Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sensor Iklan ala Fauzan

Majelis Mujahidin mengirim somasi, RCTI dan SCTV pun menghentikan iklan layanan masyarakat dari Komunitas Islam Utan Kayu. Sensorkah itu?

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segerombolan bocah lelaki tampak sedang menjalani khitanan massal. Lagu berirama kasidah yang berjudul Perdamaian—populer pada 1980-an—terdengar sayup-sayup. Keriangan dan persahabatan terasa pekat. Kemudian, ada deretan huruf berbunyi, ”Islam warna-warni, tak cuma satu. Banyak ragam, saling menghargai.” Kalimat ini mengakhiri tayangan klip iklan berdurasi satu menit itu. Namun, setelah ditayangkan selama seminggu, iklan layanan masyarakat produksi Komunitas Islam Utan Kayu tersebut tiba-tiba hilang dari tayangan layar kaca. RCTI dan SCTV, stasiun televisi yang sempat menyiarkannya, pekan lalu secara sepihak menghentikan penayangan iklan garapan sutradara kondang Garin Nugroho itu. Padahal masa kontrak iklan masih tersisa be-berapa hari. RCTI dan SCTV rupanya sedang tiarap. Pada 4 Agustus lalu, Majelis Mujahidin, organisasi Islam yang gencar mengampanyekan penerapan syariat Islam, melayangkan somasi kepada kedua stasiun televisi itu. Dalam surat yang ditandatangani Fauzan Al-Anshari, Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin, RCTI dan SCTV diminta segera menghentikan penayangan ”iklan sesat” tersebut. Apakah tindakan yang dilakukan Majelis Mujahidin ini dapat dibenarkan? Kepada TEMPO, Fauzan menyatakan bahwa sikapnya menghentikan iklan Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) merupakan kewajiban dakwah. Menurut Fauzan, iklan tersebut bertentangan dengan Al-Quran, kitab suci umat Islam. ”Islam itu satu, bukan warna-warni,” ujar alumni Universitas Gadjah Mada ini. Ditegur seperti itu, RCTI dan SCTV segera bereaksi. Tampaknya kedua stasiun televisi itu tak ingin menuai persoalan, sehingga tayangan iklan layanan masyarakat dari KIUK langsung dihentikan. Pihak RCTI menyatakan tak ingin persoalan yang menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tersebut meledak. ”Ini soal agama yang sangat sensitif,” ujar Teguh Juwarno, juru bicara RCTI. Sekalipun begitu, RCTI tak menganggap penghentian iklan ini sebagai pemasungan kebebasan berekspresi. Stasiun televisi milik Grup Bimantara ini, kata Teguh, masih membuka kemungkinan penayangan kembali iklan tersebut. Syaratnya, ”Komunitas Islam Utan Kayu harus menyelesaikan masalah ini,” ujarnya, tanpa menjelaskan lebih rinci. Berbeda dengan RCTI, SCTV menghentikan penayangan iklan KIUK karena persoalan muatan. Setelah menerima surat somasi, petinggi stasiun televisi yang baru masuk bursa ini langsung mengadakan pertemuan. Hasilnya, ”SCTV sependapat dengan Majelis Mujahidin, Islam memang cuma satu,” ujar Budi Darmawan, juru bicara SCTV. Majelis Mujahidin rupanya tengah gencar mengawasi media massa. Sebelumnya, organisasi pimpinan Abu Bakar Ba’asyir ini juga sempat mengancam stasiun Metro TV. Pada Juni 2002 lalu, Metro TV sempat memberitakan konflik Palestina-Israel. Dalam penilaian Majelis Mujahidin, berita Metro TV tersebut dianggap terlalu pro-Israel. Maka puluhan anggota Majelis Mujahidin mendatangi kantor stasiun televisi itu di kawasan Kedoya, Jakarta Barat. ”Alhamdulillah, mereka jadi pro-Palestina,” ujar Fauzan Al-Anshari. Tapi Komunitas Islam Utan Kayu berpendapat bahwa pembredelan iklan mereka merupakan bentuk penindasan. Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Komunitas Islam Utan Kayu, mengaku kecewa dengan sikap keras Majelis Mujahidin. ”Tanpa syariat Islam pun mereka sudah sewenang-wenang,” kata Ulil. Senada dengan Ulil, pengamat media Veven S.P. Wardhana menyatakan kasus ini sebagai sensor gaya baru. Dulu, pada zaman Orde Lama (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998), pemerintahlah yang menyensor pers secara ketat. Pada masa itu, ”budaya telepon” hingga pembredelan media massa menjadi momok menakutkan bagi pekerja pers. Sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid melikuidasi Departemen Penerangan, pers Indonesia terbebas dari sensor pemerintah. Namun fungsi sensor kini diambil alih berbagai lembaga lain, misalnya organisasi keagamaan, partai politik, dan organisasi massa. Dengan sikap yang tak kurang kerasnya, mereka menjadi ancaman bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Boleh dibilang, ”Pers keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya,” ujar Veven. Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus