Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pajak baru, silahkan hitung sendiri

Wawancara Tempo dengan Radius Prawiro, menteri keuangan, tentang RUU Perpajakan yang kini sedang dibahas di DPR. Membantah anggapan RUU Perpajakan hasil penelitian tim harvard 1981. (eb)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Keuangan Radius Prawiro, diam-diam, mulai suka berfilsafah akhir-akhir ini. Ia juga mulai gemar mengutip buku kecil berjudul, Bagus Sriman Cari Ilmu Kisah Perjalanan Bagus Mencari Ilmu - kumpulan prosa Jawa, oleh Bakti, putra Radius Prawiro yang kini lagi kuliah di London School of Economics. Salah satu yang dipetik, ketika ia berpidato di depan para petugas Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, berbunyi: "Bila tak ikhlas, lebih baik menganggur saja, tidak usah mengabdikan diri. Bebas semuanya ...." Sudah "ikhlaskah" para petugas pajak untuk jadi semacam FBI, untuk menjaring penerimaan pajak lebih luas dan lebih banyak? "Sudah mulai dipersiapkan," jawab Radius Prawiro, pendek. "Tapi namanya tak usah FBI. Ya, seperti wartawanlah, yang menggunakan telinga dan kejelian mata." Ia tampak tenang menghadapi berbagai kritik dan komentar terhadap RUU Perpajakan yang baru, yang ia bacakan di DPR 5 November lalu. Apa sebenarnya kehebatan RUU Perpajakan yang baru itu? Betulkah RUU yang diajukan itu sebenarnya merupakan hasil penelitian tim Harvard tahun 1981, yang semula ditolak? Selesai melinting rokoknya, Radius Prawiro tampak siap menjawab pertanyaan Fikri Jufri dan Eddy Herwanto dari TEMPO: Tidak betul itu. RUU Perpajakan ini, yang membuatnya adalah tim kita sendiri, dipimpin oleh Dirjen Pajak. Kemudian, dengan SK Menteri Keuangan, Dirjen Pajak membentuk tim lain, yang terbagi dalam beberapa kelompok kerja yang, kalau perlu, dikonsinyir.Dan hasil dari tim itu, setelah bekerja keras selama enam bulan, kemudian dibicarakan lagi oleh tim Menteri Ekuin: Pak Ali Wardhana, Soemarlin, Moerdiono dari segi hukumnya, dan saya sendiri. Pak Widjojo juga ikut terus, karena beliau dari dulu amat prihatin tentang perpajakan. Kemudian, kita bicarakan lagi dalam forum yang lebih luas, dengan para menteri lainnya. Bukankah tim Harvard juga melakukan penelitian tentang sistem perpajakan yang baru? Itu benar. Departemen Keuangan banyak meminta pendapat dari luar negeri. Maksudnya, agar kita tidak mengulang kesalahan yang pernah dibuat oleh negara lain, terutama negara berkembang, yang telah mempraktekkan sistem perpajakan serupa. Seorang profesor yang sudah berpengalaman dibidang perpajakan dari Columbia, Amerika Latin, kita mintai pendapatnya. Dia seorang mahaguru di Universitas Bogota, dan bekas dirjen pajak negeri itu. Ada juga ahli dari Inggris, Jerman Barat, Italia, dan Belanda. Profesor Knossen dari Belanda, misalnya menganalisa value added tax (VAT), yaitu Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, disingkat PPN. Ini sudah diterapkan di Belanda sejak tahun 1950. Ada juga ahli yang didatangkan dari Kanada, Washington, dan Harvard. Yang terakhir ini dikenal sebagai Harvard Team, dipimpin oleh Malcolm Gillies, yang antara lain memberi saran-saran tentang perbandingan antara pajak pendapatan dan pendapatan nasional. Ada yang beranggapan, persiapan RUU Perpajakan itu dibuat agak tergesa-gesa. AS dan Eropa membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk mempersiapkan PPN. Kita cuma lima sampai enam bulan. Sebenarnya, studinya sudah lama. Yang dilakukan sekarang adalah memberi bentuk. Penelitiannya pun sudah cukup lama, dan ada yang sudah diuji. Misalnya, nomor pokok wajib pajak (NPWP) sudah diedarkan formulirnya untuk diisi. Di DPR saja, pembahasan tentang perpajakan sudah berlangsung lama, sekitar sepuluh tahum. Itu semua kita monitor dan catat. Jadi, praktis tinggal dimatangkan saja. Bapak mengatakan, sistem perpajakan yang baru itu akan mendeteksi wajib pajak secara ekstensif, bukan intensif, alias yang itu-itu juga. Bagaimana memberitahukan masyarakat? Pemerintah akan melakukan kampanye mulai awal 1984. Maksudnya, agar para wajib pajak mengerti cara-cara mengisi formulir. Kalau nanti undang-undangnya sudah berlaku untuk PPN, yaitu awal April 1984, mereka diminta mengisinya sendiri. Untuk pajak penghasilan, PPh, rencananya akan berlaku mulai awal tahun takwim 1985. Pokoknya, dalam sistem perpajakan yang baru, semua wajib pajak diberi kesempatan menghitung sendiri jumlah pajak yang harus mereka bayar. Bagaimana kalau petugas pajak tidak mempercayainya? Dalam undang-undang yang baru, petugas pajak diharuskan memiliki bukti-bukti untuk mengorek seorang wajib pajak. Caranya? Macam-macam. Antara lain, ya, seperti tugas wartawan tadi. Misalnya, aparat pajak mengetahui ada seseorang membangun rumah mewah di daerah Pondok Indah. Maka, si petuas akan segera mengecek nomor wajib pajak orang itu. Kalau ternyata setoran pajaknya terbilang kecil, sedang nilai rumah yang dibangunnya itu sampai setengah milyar rupiah, maka wajib pajak itu diminta menyetor lebih besar. Kenapa RUU Perpajakan yang baru itu banyak melimpahkan kekuasaan kepada Dirjen Pajak? Apa ia tidak kekurangan tangan, nantinya?. Memang ada kritik begitu. Tapi, yang dimaksudkan sebenarnya adalah Direktorat Jendral Pajak. Kita sengaja menyebut Dirjen Pajak, untuk menghindari kemungkinan adanya kesewenang-wenangan di tingkat daerah. Kalau timbul perselisihan di tingkat daerah, antara wajib pajak dan aparat pajak, maka keberatan itu akan diatasi di pusat. Jika dalam waktu 12 bulan tak ada jawaban dari Dirjen Pajak, keberatan yang diajukan si wajib pajak dianggap benar. Tapi, sebalikna, bila dalam periode itu Dirjen Pajak memberi jawaban, maka dengan sendirinya keberatan wajib pajak itu ditolak. Bagaimana jika wajib pajak masih penasaran, setelah pusat menolak? Dia masih bisa mengajukannya ke Majelis Pertimbangan Pajak. Beberapa pengamat beranggapan bahwa UU Perpajakan tahun 1951 sebenarnya sudah merupakan PPN yang realistis. Jadi, kenapa tidak itu saja yang dipakai, dengan perbaikan di sana-sini? Begini. Value added tax, yakni pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa itu, termasuk satu bagian dari suatu sistem perpajakan yang menyeluruh, seperti termuat dalam RUU yang baru. Jadi, itu tidak bisa digunakan secara sepotong-sepotong, seperti yang berlaku pada UU tahun 1951. Pertambahan nilai itu hanya mengenakan pajak dari satu proses produksi ke lain proses produksi. Maksudnya, untuk menghilangkan akibat pajak berganda, yang sejak lama dikeluhkan oleh para pengusaha. Perusahaan yang penghasilannya di atas Rp 50 juta diturunkan pajaknya dari 50% menjadi 5%. Itu tentu termasuk mereka yang berpenghasilan ratusan juta, atau milyaran rupiah. Apa penurunan itu tak akan membahayakan sasaran penerimaan dari kelompok perusahaan besar? Dalam sistem yang lama, sekalipun kepada mereka dikenakan 50%, terdapat berbagai fasilitas, yang memungkinkan wajib pajak menyeleweng atau menghindar. Tapi sistem yang sekarang itu lebih ketat. Kalau dihitung-hitung, efeknya akan lebih menguntungkan yang sekarang buat pajak. Tapi ada alasan lain: Negara tetangga mengenal pajak yang lebih rendah. Singapura, misalnya, megenakan pajak penghasilan 40%, Malaysia 45%, dan Muangthai, kalau tak salah, sama dengan Singpura. Jadi, penurunan itu juga bermaksud agar kita bisa lebih bersaing dengan negara tetangga, dalam hal menarik modal asing. Pak Radius begitu pasti, perusahaan yang besar itu merasa lebih senang dengan sistem yang baru. Ya, selain pajaknya memang lebih rendah, ada satu hal yang sudah lama mereka inginkan kepastian. Dan sekarang mereka bisa kerja dengan lebih pasti. Apakah, secara keseluruhan, penerimaan dari pajak akan menjadi lebih besar, setelah sistem yang baru berlaku? Pasti akan lebih besar, sekalipun kenaikannya diperkirakan masih sedikit. Soalnya, tahun 1984 itu masih merupakan tahun penyesuaian. Nanti, di tahun-tahun berikutnya, akan lebih besar. Dan penerimaan tentu akan menanjak setelah nanti, misalnya, dilakukan sanksi-sanksi yang betul terhadap wajib pajak yang terbukti bersalah. Sanksi-sanksinya bakal lebih keras tampaknya. Apa itu tidak menimbulkan suasana orang jadi ketakutan? Saya kira tidak, kalau wajib pajak tidak ingin menghindar. Wajib pajak PPN (VAT) memang tidak perlu diketemukan lebih dulu oleh fiskus (dalam rangka ekstensifikasi), untuk kemudian baru dikukuhkan sebagai wajib pajak. Tapi wajib pajak sendirilah yang harus datang ke Direktorat Jenderal Pajak, dan minta dikukuhkan sebagai wajib pajak. Kalau nanti ketahuan ada yang lalai, maka pada saat ia ketahuan, wajib pajak itu langsung akan dijatuhi sanksi administrasi sebesar 2% dari seluruh peredaran, sejak ia mulai terutang PPN, di samping harus menyetorkan PPN yang seharusnya dibayar. Apakah sanksi-sanksi yang akan dikenakan itu tidak pandang bulu? Bagaimana dengan perusahaan besar yang biasanya punya deking? Wah, sekarang tak ada lagi main deking. Ini 'kan undang-undang. Yang menimbulkan deking itu, kalau peraturan perpajakan dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan adanya deking. Sedangkan, dalam RUU Perpajakan, seorang wajib pajak yang terbukti bersalah tidak bisa lagi lari. Dalam tahun takwim sekarang, pajak penerimaan, termasuk dari pajak perseroan minyak, hanya 6% dari produk domestik bruto (PDB). Berapa yang diperkirakan akan tercapai dalam tahun takwim 1984- 1985? Ini yang sedang saya hitung. Selain pengaruh resesi yang mengganggu hitungan, tidak menentunya harga minyak juga menyulitkan perhitungan. Sebulan lalu, harga minyak diduga mulai membaik. Eh, tahu-tahu harganya goyah lagi. Tapi, bagaimanapun, kita memang harus memperhitungkan penerilnaan dari pajak lebih tinggi. Misalnya, diperkirakan akan sama persentasenya dengan tahun 1969-1971, atau setahun rata-rata sekitar 10% dari PDB. Bicara soal pajak perseroan, tak jarang perusahaan yang memiliki asset (kekayaan) lebih kecil harus membayar pajak lebih besar. Soalnya, yang lebih besar itu lebih pandai menyebarkan labanya, misalnya dalam bentuk penyertaan. Dengan sistem pajak baru, apakah bentuk penyertaan itu juga akan terkena? Mereka akan dikenai pajak penghasilan atas jumlah penyertaannya. Maka itu, rumusannya luas: manfaat ekonomis yang diperoleh wajib pajak yang akan dihitung. Dulu kita memakai sistem sumber (bronnen stelsel). Sekarang tidak. Kita lihat saja manfaat ekonomisnya. Jadi, orang yang memiliki penghasilan di sini, dan di luar negeri itu harus dijumlahkan. Ini fundamental dan lebih adil: Seorang yang lebih mampu harus menanggung iuran yang lebih besar untuk rumah tangga negara daripada yang kurang mampu. Dalam RUU Pajak Penghasilan dikatakan, untuk menentukan besarnya laba kena pajak tidak boleh dikurangkan, antara lain, dengan pemberian kenikmatan perjalanan cuti, dan kenikmatan lain bagi pegawai. Bisakah diterangkan sebabnya? Pemberian kenikmatan itu merupakan suatu lubang. Kalau untuk cuti seperti itu, pengeluarannya ya jangan dibebankan pada biaya perusahaan. Jika memang ada dana untuk cuti, berikan saja pada pegawai bersangkutan, dan sudah sewajarnya pula pendapatan karena kenikmatan itu kena pajak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus