Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah upacara di tanah tandus

Pemakaman raja pau di malolo, sumba, nggaba hamoemara. menghabiskan biaya sekitar 100 juta rupiah, ada yang mengkritik. (pan)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIIRINGI tabuhan gong dan kataka, nyanyian tradisional Sumba, satu per satu kerbau yang bertanduk panjang dan mulus dibawa ke tanah lapang di depan Istana. Kedua tanduk hewan itu diikat, lalu ditarik dari dua arah. Seorang algojo muncul dengan parang mengkilap. Sekali parang diayun, darah muncrat dari leher binatang itu. Kerbau jatuh tersunkur, tetapi kemudian bangkit memberontak. Gong semakin keras dipukul. Algojo seperti kesurupan, sekali lagi mengayunkan pedangnya, sampai kerbau itu tak bergerak lagi. Tak kurang dari 10 kerbau pilihan bernasib seperti itu. Darah binatang itu dihamburkan agar membasahi seluruh halaman Istana yang berdebu. Inilah puncak acara yang dinantikan masyarakat dari rangkaian upacara penguburan Raja Pau di Malolo, Kabupaten Sumba Timur (NTT), akhir bulan lalu. "Darah kerbau yang menggenangi tanah itu adalah pertanda kami memohon kesuburan di bumi yang gersang ini," kata Umbu Nggiku, 55, pewaris Kerajaan Pau saat ini. Selain 10 kerbau yang disembelih dengan upacara adat itu, masih banyak yang disembelih secara biasa untuk hidangan. Upacara adat kerajaan ini memang mahal. Karena itu, jarang diselenggarakan. Raja Pau, Nggaba Haoemara, yang meninggal dunia tahun 1961 dalam usia 70 tahun, dikenal kewibawaannya. Ahli warisnya sepakat menyimpan jenazahnya sambil menunggu saat baik untuk upacara. Selama 22 tahun jenazah itu disimpan di Balai Uma Bara (rumah kematian), ditutupi kain tenunan Sumba yang terkenal itu. Kedua permaisuri Raja, Rambu Payu Ayang dan Rambu Hada Riawa, yang menyusul wafat tahun 1971, juga diperlakukan sama. Rangkaian upacara kerajaan ini dimulai 5 September lalu dengan pahadang, acara membangkitkan arwah. Sejak itu, jenazah yang sudah tak berbau itu ditunggui siang malam dengan upacara pembacaan doa. Penduduk diberi kesempatan memberi penghormatan dan mendoakan agar Raja selamat menuju Prahing Marapen alias surga. Kuburan dibuat tak jauh dari rumah atau istana. Untuk penutup makam, dicarikan batu yang terdapat di bukit-bukit. Batu harus ditarik dengan tali khusus yang dibuat dari bahan tertentu. Upacara menarik batu makam Raja Pau ini dilaksanakan 17 Oktober, disebut upacara Irru Watu. Batu seberat tujuh ton ditarik oleh lebih dari 1.000 orang sejauh tiga kilo meter dan melewati enam sungai kecil, dalam waktu dua hari. Rangkaian upacara itu bisa Jadi pertanda kebesaran upacara kerajaan menurut kepercayaan Merapu. Dukungan dari kerajaan tetangga dan rakyat sangat membantu. Bahkan dalam hal dukungan serta sumbangan terjadi persaingan. Ukuran gengsi dan kehormatan adalah dari banyaknya sumbangan untuk upacara ini. Raja Karera, salah satu tetangga Kerajaan Pau, sehari sebelum pemakaman, datang bersama rakyatnya dengan lima truk penuh. Kerajaan ini menyumbang 10 kerbau pilihan - diukur dari keindahan dan panjang tanduk. Kerajaan Rende, yang juga bertetangga dengan Pau, datang dengan 200 anggota rombongan, sebagian besar wanita. Maklum, kerajaan ini diperintah wanita, Tamu Rambu Yuliana. Mereka menyumbang sembilan ekor kerbau. Sumbangan mengalir juga dari delapan kerajaan di Sumba Timur. "Dalam hal sumbangan, terjadi adu gengsi antarkerajaan. Persaingan pengaruh masih amat keras," kata Umbu Makabombu, 22, mahasiswa Universitas Satyawacana, Salatiga, yang juga kerabat Kerajaan Rende. Persaingan di kalangan rakyat sesama warga kerajaan juga tinggi. Balo Manggala, seorang petani, menggadaikan beberapa kain tenun guna membeli babi seharga Rp 80 ribu untuk disumbangkan. "Keluarga saya belum tentu makan tiap hari, tetapi menyumbang, kan babi untuk raja adalah kewajiban," katanya. Sebab, "Raja adalah pelindung kami untuk kerajaan, pantang berhitung untung rugi." Maka, selama 55 hari, sejak 5 September, rakyat berbondong-bondong ke Istana Kerajaan Pau, yang berdiri di areal sekitar 40 hektar, dikelilingi gunung. Doa, tetabuhan, dan kidung tak henti-hentinya. Juga hidangan. Ketika jenazah diberangkatkan dari Balai Uma Bara ke pemakaman, yang hanya berjarak 20 meter, lebih dari 2.000 orang hadir. Iringan jenazah dikawal enam pepanggang, tiga naik kuda kerajaan, tiga lainnya dipapah karena kesurupan. Pepanggang adalah pemuka adat. Dalam satu liang kubur, ketiga jenazah (Raja dan permaisuri) dimasukkan dalam posisi duduk. Di situ juga ditanamkan sejumlah emas dan perak sebagai persembahan terakhir. Liang kubur 2 x 1 meter itu dibuat dari porselen biru, di atasnya ditutup dengan batu bukit tujuh ton dan diberi cungkup. Selama prosesi dan pemakaman, penyembelihan kerbau terus berlangsung, dan darahnya dipercikkan ke tanah Sumba yang tandus itu denan harapan aar subur. Umbu Nggiku, putra Raja Pau yang dimakamkan itU, pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, sampai tingkat dua. Waktu itu, sebagai Raja Pau yang menggantikan ayahnya adalah Umbu Tana Ngundju, kakak Umbu Nggiku. Raja Tana Ngundju wafat awal 1981, tetapi ia tak dimakamkan dengan upacara kebesaran kerajaan. Umbu Nggiku menggantikan kedudukan kakaknya, walau sampai saat ini belum dinobatkan secara adat. Kabupaten Sumba Timur, yang berpenduduk 122 ribu jiwa, sesungguhnya tergolong daerah minus. Produksi pangan, jagung dan padi, tak mencukupi. Setiap tahun kekurangan sekitar 2.000 ton bahan pangan. Pesta kerajaan menyebabkan rakyat terlibat dengan urusan "sumbanan". Hal ini mendatangkan kritik. Bahkan dilancarkan oleh kerabat raja, setidaknya oleh kalangan bangsawan. Umbu Manggana, 30, sarjana muda teknik ITB, menyebutkan bahwa paham "segala milik rakyat identik milik raja" sebagai penyebab kemiskinan. Umbu Nggiku tak setuju masalah kemiskinan dihubungkan dengan upacara kerajaan. "Kemiskinan di sini karena tidak tersediahya sarana untuk memperbaiki hidup lebih baik," katanya dengan memperlihatkan gigi dan lidah yang merah oleh sirih - suatu lambang kewibawaan. Ia tak menyebutkan berapa biaya yang habis untuk penguburan ayahnya. Tapi sebuah sumber menyebutkan sekitar 100 juta rupiah habis untuk upacara yang berlangsung 55 hari itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus