Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tujuh Kata Terbentur Tembok

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah perkara penting akhirnya diputuskan di Senayan. Sidang Tahunan MPR, Sabtu pekan lalu, akhirnya memutuskan: mengukuhkan Pasal 29 konstitusi tetap seperti naskah aslinya. Sidang paripurna ke-6 yang dihadiri 616 orang anggota itu tidak mengabulkan permintaan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), Fraksi PBB, dan Fraksi Daulatul Ummah (FDU), untuk mencantumkan tujuh kata—dikenal dengan Piagam Jakarta—dalam pasal tentang agama itu. Keputusan diambil cukup alot. Ketua MPR Amien Rais sampai menskors sidang selama hampir 15 menit. Waktu istirahat dipakai para pemimpin MPR, pemimpin fraksi, dan pemimpin komisi, berunding di ruang kaca, ruang pojok di lantai dasar Gedung Paripurna I. Sidang dibuka kembali sekitar pukul 16.00. Di hadapan Majelis, Amien menginformasikan bahwa pada dasarnya tiga fraksi sudah menyatakan keinginannya dengan tulus agar Pasal 29 kembali ke naskah asli UUD 1945. Tepuk tangan membahana. Suasana ruang sidang tiba-tiba hening. Semua mata dan telinga para wakil rakyat tertuju kepada sejumlah tokoh yang mewakili tiga fraksi yang usulnya ditolak itu. Mereka memang sejak awal getol memperjuangkan masuknya politik tujuh kata berupa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" itu masuk ke Batang Tubuh UUD 1945. "Saat ini kami berada pada sebuah tembok besar yang tak mungkin ditembus, tapi kami tak berniat untuk surut ke belakang," kata juru bicara Fraksi PBB, Nadjih Ahjad. Akhirnya, Fraksi PBB menyatakan tidak ikut ambil bagian terhadap keputusan Majelis. Sikap Nadjih disokong tokoh FDU Hartono Mardjono. Suasana sedikit gaduh saat Sidik Aminullah atas nama tiga orang dari Fraksi Utusan Golongan menyatakan minderheitnota atas keputusan itu. Muktamimul Ulla, anggota Fraksi Reformasi dari unsur Partai Keadilan, juga ikut mengekor Sidik. Ia bersama enam orang dari Partai Keadilan menyatakan menolak keputusan Majelis. Dengan mata berkaca-kaca, Nurdiati Akmal, satu-satunya anggota Partai Amanat Nasional, menentang arus besar yang ada di tubuh fraksinya yang sebagian besar menyetujui kembalinya Pasal 29 ke naskah asli. Fraksi PP, yang partainya berasaskan Islam, malah realistis. Mereka sepakat menyerahkan keputusan di tangan Majelis. Ini sejalan dengan kebijakan ketua umum yang juga Wakil Presiden Hamzah Haz bahwa partainya akan sepakat dengan mayoritas. Untunglah tak ada voting. Wakil Ketua Fraksi PP, Zain Bajeber, menyatakan jika perihal pasal itu diadu suaranya dan ternyata kalah, dikhawatirkan nantinya terjadi salah paham. "Nanti ada persepsi menjalankan syariat itu menjadi tidak wajib. Ini kan bahaya," katanya. Untung saja, memang. Fajar W.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus