Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sunda Kelapa dan Permukiman Liar

Permukiman kumuh bertebaran di kawasan Sunda Kelapa. Perlu pelan-pelan ditata.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiga gudang tua yang diperkirakan dibangun pada 1940-an itu terletak di depan pelabuhan, tempat kapal-kapal disandarkan. Jika kita melalui pintu gerbang Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, gudang-gudang itu berada persis di sebelah kanan.

Ketiga gudang itulah yang diproyeksikan Lin Che Wei menjadi tempat kuliner dan fashion. Lokasi tersebutlah yang akan disulap menjadi kawasan lifestyle. Menurut Che Wei, bila telah beralih fungsi, tempat itu diharapkan dapat menjadi magnet yang pelan-pelan menarik orang datang dan menyusuri Pelabuhan Sunda Kelapa.

Sunda Kelapa adalah pelabuhan bersejarah. Di situ tiap hari puluhan kapal pinisi Bugis berlabuh. Kapal-kapal tersebut mengarungi jalur pelayaran rakyat antarpulau. Tiap hari kuli-kuli terlihat hibuk menaikkan dan menurunkan barang. Sunda Kelapa merupakan pelabuhan internasional semenjak zaman Kerajaan Pajajaran. Di situlah pedagang dari seluruh penjuru Nusantara, juga India dan Cina, berdatangan. Tapi kini agaknya pelabuhan itu bukan tempat favorit untuk wisata. "Ketiga gudang (kawasan lifestyle) itu fungsinya seperti batu loncatan agar pengunjung mau masuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa," Che Wei menjelaskan.

Tiga gudang Pelindo itu juga akan menjadi ujung utara poros yang menghubungkan garis lurus dari Glodok ke Sunda Kelapa. Che Wei membayangkan, bila tempat ini ditetapkan sebagai poros, para pedagang berduit dari Harco Glodok dengan sendirinya akan berdatangan ke Sunda Kelapa. "Roda ekonomi akan berputar di toko-toko yang terletak di jalur sepanjang Sunda Kelapa-Glodok," ujarnya.

Saat ini, menurut Che Wei, pihaknya masih menunggu penyewa ketiga gudang di Sunda Kelapa itu menyelesaikan soal sewa-menyewa serta pembersihan bangunan tersebut. Ia belum bisa memberi target pasti kapan proyek di sana akan dimulai. "Kami ingin mengerjakannya secepatnya."

Berbeda dengan konsep Lin Che Wei yang banyak menekankan Sunda Kelapa pada segi ekonomi dan budaya, revitalisasi yang ditawarkan Martono Yuwono lebih berfokus pada aspek historis. "Revitalisasi Kota Tua tidak boleh sekadar menjadi tempat rekreasi seperti Disneyland," katanya.

Justru Kota Tua Sunda Kelapa, menurut Martono, adalah pintu masuk bagi revitalisasi. Sunda Kelapa adalah gerbang utama Jakarta. Sunda Kelapa adalah sisi muka Jakarta. Dari situlah Jakarta bermula. Di situlah pada 1527 Fatahillah menghancurkan Portugis. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta—yang berarti "Kota Kemenangan".

Maka Martono di ujung pantai sudah membangun Monumen Fatahillah—tugu peringatan kemenangan Fatahillah itu. Di ujung pantai tersebut, kata dia, Sukarno juga pertama kali mendarat setelah pengasingannya di Bengkulu. Menurut Martono, seluruh kawasan Kota Tua—dari Sunda Kelapa sampai kawasan Taman Fatahillah—harus dimaknai ulang sebagai kawasan perjuangan. Selain kemenangan Fatahillah atas Portugis, peristiwa patriotik yang terjadi di kawasan Kota Tua adalah serangan Pangeran Jayawikarta terhadap Fort Jacatra dan penangkapan pemimpin benteng Pieter van de Broecke. Juga serangan Sultan Agung pada 1628 dan 1629 yang mampu membakar Kastil Batavia dan menewaskan J.P. Coen.

Untuk membalik perspektif "kolonial" selama ini, Martono memiliki gagasan membuat museum yang lokasinya di sekitar Pasar Ikan, Jakarta Utara. Dalam bayangannya, museum itu bernama Galeri Graha Nusantara. Galeri itu akan berisi berbagai diorama sejarah perjuangan Indonesia, khususnya Jakarta, dalam lima periode: masa Hindu (Sunda Kelapa), Islam (Jayakarta), Kolonial (Batavia), Republik (Jakarta), dan masa kini (Jakarta Baru).

1 1 1

Namun baik gagasan Che Wei maupun Martono bisa kurang mulus berjalan—karena banyaknya perkampungan kumuh mewarnai kawasan itu, seperti Kampung Aquarium di sekitar Pasar Ikan. Kampung Aquarium terletak di sebelah timur Pelabuhan Sunda Kelapa. Kampung ini berseberangan dengan Kampung Luar Batang. Bila dilihat dari udara, kawasan itu terlihat menjorok keluar menuju laut, mirip sebuah tanjung.

Disebut Kampung Aquarium karena dulu di lokasi itu terdapat laboratorium kelautan peninggalan Belanda yang kemudian digunakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tempat warga melihat koleksi ikan yang dikenal dengan akuarium. Untuk menuju Kampung Aquarium, dari Jalan Pakin, dapat melalui Museum Bahari dan terus melewati Pasar Ikan, yang menjadi batas wilayah kampung itu di bagian selatan.

Lebar jalan utama yang membelah Kampung Aquarium, Penjaringan, Jakarta Utara, tak lebih dari 2,5 meter, dengan got yang airnya mampet dan menghitam. Adapun lebar gang-gang di dalam kampung itu tak lebih dari setengah meter. Sebagian gang itu gelap tak terkena sinar matahari karena terhalang deretan rumah dua lantai yang dibangun rapat-rapat untuk menyiasati keterbatasan lahan.

Di lokasi Kampung Aquarium inilah Martono Yuwono membayangkan Galeri Graha Nusantara dibangun. Menurut dia, untuk membangun museum itu dibutuhkan tanah seluas sekitar 1,1 hektare, yang saat ini digunakan sebagai lokasi permukiman sekitar 450 keluarga. Sebagian besar warga telah puluhan tahun tinggal di kampung itu. Mayoritas penduduk di lokasi itu bermata pencarian sebagai buruh di Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Tanah Air, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi.

Contohnya Arsyad, 45 tahun, kuli panggul di Pelabuhan Sunda Kelapa. Pria Bugis itu merantau dan kemudian menetap di Kampung Aquarium sejak tiga dekade lalu, saat dia masih remaja. "Saya ke sini sewaktu masih sepi, masih banyak rawa dan empang," katanya. Setelah sekitar sepuluh tahun tinggal di rumah kontrakan, Arsyad membangun rumah sendiri. Bangunan dua lantai berukuran 3 x 8 meter dari batako itu kini ditempati dia bersama istri, satu anak, dan dua saudaranya.

Aryati, penghuni lain di kampung itu, sudah menetap di sana sejak 1990-an. Perempuan 38 tahun itu mengikuti suaminya yang bekerja sebagai petugas satuan pengamanan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Aryati menuturkan, dulu ketika mereka baru pindah ke sana, masih banyak ikan berenang di rawa di bawah rumahnya. "Akhirnya kami uruk sendiri," ujar perempuan asal Ponorogo, Jawa Timur, itu.

Kampung Aquarium pernah tiga kali dilanda kebakaran besar. Yang paling besar terjadi pada 2011. Sekitar 160 keluarga diungsikan ke Museum Bahari. Menurut Arsyad, sebelum kebakaran, mayoritas rumah menggunakan tripleks, sehingga api mudah melalap kampung itu. Setelah musibah kebakaran, pelan-pelan warga mulai membangun rumah lebih permanen. Sebagian besar rumah mereka bertembok semen. Sudah jarang yang rumahnya berdinding tripleks lagi.

Sejumlah warga yang ditemui Tempo mengaku tidak memiliki sertifikat tanah dan izin mendirikan bangunan yang mereka tempati. Termasuk Arsyad dan Aryati. Bahkan Dewi Siti Aminah, yang mendiang suaminya Ketua Rukun Tetangga 1 di sana, tak mengantongi sertifikat. "Sertifikat memang enggak ada, tapi kami selalu bayar PBB (pajak bumi dan bangunan)," katanya.

Kondisi kampung padat dengan rumah-rumah permanen itu jelas akan menghambat gagasan Martono. Betapapun demikian, Martono tetap optimistis. Dia mengatakan, untuk melapangkan jalan mendirikan galeri itu, pemerintah daerah tengah mencari tanah yang akan digunakan untuk membangun rumah susun sebagai lokasi pengganti tempat tinggal. Che Wei juga optimistis bisa membereskan kampung liar di seputar Sunda Kelapa—untuk mewujudkan gagasannya mengenai pusat fashion. "Kami akan pelan-pelan menata perkampungan kumuh di sana," katanya.

Saat Tempo menanyakan kemungkinan penertiban bangunan untuk revitalisasi Kota Tua, reaksi warga di sana beragam. Ada yang menolak, ada yang mempertimbangkan besaran ganti rugi, ada pula yang menunggu reaksi warga lain. Dewi Aminah, misalnya, menunggu pendapat tetangga-tetangganya. "Kami warga Aquarium sudah saling kenal dekat," ujar Dewi. "Lagi pula di Jakarta ganti rugi mana pernah ada yang untung."

Ratnaning Asih, Isma Savitri, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus