Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pintu yang terbuka itu pelan-pelan membawa sepoi angin dan menerbangkan jiwaku.
Pak indekos pasti pontang-panting menghapus memori tragis dari kamar ini.
Aku penasaran kelak akan menjelma apa kamar ruang akhir hidupku ini?
AKU bangun di antara aroma anyir yang keluar dari seluruh lubang di tubuhku. Sepasang mataku menegang, membelalak dengan saraf-saraf halus berwarna ungu kebiruan. Di pantatku, ada basah yang berserat, kuning becek merembes di celana. Kuku di jari-jari tanganku menghitam, aku lupa kapan terakhir kali membersihkan kutikulanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah empat hari aku memperhatikan tubuhku yang nelangsa dan membiru. Pelan-pelan aku coba ingat apa saja yang sudah kumakan empat hari lalu, ah tidak ingat! Aku hanya mengingat samar-samar, saat malam takbiran dan seluruh keluarga berkumpul di rumah Tante Jul. Anak-anak kecil di rumah Tante Jul melantunkan takbir dengan semringah sambil menghidupkan kembang api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku juga turut menghidupkan salah satu kembang api dan melihatnya meledak seperti tebaran gemerlap bintang di udara. Sisa ledakan gemerlap kembang api itu menjadi abu hitam tipis yang luruh dari langit. Hitamnya seperti warna kedua pipiku saat ini.
Aku mengamati pipiku, empat hari lalu aku masih bisa becermin melihat keriput kulit manusia 56 tahun. Hari ini kulihat pipiku sedikit menggembung. Aku mencoba melihat rupaku pada cermin yang menempel di dinding, tepat berada di depan tubuhku yang rebah. Terlihat tubuh 56 tahun seorang laki-laki yang hidup sendiri di dalam kamar indekos 4 x 3 meter.
Dalam keprihatinan menatap kondisiku yang berantakan ini, aku ingat suatu ketika Tante Jul memintaku untuk tinggal bersamanya. Rumahnya tidak jauh dari bangunan indekos ini, jika tidak salah hitung sekitar dua kilometer jaraknya.
Namun aku tidak mau, aku memilih menyewa kamar indekos kecil dalam gang sempit sedikit kumuh. Memilih bergaul dengan pedagang batagor dan seblak yang mangkal di seberang gang. Jika kehabisan uang, barulah aku akan datang ke rumah Tante Jul untuk minta uang.
Aku tidak bekerja untuk mencari uang, aku lebih suka nongkrong dan ngobrol dengan warga sekitaran gang. Tante Jul yang usianya sudah menginjak 69 tahun harus menopang kehidupan keponakan laki-laki kesayangannya yang tidak kalah bangkotan ini.
Bapak dan ibuku sudah meninggal, lagi pula mereka sepertinya sudah kewalahan menyuruhku untuk kawin. Sebab menikah adalah hal mustahil bagiku, hatiku kadung kepincut laki-laki beristri yang bekerja mengelola sebuah warung makan Betawi di kampung sebelah. Sebulan sekali aku makan di warungnya hanya untuk melihat manusia terkasihku. Tapi tentunya, aku hanya bisa berkhayal, sebab keberadaan perasaanku bakal makin mencoreng nama baik keluarga.
Meski sebelumnya sudah tercoreng sejak usiaku 30 tahun, sejak kebanyakan menumpukan hidup pada pinjol alih-alih bekerja memenuhi kebutuhan. Sialnya, dalam kesendirianku yang lumayan santai ini, aku harus berakhir di dalam kamar ciut. Terkunci, tak bisa sekadar memutar kunci yang sejak empat hari lalu masih menancap di lubangnya.
•••
AKU mendengar suara langkah kaki yang nada gesekan solnya begitu kukenal. Perempuan yang tinggal di atas lantai kamarku rupanya sudah pulang dari liburannya. Aku sering berpapasan dengannya dan bertegur sapa. Meski aku sering buru-buru masuk ke dalam kamar setelah berpapasan dengannya, saat ini aku berharap ia mengetuk pintu kamarku. Aku ingin ia atau seseorang membuka pintu kamarku, sebab aku kesulitan mengingat segala hal yang membuat kencingku tiba-tiba keluar tak berhenti. Barangkali salah satu dari mereka tahu penyebab kenapa perutku kini makin menggembung.
Nah, aku mendengar suara langkah perempuan itu lagi, sepertinya ia turun dari tangga. Aku tidak tahu ini sudah jam berapa, sebab ruang kamarku rasanya hanya redup. Entah ini subuh, petang, atau siang, tak terbaca oleh mataku. Aku ingat, terakhir ketemu perempuan itu sekitar dua minggu yang lalu. Ia bermain dengan anak tetangga yang masih berusia balita. Anak balita perempuan itu anak tetanggaku yang tinggal di samping kamarku. Tiap hari rambutnya yang ikal dikuncir dua, pitanya warna ungu. Dan ungunya kini seperti berpindah pada kedua bibirku.
Bibirku kini seperti mengeluarkan cairan aneh, kekuning-kuningan yang aromanya seperti bangkai. Ada serombongan belatung bergerak-gerak di langit-langit lidahku. Hiii, aku agak ngeri melihat belatung yang matanya tak terlihat dan pelan-pelan menggerogoti gusi-gusiku.
Ingatanku kembali pada malam takbiran, oh aku makan lontong sayur dan gigiku mendadak linu karena sudah terlalu tua untuk menggigit daging ayam. Rupanya sisa lontong sayur itu kubawa pulang. Sisa tulang ayamnya masih ada di dalam bekas piring yang kugunakan untuk makan. Tulang itu sudah diselimuti jamur tipis-tipis kecokelatan.
Jangan-jangan, lontong sayur itu adalah makanan yang terakhir kumakan. Tapi, apakah lontong sayur bisa membuat daging-daging di tubuhku pelan-pelan membusuk? Tiba-tiba air mataku menetes, aku merasa sedih sebab terjebak di kamarku sendiri dan rupanya aku tak bisa menembus tembok. Aku bahkan tak bisa sekadar mengetuk pintu kamar agar tetanggaku mendengar dan membuka pintunya. Aku bahkan juga tak bisa membuat aroma anyir di ruang ini tercium sampai ke luar sebab ruang ini tertutup seluruhnya.
Ternyata kisah-kisah soal jiwa dapat menembus tembok itu tidak berlaku bagiku. Aku sedikit stres memikirkan bagaimana caranya orang menyadari tentang keberadaan tubuhku yang awur-awuran ini. Kenapa pula aku tak dapat segera pergi dari sini?
Aromaku yang makin busuk begitu pekat, bahkan orang di luar sana tak menyadarinya. Barangkali, warga gang senggol kumuh ini sudah terbiasa mencium aroma bangkai. Aroma kehidupan sehari-hari yang bercampur sampah rumah tangga dan bangkai tikus got. Barangkali, bagi mereka, aroma ini hanyalah bau sisa tubuh musang yang terperangkap di plafon tetangga.
Aku melihat telepon genggam Androidku yang masih tersambung kabel pengisi daya. Bahkan tak ada yang menghubungiku. Tak ada yang mencari keberadaanku. Aku betulan sendirian. Apakah ini akan menjadi ruang peristirahatan terakhirku yang begitu sendu? Aku bahkan belum berpamitan kepada si pemilik warung makan Betawi kesayanganku. Tapi setidaknya, ayolah siapa pun, bukalah pintuku, bukalah pintuku. Hiruplah aroma anyir darahku yang mengering, temukanlah wajah hitamku yang kelam ini.
•••
ENTAH sudah empat hari, lima, tujuh, atau dua minggu aku berada di ruang ini. Aku hanya melihat pelan-pelan tubuhku jadi benyek, hitam, bernanah seluruhnya dan belatung membangun rumah di kulitku yang keriput.
Aku menangis sebab tidak bisa berpindah ke ruang atau alam lain agar perasaanku tak makin tersiksa melihat sepasang bola mataku copot dari tempatnya. Tak ada juga yang datang menjemputku. Aku putus asa menunggu sampai kapan tubuhku ditemukan.
Barangkali, aku justru akan melihat sisa kerangka tertidur pulas di kasurku. Hal-hal yang kulihat sekarang lebih menyedihkan ketimbang mengingat bagaimana aku menjalani hidup sendiri di bangunan indekos mungil susun dua.
Bolak-balik aku mendengar langkah kaki manusia di luar kamar. Tapi tak ada satu pun yang berhenti dan mengetuk pintuku. Aku sering dengar si anak balita sebelah kamar menangis lama, mungkin ialah yang mulai sadar tentang tua bangka tetangganya yang sudah lama tak keluar kamar untuk menjemur baju.
Tapi, bisa apa balita tetanggaku itu, ia belum mampu berbicara. Tangisnya bisa diartikan sebagai tangisan anak balita lapar, mengantuk, atau butuh mainan. Rasanya ingin kuhajar cermin di depanku sebab ia terus-terusan memantulkan tubuh porak-poranda ini.
Tante Jul juga tak ada tanda-tanda mencari keberadaanku. Mungkin karena pada malam takbiran aku sudah mengantongi sejumlah uang yang cukup untuk kebutuhanku satu sampai dua bulan ke depan. Memang sudah jadi kebiasaan, aku akan ke rumah Tante Jul jika kehabisan uang, lalu berlarut-larut tak memberi kabar kepada mereka, sampai kemudian aku muncul lagi dengan tujuan yang sama. Pola-pola ini yang membuat orang sekitarku tak perlu khawatir ketika seminggu-dua minggu tak ada kabar dariku. Pak indekos juga akan mencariku jika sudah jatuh tanggal membayar sewa.
Ah! Ini dia! Pak indekos akan mencariku, yang perlu kuingat lagi adalah kapan waktunya aku membayar sewa. Ya anjing! Tentu saja aku tak ingat, sebab waktu tak terbaca oleh keadaanku saat ini. Nelangsa betul-betul lengkap dalam kondisiku saat ini, aku tak ingat apa yang membuatku jadi busuk, juga tak ingat kapan harus membayar sewa indekos. Keputusasaanku membuatku pasrah jasadku terkubur di kamar ini.
•••
BRAK! Pintuku tiba-tiba terbuka! Kuncinya terjatuh di lantai dan barisan semut-semut buyar ditimpa kunci. Aku akhirnya melihat beberapa orang masuk ke dalam kamarku. Mereka menutup hidung mereka dan melihat tubuhku yang busuk luar biasa dengan tatapan ngeri. Beginikah tatapan manusia pada kenyataan akhir hidupnya sendiri? Oh, kecuali anak kecil tetangga depan indekos. Kulihat ia malah melongok-longok dengan wajah takjub seperti menyaksikan keajaiban dunia.
Pintu yang terbuka itu pelan-pelan membawa sepoi angin dan menerbangkan jiwaku, terpisah dari tubuhku seluruhnya. Meninggalkan ruang sesak tempat napasku berakhir. Aneh juga, ternyata jiwa butuh dibebaskan pula dari kuncian pintu indekos 4 x 3 meter ini. Kukira aku bisa keluar sendiri dan mengetuk pintu-pintu tetangga di tengah malam seperti di film-film.
Rasa lega menyulam pelan-pelan pada jiwaku. Aku sedikit merasa bersalah, sebab kamar itu harus menjadi bekas terbujur kakunya mayat tua bangka yang hidup sendirian. Pak indekos pasti pontang-panting menghapus memori tragis dari kamar ini.
Sebelum jiwaku lenyap seluruhnya, aku penasaran kelak akan menjelma apa kamar ruang akhir hidupku ini? Jangan-jangan ke depan akan disewa oleh pedagang gorengan keliling yang setiap malam menyiapkan adonan gorengannya di kamar bekas belatung dan bakteri mayat bermuara. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo