Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Intan Di Tengah Gelandangan

Intan peringatan, 33, pegawai penilik pendidikan masyarakat Dep.P & K, menyamar sebagai gelandangan & mencoba mendidik mereka dengan: mengajar baca-tulis, membimbing, mencarikan pekerjaan & mentransmigrasikan.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKI-LAKI parlente itu memasuki sebuah musholla. Ia bersembahyang. Tapi sesudah itu ia menanggalkan semua pakaian. Kini ia mengenakan pakaian compang-camping, dekil, bahkan koyak di sana-sini, yang sejak tadi dibawanya dalam tas plastik. Tampang laki-laki itu pun berubah: seorang gelandangan. Memang benar. Setelah mengemasi pakaian yang dikenakannya waktu bersembahyang tadi, laki-laki itu bergegas keluar dan langsung mengais-ngais sampah di tempat pembuangan yang tak jauh dari sana. Dan tak lamakemudian dari sela-sela sampah itu ia menarik sebuah keranjang. Dengan keranjang itulah ia mulai menggelandang, menyusuri celah-celah Jakarta yang gerah. Itu hanya sebagian yang pernah dilakukan Intan Peringatan, 33 tahun. Pegawai Penilik Pendidikan Masyarakat Dept. P&K Kecamatan Senen, Jakarta Pusat itu, menyamar sebagai gelandangan, bergaul dengan mereka dan mencoba mendidik mereka. Semua dilakukannya selepas jam-jam kerja: mengajar mereka baca-tulis, membimbing berusaha dan mencarikan mereka pekerjaan, termasuk mentransmigrasikan mereka. Untuk itu sejak 3 tahun lalu ia memboyong keluarganya (istri, empat anaknya dan ibunya) tinggal di dekat sarang gelandangan terkenal di Jakarta: sekitar Cang Tongkang, tak jauh dari rel keretaapi Senen. Sebuah rumah sederhana bertingkat dua di kawasan itu disewanya. Di lantai bawah, bersebelahan dengan dapur, terpajang dua meja tua, satu lemari buatan Intan sendiri penuh buku, tiga kursi plastik, sebuah papan tulis, tujuh kursi reot dan empat bangku panjang. Sedang di lantai atas digunakannya sebagai ruang tidur keluarganya. Melegakan Dibantu dua orang wanita dan tiga pria, kelimanya bekas gelandangan, Intan membuka lantai pertama rumahnya untuk para tua muda gelandangan belajar baca tulis, seminggu tiga kali. Muridnya antara 15 hingga 20 orang. Anak-anak antara pukul 09.00 - 11.00 (belajar di halaman rumah), dewasa lepas magrib sampai pukul 21.00. Hasilnya, menurut Intan, "cukup melegakan." Dengan sekolah sederhana itu, ia telah mengirim sekitar 40 orang anak berusia 8 sampai 15 tahun ke SD npres Tanah Tinggi, Kemayoran dan Warung Panjang, semuanya di kawasan Senen. "Untung, kepala-kepala sekolah itu tak sulit diyakinkan untuk membebaskan anak-anak tadi dari segala macam pungutan dan uang pangkal," tambah Intan. Anak-anak itu diberinya juga pelajaran tambahan IPS, IPA dan Matematika. "Banyak di antara mereka yang ternyata cerdas," Intan menuturkan. Intan, kelahiran Sumatera Barat dari seorang wanita Jawa dan ayah Padang, mulai tertarik pada dunia gelandangan sejak masih menjadi pelajar SMEA di Gambir, Jakarta Pusat. Waktu itu, tuturnya, "setiap pulang sekolah saya harus melewati gubuk-gubuk gelandangan yang ketika itu banyak di sekitar Monas. Saya perhatikan dan diamdiam saya mulai mendekati mereka untuk lebih tahu dunia mereka." Ketika mula-mula bekerja sebagai pegawai P&K Bogor, sejak 1970, Intan belum berkesempatan melaksanakan keinginannya untuk lebih mendekati para gelandangan. Baru setelah ia bertugas di Jakarta, sejak 1978, hal itu mulai dilaksanakannya. Pendekatannya pertama kali adalah dengan penyamaran tadi, terjun langsung dan menempatkan diri sebagai salah seorang gelandangan. Hasilnya, ia pun terkenal di antara para gelandangan di kawasan Senen dan Kalipasir. Tidak Normal Istrinya, yang ia kawini sejak 1970, pada mulanya tak menyenangi kebiasaan Intan hidup di tengah gelandangan. Lebih-lebih setelah sang istri mendengar pembicaraan para tetangganya, bahwa dengan penyamaran sebagai gelandangan tadi, Intan "telah menjadi orang tidak normal." "Hampir saja kami pisah," tutur laki-laki berkulit kuning itu. Untung, katanya pula, sang istri berhasil diyakinkan. "Bahkan dia pernah mau saya ajak tidur di gubuk gelandangan di Kalipasir," ungkap anak ke dari lima bersaudara itu. Ibunya pun harus diyakinkan. Sebab wanita pensiunan P&K Bogor itu pada mulanya tak senang melihat kebiasaan anak kebanggaannya itu. Namun akhirnya Intan berhasil meyakinkan ibunya. "Sehingga sekali waktu ibu tak segan-segan memberikan bajunya sebagai pengganti baju orang lain yang pernah dicuri salah seorang gelandangan di Senen," kata Intan. Dan adalah sang ibu itu pula yang membayar uang kontrakan rumah yang mereka tinggali sekarang. Intan tak hanya mengajari para gelandangan membaca dan menulis. Di luar jam-jam kerja, hampir secara tetap ia mendatangi gubuk-gubuk gelandangan di sekitar Senen dan Kalipasir. Semacam sarasehan berlangsung. Intan yang sudah dikenal oleh hampir semua gelandangan di kedua kawasan itu memulai perbincangan tentang: cara meningkatkan penghasilan agar hidup layak, memilih makanan bergizi, menjaga kesehatan dan tak ketinggalan cara-cara hidup beragama. Soal terakhir ini, menurut Intan, penting. Sebab banyak di antara gelandangan itu hidup berpasang-pasangan tanpa menikah. "Hasilnya, sebagian sudah saya nikahkan secara resmi, tapi sebagian lagi saya tak mau menikahkan mereka," katanya. Sebab, menurut Intan, mungkin di kampung mereka, gelandangan-gelandangan itu sudah mempunyai istri atau suami yang selalu mengharap kedatangan mereka. Dilarikan Jika seorang gelandangan telah mempunyai penghasilan cukup layak, "barulah mereka diajak berbicara untuk mencari tempat tinggal tetap." Ini pun terbukti. Dulu tak kurang dari 150 buah gubuk berserakan di sekitar rel kereta api Senen. Tapi sekarang hanya sekitar 30 buah lagi. Sisanya telah dibongkar oleh pemiliknya masing-masing, karena mereka telah mampu mengontrak kamar atau petak-petak rumah. Di bekas tempat gubuk-gubuk itu kini berdiri dua lapangan badminton untuk para penghuni di sekitar sana. Ke-2 lapangan ini juga digunakan para gelandangan untuk mengadakan upacara, misalnya HUT Proklamasi baru lalu. Lebih dari itu, Juli lalu Intan berhasil mengikutsertakan 18 KK gelandangan bertransmigrasi ke Sulawesi. Untuk semua itu, Intan harus mengeluarkan biaya. Karena tak mungkin memungut bayaran dari para gelandangan, maka ia secara tetap menyisihkan 10% dari gajinya yang Rp 70 ribu sebulan itu. Dan dengan sebagian gaji itu pula, pada 1979 ia membuat sebuah gerobak untuk disewakan kepada gelandangan yang bekerja sebagai pemungut barang bekas. Dengan sewa Rp 200 sehari, gerobak itu kemudian membuahkan beberapa gerobak pula. Waktu P&K DKI pada tahun itu juga membantu usaha Intan dengan uang Rp 200.000, gerobak pun makin banyak. "Malah beberapa orang kawan sudah memilikinya dengan cara kredit," ungkap Intan. Tak lupa ia mengungkapkan kekecewaannya, karena sepuluh buah di antaragerobak-gerobak tadi dilarikan penyewanya. Diakui, usaha dagang barang-barang yang dipungut gelandangan cukup juga. Barang-barang bekas, berupa kaleng dan plastik, yang dikumpulkan, sudah bisa langsung dibeli penadahnya yang kemudian menjualnya ke pabrik. Dari menyewakan gerobak-gerobak itu Intan mengantungi uang sewa rata-rata Rp 5000 sehari. Dengan penghasilan itu, sejak beberapa bulan lalu Intan berhasil menambah delapan tempat belajar lagi. Sehinga pusat kursus membaca-menulis bagi gelandangan dan anaknya itu tersebar di 'beberapa tempat -- seperti Kalipasir, Gang Tongkang, Pasar Gaplok, Pasar Inpres Blok VI Senen, RT 01, RW 02 Senen, Pasar Gembrong dan RW 4 Senen. "Dari keseluruhan tempat belajar (Kelompok Belajar) itu, kami telah punya sepuluh pengajar atau tutor," kata Intan bangga. Bagaimana kalau ada razia gelandangan? "Biar saja, agar mereka sadar. Tugas saya cuma mendidik mereka untuk hidup layak. Kalau perlu, transmigrasi, bukan menjadi gelandangan terus-terusan," katanya. Camat Senen, Suyanto, sependapat dengan Intan. Meski begitu, menurut Suyanto, usaha Intan baru menjamah sekitar 5 - 10% gelandangan di Senen. "Dari segi sosial usaha itu bagus," kata Suyanto. Tapi pejabat ini melihat penumpukan barang-barang bekas oleh gelandangan itu, "jorok, mengotori pemandangan." Yang telah hidup lebih layak sebagai gelandangan mengakui jasa Intan. Surip, 45 tahun, pernah menggelandang bersama Intan. Semula kerjanya memungut puntung rokok."Sekarang, berkat bimbingan Pak Intan, saya bisa membuat gerobak," katanya. Pemesannya juga para gelandangan, dengan harga Rp 15 ribu sebuah. Sehari ia bisa menyelesaikan sebuah gerobak dengan keuntungan ratarata Rp 3.000 sebuah Dari gerobak yang dijualnya, ia bisa menghidupi istri dan seorang anak saudaranya yang ia pelihara. Seorang yang kini menjadi "pengusaha" di antara gelandangan adalah Wagiran, 50 tahun, di Pasar Gembrong. Bisnisnya adalah menampung tulang, kertas, kaleng bekas dan segala rupa rongsokan alat rumah tangga yang dikumpulkan para gelandangan. Tapi Wagiran akhir-akhir ini bingung. Sebab belakangan barang-barangnya lambat laku. Ia menunjuk tumpukan kaleng hampir 8 ton, yang kalau laku berharga Rp 15 sekilo. Lokasi bisnis para gelandangan di Pasar Gembrong, juga berkat usaha Intan. "Belum ada rencana pemerintah membangun sesuatu di sana" katanya. Untuk sementara, para gelandangan bisa tinggal dan berusaha di sana. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari tukang pungut puntung rokok, barang bekas, tukang semir, servis payung sampai pengusaha barang bekas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus