Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Improvisasi multimedia

Dep. tari ikj menyuguhkan kreativitasnya dalam pergelaran di tim. sebuah nomor "improvisasi studio" merupakan hasil improvisasi yang bagus, diciptakan dari semangat bersatunya berbagai cabang seni.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI sayap panggung tiba-tiba menggelinding sebutir bola, dan lenyap di sayap seberang. Muncul lagi bola, menggelinding dari sayap yang satu ke seberangnya. Lagi, dan lagi, bola ukuran sepak bola sampai ukuran kirakira dua kali bola tenis. Panggung yang remang-remang, hanya disorot lampu dari kedua sayap, lalu-lintas bola menggelinding dan suara gelindingnya, makin lama memang makin mencengkam. Meski hanya berlangsung sekitar dua menit, mampu memberikan citra awal terciptanya alam semesta, sepertinya. Itulah awal dari nomor terakhir pergelaran tari mahasiswa Departemen Tari Institut Kesenian akarta (IKJ), 25 -27 September di Teater Tertutup TIM. Dan nomor terakhir ini seperti mau membuktikan bahwa bersatunya berbagai cabang seni (tari, seni rupa, musik, film dan teater) dalam IKJ yang dibentuk 1970 (dan semula bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, LPKJ) memang ada juga buahnya. Improvisasi Studio, judul nomor ini, seakan mau menunjukkan pengaburan cabang-cabang seni tersebut. "Ini memang sebuah pertunjukan multi-media," kata penari Sardono W. Kusumo yang rupanya ada di belakang pergelaran. Proses terciptanya nomor tersebut bisa pula menjelaskan "semangat interdisipliner" itu. Tanpa ide muluk, tanpa gagasan memberontak terhadap seni tari yang "biasa". Kira-kira dua bulan lalu Benny Ronald, mahasiswa seni patung Departemen seni rupa, membuat karya-karya untuk ujian. Sejumlah patung geometris dari batang besi seukuran ibu jari dia bikin. Ada bentuk kubus, limas, kotak panjang atau perpaduan dari itu. Dan rupanya patung-patung yang dipasang di Galeri IKJ itu, yang pada dasarnya merepresentasikan bentuk-bentuk dasar geometris tanpa variasi yang meluluhkan bentuknya, begitu menarik para mahasiswa Departemen Tari. Memang, patung-patung yang kira-kira bisa dibandingkan dengan karya para pematung minimalis di Eropa atau Amerika itu, seperti menantang untuk digerakkan atau digoyang. Misalnya saja yang berbentuk bola. Atau yang berbentuk potongan silinder, bak kue pancong yang ditaruh pada bidang lengkungnya. Apalagi patung "transparan" itu --hanya berupa kerangka--yang membuat si penonton bisa saling melihat meski mereka berseberangan. Ditambah faktor cahaya, yang ternyata sangat mempengaruhi patung-patung "transparan" itu, unsur gerak memang mudah sekali tercipta. Maka mahasiswa tari itu mulailah bergerak-gerak di situ, mencoba menghidupkan "dialog". Dan seorang mahasiswa sinematografi, Gatot Prakosa, yang punya sejumlah gambar slide yang dibuat langsung dengan menggambari seluloidnya, sangat berminat mencoba: bagaimana seandainya slide-nya disorotkan ke patung-patung Benny. Yellow Submarine Sardono W. Kusumo, 36 tahun, dosen tari di IKJ, lantas saja ikut andil ide -- dan lahirlah nomor multimedia itu. Sardono sendiri pernah membuat Yellow Submarine (1977) yang merupakan tontonan panggung yang dibentuk dari berbagai unsur seni dan beroleh sukses. Maka dari empat nomor pergelaran ini, yang terakhir itulah yang paling mengesan. Sekitar 45 menit Teater Tertutup menjadi tak seperti biasanya. Gedung teater itu tak lagi terbagi menjadi panggung, penonton dan lain-lain. Seluruhnya seperti berubah menjadi tempat pertunjukan. Ini terutama berkat ulah enam proyektor slide yang menembakkan gambar-gambarnya ke segala arah: layar, atap gedung, penonton dan seterusnya. Kisahnya, ketika permainan bola berjalan dua menit, lampu makin lama semakin terang dan tiba-tiba masuk beberapa penari membawa patung. Patung mereka letakkan beraturan. Setelah lengkap seperti direncanakan, panggung kembali sepi dari makhluk hidup. Yang ada hanya sejumlah patung transparan itu, lantas bola-bola yang tetap bergelindingan dari sayap kiri ke sayap kanan atau sebaliknya. Masuk gambar slide dari enam proyektor. Musik dan lampu pun mulai bermain. Sekitar lima menit hal itu berlangsung. Yang tersaji: sebuah pameran senirupa yang luar biasa. Ada cahaya, ada patung yang berubah-ubah karena ditimpa cahaya, ada gambar-gambar nonfiguratif yang tumpang tindih, ditembakkan oleh enam proyektor slide, ada musik. Dari alam yang sunyi, ketika yang ada hanya suasana temaram dan bolabola, kini alam berbalik gemuruh warnawarni. Dan ketika para penari, tujuh orang, masuk, menggeliat-geliat di antara patung-patung itu, gambar slide pun lantas ditembakkan ke segala arah. Di sinilah awal berubahnya gedung itu menjadi panggung keseluruhannya. Tetap Gemuruh Tak ada cerita memang. Juga tak ada "gerak indah". Yang ada hanyalah musik yang hanya bunyi gemuruh, tari yang hanya gerak, karya lukis yang terus berubah dan bergerak, hanya patung yang meskipun diam, terus berubah karena ditimpa lampu dan gambar slide. Sepenuhnya hanya suasana-suasana. Bila seperti hendak muncul cerita, misalnya ketika gambar slide berupa gambar wayang kulit, cepat-cepat dipotong, keburu gambar yang lain, yang hanya warna-warna, menimpa. Dan seperti awalnya, penutupnya pun seperti tak terasa--mengalir dengan wajar. Tiba-tiba saja patung di panggung lenyap satu per satu dibawa masuk penarinya. Gambar slide pun semakin tak ramai. Hanya musik tetap gemuruh. Dan akhirnya, ketika panggung kosong, ketika gambar slide masih sedikit bermain di layar, musik berhenti. Sepi, hanya warna yang bergerak-gerak, yang akhirnya pun padam. Lampu kembali temaram. Sebuah bola digelindingkan dari sayap-tak sampai menghilang ke sayap yang lain. Tapi berhenti di tengah panggung, menempel di layar bawah. Pertunjukan selesai. Tiga nomor pendahulu, merupakan karya tari yang diciptakan bertolak dari seni tari tradisional, memang tak bisa disebut buruk. Akkarena ciptaan Wiwiek Sipala, 28 tahun, bertolak dari seni tari Bugis Ada kipas yang dipegang semua penari yang rupanya sangat dominan dalam membentuk unsur artistiknya. Lalu ada Barabab Randai, ciptaan Deddy Luthan, 29 tahun, berangkat dari randai Minang. Ketangkasan gerak silat Minang rupanya menjadi dasarnya. Yang ketiga merupakan ciptaan bersama Noerdin dan Marzuki, keduanya 38 tahun, berpijak pada seni tari Aceh. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus