Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gedung BUMN Menunggu Investor

Bangunan milik BUMN menjadi salah satu masalah utama revitalisasi. Dibiarkan merana.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangunan bekas kantor pusat PT Tjipta Niaga itu tampak kuyu. Separuh atap sengnya ambrol pada akhir Januari lalu. Sedangkan setengah badan bangunan yang tersisa banyak yang dibalut lumut. Kaca jendela pecah di sana-sini. Tembok dindingnya terkelupas, sehingga batu bata langsung menantang sinar matahari dan air hujan. Di bagian belakang bangunan yang menghadap Kali Besar Timur, Tamansari, Jakarta Barat, itu terdapat gundukan tanah dan tumpukan kayu rongsokan. Dari luar, para pejalan kaki yang melintas bisa melihat betapa rusaknya bagian dalam bangunan uzur tersebut.

Gedung yang dibangun pada 1912 oleh arsitek Eduard Cuypers dan M.J. Hulswit itu masuk kategori aset kota. Bangunan itu dulu milik Koloniale Zee en Brand Assurantie Maatschappij. Kini bangunan yang kosong sejak 2003 itu dimiliki PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), perusahaan pelat merah satu-satunya yang bergerak di bidang ekspor-impor dan distribusi. PPI merupakan peleburan tiga BUMN Niaga: Tjipta Niaga, Dharma niaga, dan Pantja Niaga, pada 2003. Ketiga perusahaan itu merupakan hasil nasionalisasi perusahaan Belanda.

PPI adalah BUMN yang paling banyak memiliki bangunan di Kota Tua Jakarta. Perusahaan ini memiliki 15 bangunan dan semuanya memiliki nilai sejarah yang tinggi. Sayangnya, kebanyakan bangunan itu kini dalam kondisi memprihatinkan lantaran tidak digunakan dan ditelantarkan. Misalnya gedung bekas kantor PT Kerta Niaga di Jalan Pintu Besar Utara. Atapnya roboh dan menimpa seorang penjaganya pada November 2013. Kerta Niaga adalah perusahaan yang bergabung dengan Dharma Niaga.

Robert Tambunan, Kepala Divisi Aset PPI yang mengelola gedung-gedung milik BUMN niaga itu, mengatakan penyebab tidak digunakannya bangunan-bangunan tersebut adalah belum adanya investor lokal ataupun asing yang sudi menanamkan modal untuk renovasi. Jika ada yang sempat melirik pun, "Ujung-ujungnya ragu, lalu batal," ucap Robert saat ditemui Tempo di kantornya di Wisma ITC, Jakarta Pusat, Selasa siang dua pekan lalu.

Kondisi lingkungan di Kali Besar Timur khususnya dan Kota Tua umumnya adalah musabab calon investor urung melamar. Robert menunjuk keberadaan pedagang kaki lima di sekitar Kali Besar Timur, yang membuat lingkungan di sana tampak kumuh dan semrawut, sebagai biang keladi. Keberadaan para pedagang tersebut, kata Robert, secara tidak langsung juga menutup ruang yang sedianya dijadikan tempat parkir.

"Untuk merenovasi dua gedung itu butuh duit yang tidak sedikit. Tapi bagaimana kami bisa mendapat duit kalau kondisi lingkungannya saja sudah membuat investor malas," ujar Robert, yang juga menjabat Ketua Jakarta Heritage Trust, perkumpulan pemilik bangunan tua bersejarah di Kota Tua Jakarta.

PPI sebenarnya pernah berhasil mempercantik Toko Merah—di Jalan Kali Besar Nomor 11. Dulu bangunan itu merupakan rumah elite milik Gubernur Jenderal Gustav Willem van Imhoff, yang dibangun pada 1730, kemudian pernah menjadi kampus dan asrama akademi maritim. Pada 1977, bekas rumah mewah itu menjadi kantor PT Dharma Niaga. Pada 2000, Toko Merah entah bagaimana menjadi kasino, lalu tutup karena persoalan izin. Tahun ini, rencananya, Toko Merah akan dikomersialkan sebagai convention hall.

Gedung lain, seperti PT Kerta Niaga dan PT Tjipta Niaga, bukannya tak bakal bersolek. Robert menjelaskan, gedung PT Tjipta Niaga rencananya dirias menjadi hotel butik dengan eksterior yang persis bangunan lamanya. Renovasi tersebut dijanjikan Robert tak bakal merobohkan bangunan lama. Adapun interiornya rencananya mengadopsi hotel butik di Prancis. Namun implementasi rencana yang digagas sejak 2003 itu masih macet karena belum ada investor yang berminat.

Sedangkan kantor PT Kerta Niaga diproyeksikan PPI menjadi tempat pameran seni dan panggung pergelaran mode. Iktikad itu akan dijajal pada Juni mendatang, saat penyelenggaraan Festival Industri Kreatif, hajatan fashion show dan atraksi seni yang diadakan di PT Kerta Niaga dan halaman depan PT Tjipta Niaga yang menghadap Taman Fatahillah. PPI menggandeng Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia. Robert optimistis PT Kerta Niaga bisa dirombak dalam sebulan.

Sementara PPI masih menunggu, PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) sudah membangunnya. Pengerjaan sudah dimulai Januari lalu untuk menutup bagian atap yang ambruk pada 1998 dan kedua kalinya pada Februari lalu. Seorang pekerja, Nur Muhaimin, 42 tahun, terlihat sibuk membersihkan lantai di muka lift lantai dua gedung yang bersebelahan dengan Kantor Pos Taman Fatahillah itu. Ia terlihat sedang membersihkan bekas ceceran larutan pengupas cat tembok yang dipakai untuk mengupas cat lama.

Ruang di lantai dua itu adalah ruang yang istimewa. Dari semua ruang yang ada, hanya ruang di lantai itu yang seluruh sisinya dilapisi kayu jati. Semula, sebelum direnovasi, kayu-kayu itu tampak kusam. Butuh waktu tiga pekan untuk mengelupaskan cat lama dan menghaluskan kembali kayu jati penghias ruangan itu. "Itu pun pakai ampelas mesin agar cepat," kata Nur. Ia belum pernah menangani kayu sekuat jati yang ada di gedung itu. Nur terkesima oleh kekokohan kayu di dalam bangunan Belanda itu. "Kayu ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Ini jati tua," ujarnya.

Kepala Bagian Umum PT Jasindo Reni Rizal mengatakan ruangan itu dulu dipakai oleh direktur utama. Reni mengatakan renovasi gedung tiga lantai itu dibiayai Jasindo. Proyek itu, kata dia, tak ada kaitannya dengan program revitalisasi Kota Tua yang dicanangkan PT Pembangunan Kota Tua Jakarta. Kendati sudah tua, kondisi gedung eks kantor Gebouw West Java yang dibangun pada 1912 ini masih bagus. Tegel-tegel asli di semua lantai masih utuh. Balok marmer sepanjang dua meter yang digunakan untuk lantai tangga juga utuh. Begitu pula kusen-kusen jendela setinggi tiga meter. Hanya, lantai bawah gedung itu masih disewakan untuk pedagang-pedagang, masih membuat bangunan itu terkesan kumuh karena centang-perenang.

Menurut pengakuan Robert, pihaknya belum pernah menjalin komunikasi dengan PT Pembangunan Kota Tua Jakarta. Tapi ia berharap yang pertama mesti dilakukan pemerintah adalah menerbitkan master plan sebagai acuan revitalisasi Kota Tua. Menurut dia, selama ini, kerap terjadi perubahan konsep revitalisasi saat ada pergantian gubernur. Ia setuju jika dibuat sebuah otorita tunggal yang bekerja mewujudkan master plan tersebut secara satu pintu.

Isma Savitri, Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus