MENTERI Keuangan Radius Prawiro, diam-diam, mulai suka
berfilsafah akhir-akhir ini. Ia juga mulai gemar mengutip buku
kecil berjudul, Bagus Sriman Cari Ilmu Kisah Perjalanan Bagus
Mencari Ilmu - kumpulan prosa Jawa, oleh Bakti, putra Radius
Prawiro yang kini lagi kuliah di London School of Economics.
Salah satu yang dipetik, ketika ia berpidato di depan para
petugas Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, berbunyi: "Bila
tak ikhlas, lebih baik menganggur saja, tidak usah mengabdikan
diri. Bebas semuanya ...."
Sudah "ikhlaskah" para petugas pajak untuk jadi semacam FBI,
untuk menjaring penerimaan pajak lebih luas dan lebih banyak?
"Sudah mulai dipersiapkan," jawab Radius Prawiro, pendek. "Tapi
namanya tak usah FBI. Ya, seperti wartawanlah, yang menggunakan
telinga dan kejelian mata."
Ia tampak tenang menghadapi berbagai kritik dan komentar
terhadap RUU Perpajakan yang baru, yang ia bacakan di DPR 5
November lalu. Apa sebenarnya kehebatan RUU Perpajakan yang
baru itu? Betulkah RUU yang diajukan itu sebenarnya merupakan
hasil penelitian tim Harvard tahun 1981, yang semula ditolak?
Selesai melinting rokoknya, Radius Prawiro tampak siap menjawab
pertanyaan Fikri Jufri dan Eddy Herwanto dari TEMPO:
Tidak betul itu. RUU Perpajakan ini, yang membuatnya adalah tim
kita sendiri, dipimpin oleh Dirjen Pajak. Kemudian, dengan SK
Menteri Keuangan, Dirjen Pajak membentuk tim lain, yang terbagi
dalam beberapa kelompok kerja yang, kalau perlu, dikonsinyir.Dan
hasil dari tim itu, setelah bekerja keras selama enam bulan,
kemudian dibicarakan lagi oleh tim Menteri Ekuin: Pak Ali
Wardhana, Soemarlin, Moerdiono dari segi hukumnya, dan saya
sendiri. Pak Widjojo juga ikut terus, karena beliau dari dulu
amat prihatin tentang perpajakan. Kemudian, kita bicarakan lagi
dalam forum yang lebih luas, dengan para menteri lainnya.
Bukankah tim Harvard juga melakukan penelitian tentang sistem
perpajakan yang baru?
Itu benar. Departemen Keuangan banyak meminta pendapat dari luar
negeri. Maksudnya, agar kita tidak mengulang kesalahan yang
pernah dibuat oleh negara lain, terutama negara berkembang,
yang telah mempraktekkan sistem perpajakan serupa. Seorang
profesor yang sudah berpengalaman dibidang perpajakan dari
Columbia, Amerika Latin, kita mintai pendapatnya. Dia seorang
mahaguru di Universitas Bogota, dan bekas dirjen pajak negeri
itu.
Ada juga ahli dari Inggris, Jerman Barat, Italia, dan Belanda.
Profesor Knossen dari Belanda, misalnya menganalisa value added
tax (VAT), yaitu Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, disingkat PPN. Ini sudah
diterapkan di Belanda sejak tahun 1950. Ada juga ahli yang
didatangkan dari Kanada, Washington, dan Harvard. Yang terakhir
ini dikenal sebagai Harvard Team, dipimpin oleh Malcolm Gillies,
yang antara lain memberi saran-saran tentang perbandingan antara
pajak pendapatan dan pendapatan nasional.
Ada yang beranggapan, persiapan RUU Perpajakan itu dibuat agak
tergesa-gesa. AS dan Eropa membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk
mempersiapkan PPN. Kita cuma lima sampai enam bulan.
Sebenarnya, studinya sudah lama. Yang dilakukan sekarang adalah
memberi bentuk. Penelitiannya pun sudah cukup lama, dan ada yang
sudah diuji. Misalnya, nomor pokok wajib pajak (NPWP) sudah
diedarkan formulirnya untuk diisi. Di DPR saja, pembahasan
tentang perpajakan sudah berlangsung lama, sekitar sepuluh
tahum. Itu semua kita monitor dan catat. Jadi, praktis tinggal
dimatangkan saja.
Bapak mengatakan, sistem perpajakan yang baru itu akan
mendeteksi wajib pajak secara ekstensif, bukan intensif, alias
yang itu-itu juga. Bagaimana memberitahukan masyarakat?
Pemerintah akan melakukan kampanye mulai awal 1984. Maksudnya,
agar para wajib pajak mengerti cara-cara mengisi formulir. Kalau
nanti undang-undangnya sudah berlaku untuk PPN, yaitu awal April
1984, mereka diminta mengisinya sendiri. Untuk pajak
penghasilan, PPh, rencananya akan berlaku mulai awal tahun
takwim 1985. Pokoknya, dalam sistem perpajakan yang baru, semua
wajib pajak diberi kesempatan menghitung sendiri jumlah pajak
yang harus mereka bayar.
Bagaimana kalau petugas pajak tidak mempercayainya? Dalam
undang-undang yang baru, petugas pajak diharuskan memiliki
bukti-bukti untuk mengorek seorang wajib pajak. Caranya?
Macam-macam. Antara lain, ya, seperti tugas wartawan tadi.
Misalnya, aparat pajak mengetahui ada seseorang membangun
rumah mewah di daerah Pondok Indah. Maka, si petuas akan
segera mengecek nomor wajib pajak orang itu. Kalau ternyata
setoran pajaknya terbilang kecil, sedang nilai rumah yang
dibangunnya itu sampai setengah milyar rupiah, maka wajib pajak
itu diminta menyetor lebih besar.
Kenapa RUU Perpajakan yang baru itu banyak melimpahkan kekuasaan
kepada Dirjen Pajak? Apa ia tidak kekurangan tangan, nantinya?.
Memang ada kritik begitu. Tapi, yang dimaksudkan sebenarnya
adalah Direktorat Jendral Pajak. Kita sengaja menyebut Dirjen
Pajak, untuk menghindari kemungkinan adanya kesewenang-wenangan
di tingkat daerah. Kalau timbul perselisihan di tingkat daerah,
antara wajib pajak dan aparat pajak, maka keberatan itu akan
diatasi di pusat. Jika dalam waktu 12 bulan tak ada jawaban dari
Dirjen Pajak, keberatan yang diajukan si wajib pajak dianggap
benar. Tapi, sebalikna, bila dalam periode itu Dirjen Pajak
memberi jawaban, maka dengan sendirinya keberatan wajib pajak
itu ditolak.
Bagaimana jika wajib pajak masih penasaran, setelah pusat
menolak?
Dia masih bisa mengajukannya ke Majelis Pertimbangan Pajak.
Beberapa pengamat beranggapan bahwa UU Perpajakan tahun 1951
sebenarnya sudah merupakan PPN yang realistis. Jadi, kenapa
tidak itu saja yang dipakai, dengan perbaikan di sana-sini?
Begini. Value added tax, yakni pajak pertambahan nilai atas
barang dan jasa itu, termasuk satu bagian dari suatu sistem
perpajakan yang menyeluruh, seperti termuat dalam RUU yang
baru. Jadi, itu tidak bisa digunakan secara sepotong-sepotong,
seperti yang berlaku pada UU tahun 1951.
Pertambahan nilai itu hanya mengenakan pajak dari satu proses
produksi ke lain proses produksi. Maksudnya, untuk menghilangkan
akibat pajak berganda, yang sejak lama dikeluhkan oleh para
pengusaha.
Perusahaan yang penghasilannya di atas Rp 50 juta diturunkan
pajaknya dari 50% menjadi 5%. Itu tentu termasuk mereka yang
berpenghasilan ratusan juta, atau milyaran rupiah. Apa penurunan
itu tak akan membahayakan sasaran penerimaan dari kelompok
perusahaan besar?
Dalam sistem yang lama, sekalipun kepada mereka dikenakan
50%, terdapat berbagai fasilitas, yang memungkinkan wajib
pajak menyeleweng atau menghindar. Tapi sistem yang sekarang
itu lebih ketat. Kalau dihitung-hitung, efeknya akan lebih
menguntungkan yang sekarang buat pajak.
Tapi ada alasan lain: Negara tetangga mengenal pajak yang lebih
rendah. Singapura, misalnya, megenakan pajak penghasilan
40%, Malaysia 45%, dan Muangthai, kalau tak salah, sama dengan
Singpura. Jadi, penurunan itu juga bermaksud agar kita bisa
lebih bersaing dengan negara tetangga, dalam hal menarik modal
asing.
Pak Radius begitu pasti, perusahaan yang besar itu merasa lebih
senang dengan sistem yang baru.
Ya, selain pajaknya memang lebih rendah, ada satu hal yang
sudah lama mereka inginkan kepastian. Dan sekarang mereka bisa
kerja dengan lebih pasti.
Apakah, secara keseluruhan, penerimaan dari pajak akan menjadi
lebih besar, setelah sistem yang baru berlaku?
Pasti akan lebih besar, sekalipun kenaikannya diperkirakan masih
sedikit. Soalnya, tahun 1984 itu masih merupakan tahun
penyesuaian. Nanti, di tahun-tahun berikutnya, akan lebih besar.
Dan penerimaan tentu akan menanjak setelah nanti, misalnya,
dilakukan sanksi-sanksi yang betul terhadap wajib pajak yang
terbukti bersalah.
Sanksi-sanksinya bakal lebih keras tampaknya. Apa itu tidak
menimbulkan suasana orang jadi ketakutan?
Saya kira tidak, kalau wajib pajak tidak ingin menghindar. Wajib
pajak PPN (VAT) memang tidak perlu diketemukan lebih dulu oleh
fiskus (dalam rangka ekstensifikasi), untuk kemudian baru
dikukuhkan sebagai wajib pajak. Tapi wajib pajak sendirilah yang
harus datang ke Direktorat Jenderal Pajak, dan minta dikukuhkan
sebagai wajib pajak.
Kalau nanti ketahuan ada yang lalai, maka pada saat ia ketahuan,
wajib pajak itu langsung akan dijatuhi sanksi administrasi
sebesar 2% dari seluruh peredaran, sejak ia mulai terutang PPN,
di samping harus menyetorkan PPN yang seharusnya dibayar.
Apakah sanksi-sanksi yang akan dikenakan itu tidak pandang bulu?
Bagaimana dengan perusahaan besar yang biasanya punya deking?
Wah, sekarang tak ada lagi main deking. Ini 'kan undang-undang.
Yang menimbulkan deking itu, kalau peraturan perpajakan dibuat
sedemikian rupa sehingga memungkinkan adanya deking. Sedangkan,
dalam RUU Perpajakan, seorang wajib pajak yang terbukti bersalah
tidak bisa lagi lari.
Dalam tahun takwim sekarang, pajak penerimaan, termasuk dari
pajak perseroan minyak, hanya 6% dari produk domestik bruto
(PDB). Berapa yang diperkirakan akan tercapai dalam tahun takwim
1984- 1985?
Ini yang sedang saya hitung. Selain pengaruh resesi yang
mengganggu hitungan, tidak menentunya harga minyak juga
menyulitkan perhitungan. Sebulan lalu, harga minyak diduga mulai
membaik. Eh, tahu-tahu harganya goyah lagi. Tapi, bagaimanapun,
kita memang harus memperhitungkan penerilnaan dari pajak lebih
tinggi. Misalnya, diperkirakan akan sama persentasenya dengan
tahun 1969-1971, atau setahun rata-rata sekitar 10% dari PDB.
Bicara soal pajak perseroan, tak jarang perusahaan yang memiliki
asset (kekayaan) lebih kecil harus membayar pajak lebih besar.
Soalnya, yang lebih besar itu lebih pandai menyebarkan labanya,
misalnya dalam bentuk penyertaan. Dengan sistem pajak baru,
apakah bentuk penyertaan itu juga akan terkena?
Mereka akan dikenai pajak penghasilan atas jumlah penyertaannya.
Maka itu, rumusannya luas: manfaat ekonomis yang diperoleh wajib
pajak yang akan dihitung. Dulu kita memakai sistem sumber
(bronnen stelsel). Sekarang tidak. Kita lihat saja manfaat
ekonomisnya. Jadi, orang yang memiliki penghasilan di sini, dan
di luar negeri itu harus dijumlahkan. Ini fundamental dan lebih
adil: Seorang yang lebih mampu harus menanggung iuran yang lebih
besar untuk rumah tangga negara daripada yang kurang mampu.
Dalam RUU Pajak Penghasilan dikatakan, untuk menentukan besarnya
laba kena pajak tidak boleh dikurangkan, antara lain, dengan
pemberian kenikmatan perjalanan cuti, dan kenikmatan lain bagi
pegawai. Bisakah diterangkan sebabnya?
Pemberian kenikmatan itu merupakan suatu lubang. Kalau untuk
cuti seperti itu, pengeluarannya ya jangan dibebankan pada biaya
perusahaan. Jika memang ada dana untuk cuti, berikan saja pada
pegawai bersangkutan, dan sudah sewajarnya pula pendapatan
karena kenikmatan itu kena pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini