LAKI-LAKI parlente itu memasuki sebuah musholla. Ia
bersembahyang. Tapi sesudah itu ia menanggalkan semua pakaian.
Kini ia mengenakan pakaian compang-camping, dekil, bahkan koyak
di sana-sini, yang sejak tadi dibawanya dalam tas plastik.
Tampang laki-laki itu pun berubah: seorang gelandangan.
Memang benar. Setelah mengemasi pakaian yang dikenakannya waktu
bersembahyang tadi, laki-laki itu bergegas keluar dan langsung
mengais-ngais sampah di tempat pembuangan yang tak jauh dari
sana. Dan tak lamakemudian dari sela-sela sampah itu ia menarik
sebuah keranjang. Dengan keranjang itulah ia mulai
menggelandang, menyusuri celah-celah Jakarta yang gerah.
Itu hanya sebagian yang pernah dilakukan Intan Peringatan, 33
tahun. Pegawai Penilik Pendidikan Masyarakat Dept. P&K Kecamatan
Senen, Jakarta Pusat itu, menyamar sebagai gelandangan, bergaul
dengan mereka dan mencoba mendidik mereka. Semua dilakukannya
selepas jam-jam kerja: mengajar mereka baca-tulis, membimbing
berusaha dan mencarikan mereka pekerjaan, termasuk
mentransmigrasikan mereka.
Untuk itu sejak 3 tahun lalu ia memboyong keluarganya (istri,
empat anaknya dan ibunya) tinggal di dekat sarang gelandangan
terkenal di Jakarta: sekitar Cang Tongkang, tak jauh dari rel
keretaapi Senen. Sebuah rumah sederhana bertingkat dua di
kawasan itu disewanya. Di lantai bawah, bersebelahan dengan
dapur, terpajang dua meja tua, satu lemari buatan Intan sendiri
penuh buku, tiga kursi plastik, sebuah papan tulis, tujuh kursi
reot dan empat bangku panjang. Sedang di lantai atas
digunakannya sebagai ruang tidur keluarganya.
Melegakan
Dibantu dua orang wanita dan tiga pria, kelimanya bekas
gelandangan, Intan membuka lantai pertama rumahnya untuk para
tua muda gelandangan belajar baca tulis, seminggu tiga kali.
Muridnya antara 15 hingga 20 orang. Anak-anak antara pukul 09.00
- 11.00 (belajar di halaman rumah), dewasa lepas magrib sampai
pukul 21.00. Hasilnya, menurut Intan, "cukup melegakan." Dengan
sekolah sederhana itu, ia telah mengirim sekitar 40 orang anak
berusia 8 sampai 15 tahun ke SD npres Tanah Tinggi, Kemayoran
dan Warung Panjang, semuanya di kawasan Senen. "Untung,
kepala-kepala sekolah itu tak sulit diyakinkan untuk membebaskan
anak-anak tadi dari segala macam pungutan dan uang pangkal,"
tambah Intan. Anak-anak itu diberinya juga pelajaran tambahan
IPS, IPA dan Matematika. "Banyak di antara mereka yang ternyata
cerdas," Intan menuturkan.
Intan, kelahiran Sumatera Barat dari seorang wanita Jawa dan
ayah Padang, mulai tertarik pada dunia gelandangan sejak masih
menjadi pelajar SMEA di Gambir, Jakarta Pusat. Waktu itu,
tuturnya, "setiap pulang sekolah saya harus melewati gubuk-gubuk
gelandangan yang ketika itu banyak di sekitar Monas. Saya
perhatikan dan diamdiam saya mulai mendekati mereka untuk lebih
tahu dunia mereka."
Ketika mula-mula bekerja sebagai pegawai P&K Bogor, sejak 1970,
Intan belum berkesempatan melaksanakan keinginannya untuk lebih
mendekati para gelandangan. Baru setelah ia bertugas di Jakarta,
sejak 1978, hal itu mulai dilaksanakannya. Pendekatannya pertama
kali adalah dengan penyamaran tadi, terjun langsung dan
menempatkan diri sebagai salah seorang gelandangan. Hasilnya, ia
pun terkenal di antara para gelandangan di kawasan Senen dan
Kalipasir.
Tidak Normal
Istrinya, yang ia kawini sejak 1970, pada mulanya tak menyenangi
kebiasaan Intan hidup di tengah gelandangan.
Lebih-lebih setelah sang istri mendengar pembicaraan para
tetangganya, bahwa dengan penyamaran sebagai gelandangan tadi,
Intan "telah menjadi orang tidak normal." "Hampir saja kami
pisah," tutur laki-laki berkulit kuning itu. Untung, katanya
pula, sang istri berhasil diyakinkan. "Bahkan dia pernah mau
saya ajak tidur di gubuk gelandangan di Kalipasir," ungkap anak
ke dari lima bersaudara itu.
Ibunya pun harus diyakinkan. Sebab wanita pensiunan P&K Bogor
itu pada mulanya tak senang melihat kebiasaan anak kebanggaannya
itu. Namun akhirnya Intan berhasil meyakinkan ibunya. "Sehingga
sekali waktu ibu tak segan-segan memberikan bajunya sebagai
pengganti baju orang lain yang pernah dicuri salah seorang
gelandangan di Senen," kata Intan. Dan adalah sang ibu itu pula
yang membayar uang kontrakan rumah yang mereka tinggali
sekarang.
Intan tak hanya mengajari para gelandangan membaca dan menulis.
Di luar jam-jam kerja, hampir secara tetap ia mendatangi
gubuk-gubuk gelandangan di sekitar Senen dan Kalipasir. Semacam
sarasehan berlangsung. Intan yang sudah dikenal oleh hampir
semua gelandangan di kedua kawasan itu memulai perbincangan
tentang: cara meningkatkan penghasilan agar hidup layak, memilih
makanan bergizi, menjaga kesehatan dan tak ketinggalan cara-cara
hidup beragama. Soal terakhir ini, menurut Intan, penting.
Sebab banyak di antara gelandangan itu hidup berpasang-pasangan
tanpa menikah. "Hasilnya, sebagian sudah saya nikahkan secara
resmi, tapi sebagian lagi saya tak mau menikahkan mereka,"
katanya. Sebab, menurut Intan, mungkin di kampung mereka,
gelandangan-gelandangan itu sudah mempunyai istri atau suami
yang selalu mengharap kedatangan mereka.
Dilarikan
Jika seorang gelandangan telah mempunyai penghasilan cukup
layak, "barulah mereka diajak berbicara untuk mencari tempat
tinggal tetap." Ini pun terbukti. Dulu tak kurang dari 150 buah
gubuk berserakan di sekitar rel kereta api Senen. Tapi sekarang
hanya sekitar 30 buah lagi. Sisanya telah dibongkar oleh
pemiliknya masing-masing, karena mereka telah mampu mengontrak
kamar atau petak-petak rumah. Di bekas tempat gubuk-gubuk itu
kini berdiri dua lapangan badminton untuk para penghuni di
sekitar sana. Ke-2 lapangan ini juga digunakan para gelandangan
untuk mengadakan upacara, misalnya HUT Proklamasi baru lalu.
Lebih dari itu, Juli lalu Intan berhasil mengikutsertakan 18 KK
gelandangan bertransmigrasi ke Sulawesi.
Untuk semua itu, Intan harus mengeluarkan biaya. Karena tak
mungkin memungut bayaran dari para gelandangan, maka ia secara
tetap menyisihkan 10% dari gajinya yang Rp 70 ribu sebulan itu.
Dan dengan sebagian gaji itu pula, pada 1979 ia membuat sebuah
gerobak untuk disewakan kepada gelandangan yang bekerja sebagai
pemungut barang bekas. Dengan sewa Rp 200 sehari, gerobak itu
kemudian membuahkan beberapa gerobak pula. Waktu P&K DKI pada
tahun itu juga membantu usaha Intan dengan uang Rp 200.000,
gerobak pun makin banyak. "Malah beberapa orang kawan sudah
memilikinya dengan cara kredit," ungkap Intan. Tak lupa ia
mengungkapkan kekecewaannya, karena sepuluh buah di
antaragerobak-gerobak tadi dilarikan penyewanya.
Diakui, usaha dagang barang-barang yang dipungut gelandangan
cukup juga. Barang-barang bekas, berupa kaleng dan plastik, yang
dikumpulkan, sudah bisa langsung dibeli penadahnya yang kemudian
menjualnya ke pabrik. Dari menyewakan gerobak-gerobak itu Intan
mengantungi uang sewa rata-rata Rp 5000 sehari.
Dengan penghasilan itu, sejak beberapa bulan lalu Intan berhasil
menambah delapan tempat belajar lagi. Sehinga pusat kursus
membaca-menulis bagi gelandangan dan anaknya itu tersebar di
'beberapa tempat -- seperti Kalipasir, Gang Tongkang, Pasar
Gaplok, Pasar Inpres Blok VI Senen, RT 01, RW 02 Senen, Pasar
Gembrong dan RW 4 Senen. "Dari keseluruhan tempat belajar
(Kelompok Belajar) itu, kami telah punya sepuluh pengajar atau
tutor," kata Intan bangga.
Bagaimana kalau ada razia gelandangan? "Biar saja, agar mereka
sadar. Tugas saya cuma mendidik mereka untuk hidup layak. Kalau
perlu, transmigrasi, bukan menjadi gelandangan terus-terusan,"
katanya. Camat Senen, Suyanto, sependapat dengan Intan. Meski
begitu, menurut Suyanto, usaha Intan baru menjamah sekitar 5 -
10% gelandangan di Senen. "Dari segi sosial usaha itu bagus,"
kata Suyanto. Tapi pejabat ini melihat penumpukan barang-barang
bekas oleh gelandangan itu, "jorok, mengotori pemandangan."
Yang telah hidup lebih layak sebagai gelandangan mengakui jasa
Intan. Surip, 45 tahun, pernah menggelandang bersama Intan.
Semula kerjanya memungut puntung rokok."Sekarang, berkat
bimbingan Pak Intan, saya bisa membuat gerobak," katanya.
Pemesannya juga para gelandangan, dengan harga Rp 15 ribu
sebuah. Sehari ia bisa menyelesaikan sebuah gerobak dengan
keuntungan ratarata Rp 3.000 sebuah Dari gerobak yang
dijualnya, ia bisa menghidupi istri dan seorang anak saudaranya
yang ia pelihara.
Seorang yang kini menjadi "pengusaha" di antara gelandangan
adalah Wagiran, 50 tahun, di Pasar Gembrong. Bisnisnya adalah
menampung tulang, kertas, kaleng bekas dan segala rupa rongsokan
alat rumah tangga yang dikumpulkan para gelandangan. Tapi
Wagiran akhir-akhir ini bingung. Sebab belakangan
barang-barangnya lambat laku. Ia menunjuk tumpukan kaleng hampir
8 ton, yang kalau laku berharga Rp 15 sekilo.
Lokasi bisnis para gelandangan di Pasar Gembrong, juga berkat
usaha Intan. "Belum ada rencana pemerintah membangun sesuatu di
sana" katanya. Untuk sementara, para gelandangan bisa tinggal
dan berusaha di sana. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari
tukang pungut puntung rokok, barang bekas, tukang semir, servis
payung sampai pengusaha barang bekas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini