Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Indonesia Raya di Era Reformasi

Jos Cleber membubuhkan aransemen yang baik buat lagu kebangsaan. Tapi mungkin bukan yang terbaik.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita melongo menyaksikan si hitam manis Whitney Houston melantunkan The Star Spangled Banner, lagu kebangsaan Amerika, tatkala mengantar sebuah pertandingan tinju kelas berat. Belum lagi sampai pada bagian refrain-nya, dari mulutnya yang lebar itu mengalirlah nada-nada "avonturir" yang meloncat naik satu oktaf di atas pitch standar yang biasa dipergunakan orang. Ia telah mengabaikan susunan nada pada garis melodi sehingga orang lebih mengenali lagu itu dari liriknya ketimbang melodinya. Pokoknya, ia bebas-merdeka: mengikuti pola dinamika keras-lunaknya nada yang dibuatnya sendiri, dan mengulur-kerutkan tempo sekehendak hatinya. Indonesia memang bukan Amerika Serikat. Banyak orang masih akan berontak bila Indonesia Raya yang kita junjung tinggi itu sampai diperlakukan sedemikian rupa. Diakui atau tidak, telah tumbuh keyakinan kuat bahwa lagu yang semenjak 1950-an itu dimainkan dalam aransemen baku—di stasiun televisi, radio, dan upacara-upacara kenegaraan—tak akan membusuk dimakan usia. Sebaliknya, semakin lagu itu dimainkan mendekati aransemen resmi, aransemen Jos Cleber, semakin khidmatlah lagu itu terdengar. Lihatlah hasil pertunjukan Jeunesses Musicales World Orchestra alias Orkes Remaja Dunia, di Hotel Grand Melia Jakarta, pekan lalu. Ada 70 anak muda dari pelbagai penjuru dunia yang memainkan instrumennya sesuai dengan aransemen Jos Cleber. Mereka menelurkan satu pertunjukan yang heroik dan anggun. Jos Cleber adalah seorang arranger dan dirigen orkes simfoni yang secara khusus diminatkan Bung Karno pada 1951 menyiapkan sebuah aransemen istimewa untuk lagu kebangsaan Indonesia. Dalam prosesnya, tokoh musik yang meninggal pada 1999 ini membubuhkan kontras dalam partitur karya komponis W.R. Supratman itu agar bagian refrain terdengar menggemuruh. Biola dan selo "diperintahkan" untuk melembutkan bagian-bagian sebelum refrain. Sedangkan timpani, trompet, dan simbal ditugasi "meledakkan" refrain yang menjadi inti semangat karya itu. Sebagai "corong" Jos Cleber malam itu, Orkes Remaja Dunia menunaikan tugasnya dengan baik. Selain sukses mengungkapkan elemen kontras, orkes simfoni ini juga berhasil menghindari "lubang-lubang jebakan". Misalnya, not yang seharusnya berbobot 1/16 dimainkan triplet (tiga not bernilai 1/8 per satu ketukan) pada bagian pembuka Indonesia Raya. Dengan cara ini, aransemen Jos Cleber terdengar lebih gagah, menggugah, anggun, namun tak meninggalkan kesan lamban. Aransemen gubahan Jos Cleber itu memang istimewa. Mungkin karena kehebatannya itulah, pemerintahan Sukarno sampai mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah, bernomor 44/1958, yang melarang orang membawakan lagu kebangsaan di luar empat ketentuan: aransemen orkes simfoni, aransemen harmoni suara, aransemen khusus untuk alat tiup atau brass instruments, dan aransemen untuk paduan suara yang diiringi piano. Dengan itu, Indonesia Raya mustahil dinyanyikan dengan gaya Jimmy Hendrix, gitaris urakan yang menyanyikan lagu kebangsaan Amerika dalam Festival Woodstock 1969. Meski agak patuh bertahan pada jalur tempo yang telah digariskan, gitar elektrik Hendrix terdengar seperti orang menjerit kesakitan ketika menjelajahi nada-nada yang paling tinggi untuk kemudian—tanpa aba-aba lebih dulu—terjun ke nada-nada yang berada dua sampai tiga oktaf di bawahnya. Dengan sentuhan tangan si Hendrix, berkumandanglah rentetan bunyi yang rendah-parau dan tinggi-memekik silih berganti. Ada pembakuan dalam Indonesia Raya, memang. Dan itu diikuti proses "sakralisasi" yang tidak mustahil akan menimbulkan masalah, terutama di zaman reformasi sekarang. Kalau pensakralan itu mencakup simbol-simbol ilahiah, kenegaraan, dan kebangsaan, mungkin orang bisa diminta untuk melebarkan koridor toleransinya. Tapi apabila pensakralan itu sudah merambah ke daerah-daerah pinggiran, seperti tetek-bengek soal aransemen yang sesungguhnya merupakan kulit luar dari sebuah komposisi musik, orang pun akan muncul dengan kesimpulan pendek: inilah ekses dari proses penyeragaman yang berlangsung secara besar-besaran di negeri ini. Aransemen Jos Cleber memang luar biasa. Dengan sentuhan seorang Cleber, Indonesia Raya yang mirip Le Marseillaise, lagu kebangsaan Prancis itu, menjadi lebih bergelora. Tapi mengukuhkan aransemen Cleber sebagai satu-satunya aransemen yang berlaku sama saja dengan menutup pintu terhadap perbaikan dan penyempurnaan. Yang jelas, melihat perkembangan pesat yang terjadi di dunia musik dewasa ini, tak tertutup kemungkinan bahwa Indonesia kini mempunyai arranger yang lebih piawai daripada Jos Cleber. Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus