor kerbau.
Sumbangan mengalir juga dari delapan kerajaan di Sumba Timur.
"Dalam hal sumbangan, terjadi adu gengsi antarkerajaan.
Persaingan pengaruh masih amat keras," kata Umbu Makabombu, 22,
mahasiswa Universitas Satyawacana, Salatiga, yang juga kerabat
Kerajaan Rende.
Persaingan di kalangan rakyat sesama warga kerajaan juga tinggi.
Balo Manggala, seorang petani, menggadaikan beberapa kain tenun
guna membeli babi seharga Rp 80 ribu untuk disumbangkan.
"Keluarga saya belum tentu makan tiap hari, tetapi menyumbang,
kan babi untuk raja adalah kewajiban," katanya. Sebab, "Raja
adalah pelindung kami untuk kerajaan, pantang berhitung untung
rugi."
Maka, selama 55 hari, sejak 5 September, rakyat
berbondong-bondong ke Istana Kerajaan Pau, yang berdiri di areal
sekitar 40 hektar, dikelilingi gunung. Doa, tetabuhan, dan
kidung tak henti-hentinya. Juga hidangan. Ketika jenazah
diberangkatkan dari Balai Uma Bara ke pemakaman, yang hanya
berjarak 20 meter, lebih dari 2.000 orang hadir. Iringan jenazah
dikawal enam pepanggang, tiga naik kuda kerajaan, tiga lainnya
dipapah karena kesurupan. Pepanggang adalah pemuka adat.
Dalam satu liang kubur, ketiga jenazah (Raja dan permaisuri)
dimasukkan dalam posisi duduk. Di situ juga ditanamkan sejumlah
emas dan perak sebagai persembahan terakhir. Liang kubur 2 x 1
meter itu dibuat dari porselen biru, di atasnya ditutup dengan
batu bukit tujuh ton dan diberi cungkup.
Selama prosesi dan pemakaman, penyembelihan kerbau terus
berlangsung, dan darahnya dipercikkan ke tanah Sumba yang tandus
itu denan harapan aar subur.
Umbu Nggiku, putra Raja Pau yang dimakamkan itU, pernah kuliah
di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, sampai
tingkat dua. Waktu itu, sebagai Raja Pau yang menggantikan
ayahnya adalah Umbu Tana Ngundju, kakak Umbu Nggiku. Raja Tana
Ngundju wafat awal 1981, tetapi ia tak dimakamkan dengan
upacara kebesaran kerajaan. Umbu Nggiku menggantikan kedudukan
kakaknya, walau sampai saat ini belum dinobatkan secara adat.
Kabupaten Sumba Timur, yang berpenduduk 122 ribu jiwa,
sesungguhnya tergolong daerah minus. Produksi pangan, jagung dan
padi, tak mencukupi. Setiap tahun kekurangan sekitar 2.000 ton
bahan pangan.
Pesta kerajaan menyebabkan rakyat terlibat dengan urusan
"sumbanan". Hal ini mendatangkan kritik. Bahkan dilancarkan
oleh kerabat raja, setidaknya oleh kalangan bangsawan. Umbu
Manggana, 30, sarjana muda teknik ITB, menyebutkan bahwa paham
"segala milik rakyat identik milik raja" sebagai penyebab
kemiskinan.
Umbu Nggiku tak setuju masalah kemiskinan dihubungkan dengan
upacara kerajaan. "Kemiskinan di sini karena tidak tersediahya
sarana untuk memperbaiki hidup lebih baik," katanya dengan
memperlihatkan gigi dan lidah yang merah oleh sirih - suatu
lambang kewibawaan. Ia tak menyebutkan berapa biaya yang habis
untuk penguburan ayahnya. Tapi sebuah sumber menyebutkan
sekitar 100 juta rupiah habis untuk upacara yang berlangsung 55
hari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini