KIAI Cholil Bisri menundukkan mukanya. Suara kiai berambut keperakan ini terdengar agak parau saat membaca selawat agar negara selamat. Disusul kemudian Dokter Sukowaluyo tampak sigap memimpin kor Indonesia Raya. Hampir pukul dua dini hari Ahad ini, sidang paripurna ke-6 sebagai bagian penting Sidang Tahunan MPR kali ini ditutup sudah. Sejumlah rancangan ketetapan penting telah diputuskan, mulai soal pemulihan perekonomian, sidang tahunan tahun depan, sampai tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden.
Kelar sudah tugas Majelis. Amandemen konstitusi keempat, atau yang terakhir, yang menjadi landasan penting dalam bernegara, sudah diketok. Ketua MPR Amien Rais yang memimpin sidang maraton itu mulai bisa tersenyum. Ia berpelukan dengan para pemimpin dan ramai menerima jabat tangan. Wajahnya letih. "Memang sidang kali ini yang paling pelik dan butuh kesabaran," katanya kepada para wartawan. Fraksi TNI-Polri, yang semula ngotot menggagas pembentukan Komisi Konstitusi lewat Aturan Tambahan—bagian penting konstitusi—akhirnya mencabut proposalnya. Sidang sampai diskors dua kali untuk melakukan lobby antar-pemimpin dan ketua fraksi.
Sehari sebelumnya Amien susah tersenyum. Maklum, hingga menjelang tengah malam Jumat pekan lalu itu, dalam rapat konsultasi di ruang kerjanya di lantai lima Gedung Nusantara III di Senayan, semua pemimpin fraksi dan komisi kembali berkumpul untuk berdebat. Kali ini topiknya memang lagi jadi hits: naskah Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Masalahnya jadi kian ruwet ketika Fraksi TNI-Polri, didukung Fraksi Kebangkitan Bangsa, memperjuangkan agar dibentuknya lembaga konstituante itu tak cukup dengan ketetapan MPR. "Akan lebih kuat jika diikat dengan Aturan Tambahan atau Aturan Peralihan," kata Yusuf Muhammad dari FKB. Tapi tawaran ini ditolak mayoritas.
Ada apa di balik sikap ngotot tentara? Usut punya usut, rupanya fraksi serdadu ingin agar pembentukan Komisi Konstitusi berlangsung tahun ini juga. Usulan ini serta-merta mengundang protes dari fraksi-fraksi lainnya. Apalagi Komisi A, yang bertugas membahas rumusan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam rapat paripurna telah menyampaikan hasil kerja mereka. Ketua Komisi A, Jakob Tobing, dalam pidatonya menjelaskan bahwa usulan pembentukan badan istimewa tersebut telah diterima semua fraksi. Nyaris final. Dasar hukumnya berupa ketetapan MPR.
Jakob lalu menyandingkan kaitan Komisi Konstitusi dengan Badan Pekerja MPR. Dalam prakteknya, kelak Badan Pekerja-lah yang akan merumuskan detail susunan keanggotaan, wewenang, hingga mekanisme kerja lembaga itu. Semua hasil Amandemen I hingga IV akan dibaca ulang dan diselaraskan. Mereka lalu membuat sejumlah rekomendasi kepada Majelis, yang akan mengesahkan hasilnya pada sidang tahunan nanti. "Hasil kerja komisi ini seyogianya bisa disahkan pada Sidang Tahunan 2003 sehingga bisa jadi landasan hukum bagi pemerintahan mendatang," kata Slamet Supriyadi, Ketua Fraksi TNI-Polri di MPR, "Tapi, karena mayoritas beranggapan lain, ya sudah, go ahead, kata Panglima TNI."
Kalau diterima, usulan fraksi tentara dan polisi ini bisa bikin runyam. Pembacaan keputusan Komisi A (di antaranya membahas Komisi Konstitusi) jadi mentah kembali jika rapat konsultasi di ruang Amien itu mengabulkan permohonan fraksi yang menginduk pada markas besar tentara di Cilangkap itu. Namun, upaya mengedit naskah rancangan ketetapan sesuai dengan usulan Slamet kandas. "Bukan ditolak, tapi ada kendala prosedural, karena sudah dikunci," kata Amien Rais. Maksudnya, 12 fraksi di Majelis telah menerima dan meneken hasil rumusan Komisi A.
Protes di luar parlemen bermunculan. Ratusan mahasiswa berteriak agar wakil rakyat menuntaskan amandemen konstitusi—sampai-sampai mereka nekat menjebol pagar depan, "menculik" tokoh anti-amandemen Amin Arjoso, meski diguyur semprotan kanon berisi air. Tapi Komisi Konstitusi yang mereka inginkan tak seperti dikonsep para wakil rakyat. "Badan perumus konstitusi baru itu harus independen dan tak dibentuk Majelis," teriak seorang aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia. Sejumlah aktivis Front Revolusi 2002 malah tegas mengecam semua petinggi legislatif dan menuntutnya agar mundur. Mereka berdemo di depan gedung di Senayan itu, Sabtu pekan lalu.
Koalisi untuk Konstitusi Baru juga marah. Mereka mengecam keras keputusan pembentukan Komisi Konstitusi melalui Badan Pekerja MPR. Bambang Widjojanto, yang menjadi motor koalisi, sampai merobek naskah rancangan ketetapan tersebut di depan para wartawan di Senayan. Ia mengaku gusar bukan kepalang. Urusan penyusunan konstitusi, yang mestinya bebas dari kepentingan partai politik, kini malah harus direcoki para legislator itu. Pengamat politik Mochtar Pabottingi, yang sejalan dengan Bambang, juga cemas. "Bagaimana mereka bisa menyusun peraturan yang kelak bisa membatasi diri mereka sendiri?" tanya Mochtar.
Sejatinya, usulan independensi bukannya tak terdengar. Tim perumus Komisi A, yang bersidang sepanjang Rabu dan Kamis pekan lalu, membocorkan berita dari dapur Senayan. Kabarnya, minimal ada tiga fraksi—Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia—yang menginginkan agar susunan anggota komisi mesti independen. Tapi sembilan fraksi lainnya beda sikap. Mereka ingin rekrutmennya berasal dari figur gabungan antara tokoh nonpartisan dan anggota MPR di dalam komisi.
Gagasan Komisi Konstitusi menggelinding kencang ketika Cilangkap angkat bicara. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menggulirkan ide ini seraya aktif melobi para pemimpin Republik, termasuk bertandang ke rumah Amien Rais. Sikap militer tegas: tetap menggunakan hasil Amandemen I hingga IV UUD 1945 sebagai "konstitusi transisi". Belakangan, sinyal persetujuan juga diberikan Presiden Megawati, yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan. Taufiq Kiemas, suami Mega, yang jadi figur penting di Senayan, ikut menggeber anak buahnya agar mendukung ide ini. Dalihnya, amandemen kebablasan, sehingga kelak bisa disempurnakan lewat komisi khusus ini. Fraksi Kebangkitan Bangsa juga seirama.
Usulan Endriartono ini keruan saja bak geledek di siang bolong. Di mata sejumlah politisi sipil di Senayan, lontaran sang Jenderal bak menelikung mereka di tikungan. "Ada kesan yang muncul bahwa TNI dan Polri jadi lebih progresif dari kami yang sejak awal memperjuangkan reformasi," ujar Djoko Susilo. Anggota Fraksi Reformasi dari Partai Amanat Nasional ini risau jika publik terlena oleh "manuver politik korps tentara". "Jangan lupa, mereka tetap memiliki kepentingan politik di Senayan," kata Djoko. Menurut perubahan konstitusi, tentara dan polisi tak akan ada lagi di MPR dua tahun lagi.
Tapi Slamet Supriyadi punya alasan sendiri. Ia malah mengingatkan kerisauan fraksinya jika kelambatan pembentukan komisi bisa berbuntut panjang. Sebab, ada sejumlah agenda nasional dua tahun ke depan. Di antaranya pemilihan umum secara langsung wakil rakyat (di DPR dan DPD), juga pemilihan presiden dan wakil presiden. Kondisi genting ini bisa berabe kalau didasari amandemen konstitusi yang masih belum sempurna. Apalagi inilah saat pertama kali, setelah robohnya orde Soeharto, rakyat akan menggunakan hak pilihnya secara langsung. Bisa gawat, bisa terjadi konflik sesama saudara. "Itu alasan aneh. Saya justru yakin aparat keamanan akan bisa mencegah konflik ini," kata Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi.
Alasan sih boleh saja. Yang penting, jangan sampai sekadar jadi pembungkus skenario langkah mundur: kembali ke naskah asli konstitusi.
W.M., Widjajanto, Fajar W.H., Candra, dan TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini