DARI sayap panggung tiba-tiba menggelinding sebutir bola, dan
lenyap di sayap seberang. Muncul lagi bola, menggelinding dari
sayap yang satu ke seberangnya. Lagi, dan lagi, bola ukuran
sepak bola sampai ukuran kirakira dua kali bola tenis.
Panggung yang remang-remang, hanya disorot lampu dari kedua
sayap, lalu-lintas bola menggelinding dan suara gelindingnya,
makin lama memang makin mencengkam. Meski hanya berlangsung
sekitar dua menit, mampu memberikan citra awal terciptanya alam
semesta, sepertinya.
Itulah awal dari nomor terakhir pergelaran tari mahasiswa
Departemen Tari Institut Kesenian akarta (IKJ), 25 -27
September di Teater Tertutup TIM. Dan nomor terakhir ini seperti
mau membuktikan bahwa bersatunya berbagai cabang seni (tari,
seni rupa, musik, film dan teater) dalam IKJ yang dibentuk 1970
(dan semula bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, LPKJ)
memang ada juga buahnya. Improvisasi Studio, judul nomor ini,
seakan mau menunjukkan pengaburan cabang-cabang seni tersebut.
"Ini memang sebuah pertunjukan multi-media," kata penari Sardono
W. Kusumo yang rupanya ada di belakang pergelaran.
Proses terciptanya nomor tersebut bisa pula menjelaskan
"semangat interdisipliner" itu. Tanpa ide muluk, tanpa gagasan
memberontak terhadap seni tari yang "biasa". Kira-kira dua bulan
lalu Benny Ronald, mahasiswa seni patung Departemen seni rupa,
membuat karya-karya untuk ujian. Sejumlah patung geometris dari
batang besi seukuran ibu jari dia bikin. Ada bentuk kubus,
limas, kotak panjang atau perpaduan dari itu. Dan rupanya
patung-patung yang dipasang di Galeri IKJ itu, yang pada
dasarnya merepresentasikan bentuk-bentuk dasar geometris tanpa
variasi yang meluluhkan bentuknya, begitu menarik para mahasiswa
Departemen Tari.
Memang, patung-patung yang kira-kira bisa dibandingkan dengan
karya para pematung minimalis di Eropa atau Amerika itu, seperti
menantang untuk digerakkan atau digoyang. Misalnya saja yang
berbentuk bola. Atau yang berbentuk potongan silinder, bak kue
pancong yang ditaruh pada bidang lengkungnya. Apalagi patung
"transparan" itu --hanya berupa kerangka--yang membuat si
penonton bisa saling melihat meski mereka berseberangan.
Ditambah faktor cahaya, yang ternyata sangat mempengaruhi
patung-patung "transparan" itu, unsur gerak memang mudah sekali
tercipta. Maka mahasiswa tari itu mulailah bergerak-gerak di
situ, mencoba menghidupkan "dialog". Dan seorang mahasiswa
sinematografi, Gatot Prakosa, yang punya sejumlah gambar slide
yang dibuat langsung dengan menggambari seluloidnya, sangat
berminat mencoba: bagaimana seandainya slide-nya disorotkan ke
patung-patung Benny.
Yellow Submarine
Sardono W. Kusumo, 36 tahun, dosen tari di IKJ, lantas saja ikut
andil ide -- dan lahirlah nomor multimedia itu. Sardono sendiri
pernah membuat Yellow Submarine (1977) yang merupakan tontonan
panggung yang dibentuk dari berbagai unsur seni dan beroleh
sukses.
Maka dari empat nomor pergelaran ini, yang terakhir itulah yang
paling mengesan. Sekitar 45 menit Teater Tertutup menjadi tak
seperti biasanya. Gedung teater itu tak lagi terbagi menjadi
panggung, penonton dan lain-lain. Seluruhnya seperti berubah
menjadi tempat pertunjukan. Ini terutama berkat ulah enam
proyektor slide yang menembakkan gambar-gambarnya ke segala
arah: layar, atap gedung, penonton dan seterusnya.
Kisahnya, ketika permainan bola berjalan dua menit, lampu makin
lama semakin terang dan tiba-tiba masuk beberapa penari membawa
patung. Patung mereka letakkan beraturan. Setelah lengkap
seperti direncanakan, panggung kembali sepi dari makhluk hidup.
Yang ada hanya sejumlah patung transparan itu, lantas bola-bola
yang tetap bergelindingan dari sayap kiri ke sayap kanan atau
sebaliknya.
Masuk gambar slide dari enam proyektor. Musik dan lampu pun
mulai bermain. Sekitar lima menit hal itu berlangsung. Yang
tersaji: sebuah pameran senirupa yang luar biasa. Ada cahaya,
ada patung yang berubah-ubah karena ditimpa cahaya, ada
gambar-gambar nonfiguratif yang tumpang tindih, ditembakkan oleh
enam proyektor slide, ada musik.
Dari alam yang sunyi, ketika yang ada hanya suasana temaram dan
bolabola, kini alam berbalik gemuruh warnawarni. Dan ketika para
penari, tujuh orang, masuk, menggeliat-geliat di antara
patung-patung itu, gambar slide pun lantas ditembakkan ke segala
arah. Di sinilah awal berubahnya gedung itu menjadi panggung
keseluruhannya.
Tetap Gemuruh
Tak ada cerita memang. Juga tak ada "gerak indah". Yang ada
hanyalah musik yang hanya bunyi gemuruh, tari yang hanya gerak,
karya lukis yang terus berubah dan bergerak, hanya patung yang
meskipun diam, terus berubah karena ditimpa lampu dan gambar
slide. Sepenuhnya hanya suasana-suasana. Bila seperti hendak
muncul cerita, misalnya ketika gambar slide berupa gambar wayang
kulit, cepat-cepat dipotong, keburu gambar yang lain, yang hanya
warna-warna, menimpa.
Dan seperti awalnya, penutupnya pun seperti tak terasa--mengalir
dengan wajar. Tiba-tiba saja patung di panggung lenyap satu per
satu dibawa masuk penarinya. Gambar slide pun semakin tak ramai.
Hanya musik tetap gemuruh. Dan akhirnya, ketika panggung kosong,
ketika gambar slide masih sedikit bermain di layar, musik
berhenti. Sepi, hanya warna yang bergerak-gerak, yang akhirnya
pun padam. Lampu kembali temaram. Sebuah bola digelindingkan
dari sayap-tak sampai menghilang ke sayap yang lain. Tapi
berhenti di tengah panggung, menempel di layar bawah.
Pertunjukan selesai.
Tiga nomor pendahulu, merupakan karya tari yang diciptakan
bertolak dari seni tari tradisional, memang tak bisa disebut
buruk. Akkarena ciptaan Wiwiek Sipala, 28 tahun, bertolak dari
seni tari Bugis Ada kipas yang dipegang semua penari yang
rupanya sangat dominan dalam membentuk unsur artistiknya. Lalu
ada Barabab Randai, ciptaan Deddy Luthan, 29 tahun, berangkat
dari randai Minang. Ketangkasan gerak silat Minang rupanya
menjadi dasarnya. Yang ketiga merupakan ciptaan bersama Noerdin
dan Marzuki, keduanya 38 tahun, berpijak pada seni tari Aceh.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini