Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seluruh permukaan tembok gedung Dasaad Musin Concern di Jalan Taman Fatahillah itu hampir habis terkelupas. Gedung berlantai tiga tersebut dibangun sekitar 1920 dan dulu menjadi kediaman Agus Musin Dasaad sekaligus kantor NV Pabrik Tenoen Kantjil Mas, Bangil, Jawa Timur. Kini lantai satu gedung itu difungsikan sebagai musala umum. Rohadi Kusumah, penjaga gedung itu sejak 1972, yang berinisiatif menjadikannya musala umum.
"Saya tanya kepada pemiliknya, apakah boleh dijadikan musala. Rupanya diizinkan," kata Rohadi, 72 tahun. Menurut dia, setelah Dasaad wafat, perusahaan itu tak berjalan. Pada 1982, putra Dasaad, Isak, menjual gedung itu kepada pengusaha bernama Husen Tanurahardja seharga Rp 600 juta. Tapi, sejak itu, gedung tersebut dibiarkan kosong tak dipakai. Semakin lama gedung kian lapuk. Pada 1994, sebagian atapnya roboh. Hampir semua daun pintu dan jendela yang terbuat dari kayu jati hilang dicuri.
Gedung Dasaad hanyalah salah satu gedung yang terbengkalai dan rusak di kawasan Kota Lama. Sesungguhnya kondisinya masih mendingan. Banyak gedung lain yang lebih parah, jorok, dan kumuh. Ir Martono Yuwono, arsitek yang ikut terlibat upaya revitalisasi Kota Tua pada zaman Gubernur Ali Sadikin, ingat ketika ia pertama kali masuk ke Kota Tua Jakarta pada 1973.
"Dulu kondisi bangunannya lumayan. Kalaupun rusak, masih bisa diperbaiki. Kini kondisinya berlipat-lipat lebih parah."
Revitalisasi Kota Tua Jakarta bagi sebagian orang adalah proyek yang mustahil. Beberapa kali dicoba, tapi berakhir dengan kegagalan. Dan kini, setelah sekian lama mati suri, muncul lagi usaha menyelamatkan "Queen of East" itu dari kehancuran. Motor kali ini adalah analis keuangan Lin Che Wei, 45 tahun. Che Wei mengklaim memiliki strategi baru yang bisa cespleng. Ia berusaha menjembatani para pengusaha dengan pemerintah DKI Jakarta, juga kalangan seniman.
Che Wei meminta Setyono Djuandi Darmono, Presiden Direktur PT Jababeka, menghimpun para taipan membicarakan misi mulia itu. Darmono pun mengundang para konglomerat sahabatnya ke gedung Menara Batavia—miliknya. Edwin Soeryadjaya (Saratoga), Hendro Gondokusumo (Intiland), Trihatma K. Haliman (Agung Podomoro Land), Harun Hajadi (Ciputra), Alexander Kusuma (Agung Sedayu), Boyke Gozali (Plaza Indonesia), Muchtar Widjaja (Sinar Mas Land), dan Murdaya Poo (Central Cipta Murdaya Group) akhirnya bersedia bergabung. Mereka membentuk konsorsium bernama PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (Jakarta Old Town Revitalization Corp). Darmono didaulat sebagai ketua dewan perwalian (board of trustee), sedangkan Che Wei menjadi direktur utama (chief executive officer).
Mengapa komposisi konsorsium kebanyakan pengusaha yang bergerak di properti? Dengan tenang, Darmono menjawab pertanyaan Tempo, "Karena mereka sudah biasa memikirkan pengembangan kota. Wawasan mereka jauh lebih maju ketimbang pemda." Menurut lelaki asal Magelang ini, para pengembang itu sudah terbiasa memikirkan segi-segi infrastruktur suatu kawasan. "Kami ini selalu ke luar negeri untuk mensurvei banyak kawasan kota."
Darmono meminta setiap anggota konsorsium menyetorkan US$ 1 juta (sekitar Rp 10 miliar) sebagai dana abadi. "Saya bilang, 'Anda keluarkan. Sudah itu lupakan!'" Menurut Che Wei, dana Rp 10 miliar itu dimasukkan ke bank. Bunganya untuk kegiatan program-program seni di Kota Tua. Maka ia juga membentuk konsorsium lain: Jeforah, singkatan dari Jakarta Endowment for Arts and Heritage. Anggotanya adalah para pemikir dan seniman, termasuk penyair Goenawan Mohamad. Mereka inilah yang akan memberikan masukan—menghidupkan Kota Tua.
"Saya ingin mengubah citra Kota Tua yang kumuh menjadi sesuatu yang hip," kata Che Wei. Ia ingin Kota Tua menjadi pusat jujugan anak muda. "Saya mau Kota Tua menjadi tempat anak muda bertualang kuliner, fashion, dan entertainment." Che Wei berkeyakinan revitalisasi bukan hanya urusan memugar gedung. Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan ditentukan oleh adanya kegiatan-kegiatan lifestyle dan art culture di situ. Ia telah sedikit membuktikan dengan mampu merenovasi Kantor Pos Taman Fatahillah menjadi galeri seni kontemporer bernama Galeria Fatahillah.
Dengan membayar Rp 50 ribu, kini Anda bisa menyaksikan pameran karya kontemporer para perupa kondang, dari Made Wianta sampai Krisna Murti, di lantai 2. Untuk urusan seni rupa, kolektor Magelang, Oei Hong Djien, menjadi penasihat konsorsium "Saya bangga sekali orang-orang Pinacothèque de Paris, museum terkenal di Paris, mau datang saat pembukaan," ucap Che Wei.
Che Wei mengakui tak mudah awalnya bisa mengalihfungsikan kantor pos itu. Ia harus bernegosiasi dengan Direktur Utama PT Pos Indonesia I Ketut Mardjana, kemudian berlanjut dengan penggantinya, Budi Setiawan. Meskipun pimpinan puncak perusahaan pelat merah itu sudah kooperatif, tetap saja ada aturan-aturan internal yang sangat rumit. "Perlu waktu sebelas bulan," ujar Che Wei. Keberhasilan itu membuat dia yakin bisa mengajak badan usaha milik negara (BUMN) lain melakukan alih fungsi bangunan milik mereka.
Impian Che Wei besar. Ia tidak hanya menginginkan revitalisasi seputar Taman Fatahillah, tapi juga Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kali Besar (75 hektare). Juga zona pendukung, yang terdiri atas Kampung Bandan, Stasiun, Museum Bahari, Pasar Ikan, Galangan/Benteng, dan Roa Malaka (59 hektare). Selain itu, zona di luar tembok kota, yang meliputi Kampung Luar Batang (19 hektare), Pekojan (49 hektare), serta Pecinan, yang terdiri atas Pintu Kecil, Pasar Pagi, Pintu Besar Selatan, Pinangsia, dan Glodok Tambora (132 hektare).
"Jan Pieterszoon Coen dulu background-nya adalah finance. Jalan Pinangsia aslinya bernama Finance Road. Pusat Finansial. Ini yang akan kami hidupkan lagi," kata Che Wei. Dalam impian Che Wei, industri kreatif akan cocok dibangkitkan dari kawasan Stadhuis lurus ke Sunda Kelapa. "Ini poros penting. Dulu namanya Princestad." Ia membayangkan, di sepanjang poros itu, berbagai macam creative talent berkumpul. Che Wei yakin itu bisa terwujud karena pengelola Sunda Kelapa—PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II—kini sudah mau bekerja sama dengan konsorsium. Di tiga gudang milik Pelindo II yang berlokasi di sisi kanan gerbang masuk Pelabuhan Sunda Kelapa, yang kini disewa Pertamina, kelak akan dikembangkan industri kuliner, mode, dan gaya hidup. "Itu pilot project kami," ujarnya.
Menurut Che Wei, pihaknya berpacu dengan waktu. Kini ia berkonsentrasi melobi banyak pemilik gedung. Terutama BUMN. Dari 284 bangunan di Kota Tua, 40 persen dimiliki BUMN. Dan itu rata-rata gedung besar, yang justru kondisinya paling buruk. Pada akhir Januari lalu, gedung bermenara kembar milik Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) di Jalan Kali Besar Timur, misalnya, sebagian ambruk. Pada November 2013, atap gedung bekas kantor Kerta Niaga, yang juga milik PPI, di Jalan Pintu Besar Utara, Jakarta Barat, roboh dan menimpa seorang penjaganya.
Masalah lain yang rumit adalah banyaknya bangunan yang oleh oknum-oknum disewakan secara serampangan. "Toko Merah, yang dulu menjadi rumah Gubernur Jenderal Gustav Willem van Imhoff (1705-1750), pernah jadi kasino," kata Che Wei. Memang kesan mesum tak terelakkan pada beberapa sudut Kota Tua. Sebuah gedung bekas milik PPI pernah menjadi diskotek bernama Athena. Belum lagi yang menjadi tempat biliar. Maka Che Wei menggandeng perwakilan UNESCO untuk melakukan heritage audit. "Kita fix-kan apa yang boleh dan tidak boleh diubah." Ia sudah berbicara dengan Masanori Nagaoka (Programme Specialist UNESCO Office Jakarta). Setelah audit, kualitas pengisinya akan didiskusikan. "Ini penting sekali. Gila dong kalau itu bebas, nanti bisa jadi panti pijat semua," ujar Che Wei.
Visi Che Wei menjadikan Kota Tua sebagai pusat lifestyle memang menarik. Tapi mungkin visi tersebut bisa berseberangan dengan pengamat lain. "Boleh saja revitalisasi Kota Tua. Tapi jangan lepas dari visi Ali Sadikin." kata Martono Yuwono. Menurut arsitek senior ini, esensi suatu revitalisasi bukan membuat indah kawasan, melainkan memperkuat karakter. Menurut dia, pertama-tama Kota Tua harus menimbulkan civic pride—suatu kawasan yang menimbulkan kebanggaan patriotik. Dalam pandangan dia, hal itu bisa terjadi bila revitalisasi diorientasikan pada kebangkitan bandar-bandar lama Jayakarta. "Harus jiwanya dulu. Ini battle of vision," ujarnya.
Martono menyambut baik munculnya konsorsium pengusaha. "Tak jadi masalah kalau swasta." Menurut dia, revitalisasi kota tua Baltimore di Amerika Serikat yang terpuruk karena resesi ekonomi pada 1974 juga dari swasta. Wali Kota Baltimore saat itu, William Donald Schaefer, meminta bantuan James Wilson Rouse—pionir real estate di Amerika—membentuk konsorsium pengusaha. Rouse mendirikan Greater Baltimore Committee. "Tapi ingat, kawasan Kota Tua Baltimore adalah tempat Amerika membanggakan perjuangannya melawan Inggris," kata Martono.
Bukan hanya dari visi, gagasan Che Wei bisa mengundang perdebatan. Che Wei mengakui beberapa pengusaha yang ia undang juga belum bersikap. "George S. Tahija, Arifin Panigoro, Teddy Rachmat, Shanti Soedarpo, dan Kartini Mulyadi kami undang. Tapi responsnya belum ada." Sedangkan BUMN yang terang-terangan menolak bergabung dalam konsorsiumnya adalah PT Kereta Api Indonesia. Menurut Ella Ubaidi, Executive Vice President Heritage Conservation and Architecture Design PT KAI, pihaknya sempat diajak bergabung karena Stasiun Kota berada di dalam wilayah kerja tim Che Wei. "Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan bilang PT KAI bisa melakukannya sendiri," ujarnya.
Akan halnya menurut arsitek Bambang Eryudhawan, anggota Tim Ahli Nasional Cagar Budaya, yang paling utama adalah koordinasi. "Zaman Bu Miranda, uang juga ada. Sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Bu Miranda saat itu bisa menggalang bantuan dari bank-bank lain. Tapi koordinasi dengan wali kota dan pemda lemah," katanya. Pada 2004—semasa Gubernur Sutiyoso—Miranda Goeltom memang memotori usaha revitalisasi Kota Tua, bertajuk "Jakarta Old Town Kotaku (JOK)". Ia bersinergi dengan profesional seperti Pinky Pangestu, Shanti Soedarpo, Farid Harianto, Gerrick Wiryadinata, dan Budi Lim. Gerakan ini berhasil melakukan pembaruan paving block dan batu tempat duduk Plaza Taman Fatahillah.
Sama seperti yang diidamkan Che Wei, cita-cita Miranda adalah mengajak para pemilik bangunan menghidupkan kembali asetnya sebagai galeri seni, pusat industri kreatif. "Kita encourage mereka supaya gedungnya punya fungsi baru," ujar Budi Lim. Sayangnya, langkah ini kemudian mandek. Menurut Budi Lim, mereka bahkan sempat mengumpulkan uang sendiri sebanyak Rp 3-4 miliar dan menyewa gedung di samping Kafe Batavia. Tapi proyek ini tidak jadi karena keberlanjutannya tak bisa dipastikan.
"Proyek Miranda gagal. Sebab, revitalisasi selalu berawal dari orang luar membawa dana lalu berbenturan dengan satuan kerja perangkat daerah. Mereka tidak pernah duduk sama-sama. Programnya selalu bertentangan," kata Yudha, panggilan Bambang Eryudhawan. Menurut Yudha, konflik antara tim revitalisasi dan aparat suku dinas di tingkat kota administratif—yang memiliki dua atasan: wali kota dan kepala dinas—juga bisa mengancam revitalisasi yang dipimpin Che Wei.
Yudha juga mempertanyakan anggota konsorsium seperti Agung Sedayu dan Agung Podomoro yang masih memiliki utang pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial pada berbagai proyeknya. "Mereka belum membayar fasum-fasos. Apakah keterlibatan mereka dalam revitalisasi Kota Tua ini sebagai usaha negosiasi pemutihan? Kalau benar, rugi, karena utang fasum-fasosnya lebih tinggi."
Kepada Tempo, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan Agung Sedayu dan Agung Podomoro kini masih dalam proses pelunasan fasilitas umum dan fasilitas sosial di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, dan Daan Mogot, Jakarta Barat. "Mereka tetap kami tagih. Kewajibannya tetap ada." Yudha juga khawatir ada deal tertentu, fasilitas tertentu, bagi anggota konsorsium. Tapi hal demikian dibantah Che Wei. "Keistimewaan hanya sebatas informasi mengenai penjualan gedung. Misalnya ada gedung dijual, itu tidak langsung kami umumkan, tapi lebih dulu kami beritahukan ke anggota konsorsium," kata Che Wei.
Yudha sendiri heran mengapa pemerintah tidak mengambil inisiatif memimpin. "Mengapa harus swasta?" ujarnya. Menurut Yudha, sebenarnya pemerintah bisa menyelamatkan banyak gedung di Kota Tua bila tegas menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. "Kalau Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mau memakai undang-undang ini, dia bisa menegur Menteri BUMN (yang memiliki gedung-gedung itu)."
Tidak dipakainya Undang-Undang Cagar Budaya, menurut arkeolog Universitas Indonesia, Mundardjito, menjadi penyebab gagalnya proyek revitalisasi Kota Tua Jakarta selama ini. "Terlalu banyak kepentingan di sana." Dalam pasal 97 undang-undang tersebut, menurut Mundardjito, badan pengelola dapat dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau masyarakat adat. Mundardjito mengaku tidak tahu apakah konsorsium Che Wei ditunjuk oleh pemerintah DKI Jakarta sebagai badan pengelola. "Saya tidak tahu persis apa."
Akan halnya penulis buku Historical Sites of Jakarta, Adolf Heuken, SJ, mengatakan telah berkali-kali ditawari menjadi penasihat konsorsium oleh Che Wei. "Belum saya putuskan. Saya melihat rencananya masih mengawang-awang," ujarnya. Menurut dia, revitalisasi pekerjaan berat. "Masalah pertama adalah akses. Idealnya, untuk menarik pengunjung menuju Kota, akses utama dari Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk harus bisa dilalui dengan lancar."
Masalah kedua yang mesti dibereskan menurut pastor ini adalah Kali Besar yang airnya hitam menggenang dan berbau tengik. "Usaha hotel atau restoran mana mau kalau sepanjang hari tercium bau?" katanya. Heuken menyebutkan Kali Besar tidak mengalir setelah kali yang melewati Museum Bahari menuju laut ditutup untuk kepentingan pembangunan permukiman. Itu tidak hanya menyebabkan air macet, tapi juga membuat bagian bawah Museum Bahari menjadi basah. "Kayu yang umurnya sudah lebih dari 200 tahun menjadi basah, mungkin tak lama lagi rusak," ujarnya.
Sebagai pengusaha properti, Darmono sendiri membayangkan Kota Tua menjadi tempat yang bergengsi. "Mesti dibangun permukiman kelas atas di seputar situ agar kelas Kota Tua naik." Menurut Darmono, perumahan itu bisa didirikan di lahan Pelindo. "Kota Tua jadi seperti Southbank-nya London, kawasan perumahan yang dikelilingi heritage," katanya. Tapi ide demikian tentu akan disanggah pengamat. "Kalau begitu, Kota Tua hanya menjadi ghetto orang kaya, dong," ujar Yudha.
Betapapun banyak suara sumbang, Che Wei tetap optimistis. Apalagi usul konsorsium kepada Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus agar kawasan Kota Tua Jakarta seluas 334 hektare ini ditahbiskan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) sudah mendapat persetujuan Gubernur Joko Widodo. "Saya berpengalaman dalam KEK di Tanjung Lesung dan Morotai," ujar Darmono. Untuk urusan Kota Tua ini, bahkan Darmono secara khusus meninjau Baltimore. "Saya khusus mengunjungi Baltimore yang disebut Pak Martono itu. Saya sampai meng-interview orang-orang yang terlibat di dalamnya."
Gubernur Joko Widodo sendiri, menurut Che Wei, berjanji mengguyurkan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah—yang cukup besar—sepanjang lima tahun ke depan. Maka Che Wei optimistis infrastruktur Kota Tua akan terealisasi. Bila Joko Widodo menjadi presiden, ia yakin persetujuan akan dilanjutkan penggantinya. Che Wei menargetkan dalam lima tahun ke depan ada 85 bangunan yang bisa dialihfungsikan. Para pemilik akan diminta merenovasi bangunannya berdasarkan standar UNESCO. Dalam hal ini, arsitek senior Han Awal—sebagai anggota konsorsium—akan mengawal. "Banyak orang yang menyebarkan hawa pesimisme terhadap proyek revitalisasi ini," kata Lin Che Wei. Tapi ia akan jalan terus.
Dody Hidayat, Ratnaning Asih, Dian Yuliastuti, Isma Savitri, Ananda Badudu, Nurdin Kalim, Baiq Atmi Pertiwi, Seno Joko Suyono
Dari Bang Ali sampai Jokowi
Ali Sadikin
1966-1977
Tahun pemugaran:
1969-1974
Obyek:
Taman Fatahillah (Stadhuisplein) dan Museum Sejarah Jakarta (Stadhuis)
Pelaksana:
Tim Pemugaran Taman Fatahillah Pemerintah DKI Jakarta
Sumber dana:
Anggaran Gubernur, sekitar Rp 250 juta
Pelaku:
- Ali Sadikin (Gubernur)
- Sergio Dello Strologo (Konsultan United Nations Development Programme)
- Soedarmadji Jean Henry Damais (konsultan sejarah)
- Martono Yuwono (Koordinator Perencanaan dan Perancangan)
Mengubah Stadhuis, yang waktu itu digunakan sebagai Markas Komando Distrik Militer 0503 Jakarta Barat, menjadi Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) dan meresmikan alun-alun dengan nama Taman Fatahillah. Pemugaran itu berdasarkan gambar karya Johannes Rach, pelukis kelahiran Denmark yang menjadi serdadu VOC. Gambar bertahun 1770 tersebut memperlihatkan Stadhuis dengan plaza atau alun-alun yang di tengahnya ada pompa air atau pancuran air. Ternyata tim pemugaran menemukan pipa air lama yang bersumber dari kawasan Kampung Patat—kini dekat pintu tol Pluit. Museum Fatahillah pernah menjadi tempat menjamu seribu delegasi pertemuan Pacific Asia Travel Association.
Wiyogo Atmodarminto
1987-1992
Tahun pemugaran:
1990
Obyek:
Kawasan Bandar Lama Sunda Kelapa
Pelaksana:
Badan Pengelola Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa Pemerintah DKI Jakarta
Sumber dana:
Sumbangan masyarakat
Pelaku:
- Wiyogo Atmodarminto (Gubernur)
- Suprawito (Wali Kota Jakarta Utara)
- Martono Yuwono (Ketua Pelaksana Harian)
Menggalang partisipasi masyarakat pemilik gedung tua di sepanjang Kali Opak dengan dana sendiri. Merestorasi bangunan, seperti galangan kapal VOC dan gedung jangkar VOC abad ke-17. Merestorasi pasar ikan tradisional dan Masjid Al-Aydrus, Kampung Luar Batang.
Soerjadi Soedirdja
1992-1997
Tahun pemugaran:
1996
Obyek:
Tugu Kemenangan Jayakarta dan Titik Nol Taman Pusaka Jayakarta di Kali Opak
Pelaksana:
Badan Pengelola Pantai Jakarta Utara
Sumber dana:
Anggaran daerah
Pelaku:
- Soerjadi Soedirdja (Gubernur)
- Martono Yuwono
Ide membangun monumen kecil dengan nama Restorasi Kota Pejuang Jayakarta, sebuah tugu setinggi hampir tiga meter dengan sebuah jangkar kapal yang diambil dari Kali Opak. Di situlah Fatahillah menghancurkan Portugis. Di situ pula Pangeran Jayakarta menangkap Kapten Pieter van den Broecke, pemimpin Fort Jacatra. Di sana juga Sultan Agung dari Mataram menyerang dan membakar Kastil Batavia; Jan Pieterszoon Coen mati. Juga tempat mendaratnya Sukarno setelah dipanggil Jepang dari pengasingan di Bengkulu.
Sutiyoso
1997-2007
Tahun pemugaran:
2004
Obyek:
Taman Fatahillah dan Kali Besar Timur
Pelaksana:
Jakarta Old Town Kotaku dan Pemerintah DKI Jakarta
Sumber dana:
Sumbangan dari bank dan individu
Pelaku:
- Sutiyoso (Gubernur)
- Miranda Goeltom
- Budi Lim
- Ella Ubaidi
- Pinky Pangestu
- Shanti Soedarpo
- Farid Harianto
- Gerrick Wiryadinata
Memasang paving block Taman Fatahillah dan Jalan Pintu Besar Utara dan sekitarnya. Jalan yang melintasi Museum Keramik dan Museum Wayang hanya untuk pejalan kaki. Memasang bola-bola batu besar untuk tempat duduk di Taman Fatahillah.
Joko Widodo
Periode:
2012-…
Tahun pemugaran:
2014
Obyek:
Seluruh Kawasan Kota Tua Jakarta, Zona Inti (Taman Fatahillah), dan Pendukung
Pelaksana:
PT Pembangunan Kota Tua Jakarta dan Pemerintah DKI Jakarta serta Paguyuban Jakarta Endowment for Arts and Heritage
Sumber anggaran:
Dana abadi, Rp 100 miliar
Pelaku:- Joko Widodo (Gubernur)
- Setyono Djuandi Darmono (Ketua Dewan Perwalian Konsorsium)
- Lin Che Wei (Direktur Utama PT Pembangunan Kota Tua Jakarta)
Menjadikan lantai 2 kantor pos sebagai galeri seni. Target lima tahun ke depan menyelesaikan renovasi 85 bangunan milik BUMN yang rusak.
Ratnaning Asih, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo