Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Islam, pancasila dan percaturannya

Jakarta: lp3es, 1985 resensi oleh: deliar noer. (bk)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN Oleh: Ahmad Syafii Maarif Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1985, 217 halaman dan indeks KHAZANAH baca mengenai Indonesia diperkaya dengan buku ini, yang membahas "Islam dan Masalah Kenegaraan", khususnya tentang percaturan Islam dan Pancasila dalam Konstituante tahun 1957--1959. Pengarangnya, Ahmad Syafii Maarif, yang menyelesaikan program Ph.D.-nya tahun 1982 di Universitas Chicago, menelusuri masalah umum itu pada masa Nabi Muhammad saw., pada pemikiran para yuris Muslim Abad Pertengahan (terutama al-Baqillani, al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah), serta para pemikir modernis (Jamaluddin al-Afghani, Mohammad Abduh, dan Mohammad Iqbal). Penelusuran dalam Bab II membuat sekadar perbandingan dengan al-Ghazali, Shah Waliullah (untuk Abad Pertengahan), dan Ahmad Khan serta Mohammad Asad (untuk pemikiran modernis). Dalam rangka ini, rujukan dan komentar diambil dari berbagai pendapat, ada yang dari kalangan orientalis, ada yang Muslim. Tampaknya pengaruh Fazlul Rahman, pembimbing Maarif ketika studi di Chicago, kuat juga pada pengarang. Rahman masih dipergunakan dalam membuat perbandingan pada Bab IV (Islam dan Dasar Negara Republik Indonesia) untuk menilai Maududi, itu pemikir Pakistan yang buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini. Didahului oleh "Islam Indonesia pada Abad ke-20" (Bab III), yang memberikan gambaran selintas tentang berbagai pemlklran dan kedudukan sosio-politik Islam baik di zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, maupun tahun-tahun pertama kemerdekaan, Bab IV memang membahas berbagai plkiran dalam Konstltuante tentang dasar negara, khususnya antara mereka yang memperjuangkan Islam di satu pihak dan Pancasila di pihak lain. Tentang hal Islam sebagai dasar negara, pembahasan Maarif didahului dengan penampilan Natsir dan Zainal Abidin Ahmad dalam beberapa kitab mereka, untuk kemudian memasuki pikiran-pikiran Natsir, Masjkur, Hamka, Isa Anshary, dan Osman Raliby di dalam Konstituante. Tentang Pancasila, pembahasan itu didahului dengan pemikiran Sukarno dan Hatta (di luar Konstituante), dan Roeslan Abdulgani, Sutan Takdir Alisjahbana, Soedjatmoko, dan Arnold Mononutu di dalamnya. Roeslan mengemukakannya sebagai keyakinan, Takdir dan Soedjatmoko sebagai satu-satunya kemungkinan dalam lingkungan, dan Mononutu dari sudut iman Kristen. Maarif tidak lupa menunjuk pada pendapat Sukarno yang memeras Pancasila menjadi Trisila, dan akhirnya Ekasila sedangkan pemikiran Hatta menjadikan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai "dasar yang memimpin sila-sila yang lain" (hal. 155). Di antara para pemikir Indonesia ini, pemikiran Hatta dirujuk Maarif kepada karangan-karangannya sesudah tahun 1965 tanpa menyebut bahwa dalam hai ini tiada perbedaan dijumpai dalam pikiran Hatta tahun-tahun 1950-an. Tetapi dapat disimpulkan bahwa secara umum, dengan menampllkan pemiklran-pemikiran itu Maarif membawa para pembacanya ke dalam suasana perbandingan pemikiran tahun-tahun sebelum masa Demokrasi Terpimpin - yang memang perlu sekali-sekali ditelaah pada masa kini karena ia sering dilupakan. Di samping masalah dasar negara, Maarif juga menampilkan masalah hak-hak asasi manusia. Terutama pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy (hal. 168-175) diungkapkan secara terurai Pengarang juga melanjutkan pembahasannya dengan pemikiran tentang Demokrasi Terpimpin, balk yang pro maupun yang kontra, serta perkembangan sekitar pembubaran Masjumi pada tahun 1960. Tetapi Maarif juga mengemukakan pandangan Mohammad Asad tentang negara Islam dalam Bab IV ini - sungguhpun Asad kurang dirujuk di Indonesia -pandangan Maududi (antara lain hal. 136) tentang kedaulatan Tuhan, malah Khomeini (halaman yang sama). Referensi kepada Maududi dan Khomeini seperti yang dilakukan oleh Maarif akan mengaburkan pembaca dalam melihat permasalahan sekitar Konstituante kita: pcrtama, karena Maududi dalam tahun-tahun tersebut kurang populer di Indonesia dan, kedua, karena masalah kedaulatan Tuhan yang dikemukakannya (juga yang dikemukakan oleh beberapa pemikir Islam di Indonesia ketika itu) lebih melihat pengertian kedaulatan dalam arti yang mutlak. Sebagai lanjutannya, pengertian "kedaulatan rakyat" dalam arti nisbi. Perbedaan pengertian yang mutlak dan nisbi ini tampaknya kurang diperhatikan oleh Maarif. Adapun tentang pemikiran dan perbuatan Khomeini, tentulah ia tidak relevan sama sekali dengan soal-soal di Indonesia tahun 1956-1959. Oleh sebab itu, lanjutan pembahasan Maarif mengenai "Islam dan Dasar Negara di Indonesia" dalam bab yang sama ke masa Orde Baru tampaknya bagai dipaksakan, sungguhpun beberapa segi memang relevan. Akan lebih tepat sekiranya Maarif membahasnya dalam suatu bab khusus, umpamanya dalam semacam epilog, sehingga masa Orde Baru - kalau hendak dibicarakan juga akan memperoleh analisa serta kesimpulan yang lebih cermat. Kalau ini dilakukan, agaknya Maarif akan mengakui bahwa usaha umat atau tokoh-tokoh Islam pada tahun 1950-an bukan "perjuangan yang tergesa-gesa" dan bukan "kurang cermat membaca medan" (hal. 192), karena perkembangan tahun 1950-an memang lain dari 1970-an dan 1980-an. Ada segi lain lagi yang dapat dibaca dalam pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam itu, dan ini tidak dikemukakan Maarif. Kalau Maarif mengatakan bahwa pemikiran para yuris Islam di Abad Pertengahan (dalam soal kenegaraan) tidak atau kurang relevan dengan masa abad ke-20 (sekurang-kurangnya demikianlah yang ia kesankan), tokoh-tokoh Islam Indonesia abad ke-20 telah berbuat lebih dari sekadar mengemukakan hal itu. Mereka telah berusaha mengembangkan pemikiran dalam konteks Indonesia. Itu suatu usaha yang, menurut jalan pikiran mereka, tidak lepas dari Alquran dan Sunah tanpa perlu menilai bagaimana para yuris Muslim Abad Pertengahan itu dalam hubungan dengan masa kini. (Tetapi sambil lalu, kalau Maarif mengambil Ibnu Khaldun sebagai pemiklr, agaknya ia akan bertemu dengan halhal yang lebih relevan dengan masa kini). Dalam rangka ini sebaiknya Maarif membandingkan pula pemikiran para pendukung Pancasila yang sepanjang kita merdeka mengenal penlabaran berbagai ragam: bandingkanlah penjabaran itu pada masa revolusi, dalam tahun 1950-an, masa Demokrasi Terpimpin, dan masa Orde Baru. Sehingga orang bertanya sesamanya: Apakah Pancasila itu sesungguhnya, atau apa yang disebut Pancasila itu bergantung pada masa tertentu ? Dipandang dari sudut ini, mengatakan bahwa usaha tokoh-tokoh Islam itu sebagai "usaha prematur dan tidak realistik" (hal. 9) adalah rumusan yang kurang adil. Maarif menilainya dan sudut hasll usaha tersebut bukan dalam rangka "usaha" itu sendiri. Bahwa suatu usaha tidak atau kurang berhasil tidak berarti bahwa ia "prematur dan tidak realistik". Perlu juga diingat, usul pemerintah pada tahun 1959 kepada Konstituante untuk kembali ke UUD 1945 tidak mendapat cukup dukungan, sehingga ia perlu didekritkan. Apakah ini berarti bahwa ia juga "prematur dan tidak realistik" dan hanya bisa berlaku karena disandarkan pada kekuasaan ? Maarif kadang-kadang juga mempergunakan kata-kata yang perlu dipertanyakan. Misalnya, kata-kata yang cenderung mempunyai pengertian mutlak, seperti "sempurna" (hal. 3). Atau Islam, sebagai cita-cita, "belum pernah dirumuskan secara sistematis oleh yuris mana pun dalam sejarah Islam" (hal. 5). Ia juga kelihatannya berasumsi bahwa Piagam Jakarta, yang disebut dalam konsiderans Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959, sebagai "jiwa dan merupakan kesatuan dengan seluruh batang tubuh UUD 1945" (hal. 204) - suatu asumsi yang tidak didukung oleh teori hukum konstitusi dan juga oleh pelaksanaan UUD 1945, baik pada masa Demokrasi Terpimpin maupun masa Orde Baru. Manfaat buku ini terletak, seperti dikatakan di atas, pada ungkapan mengenai masa lalu yang sering terlupakan pada masa kini. Kekuatannya dijumpai dalam usaha Maarif mencari arah baru serta kegiatan yang lebih sengaja dalam rangka arah baru itu: "dengan kritis menilai kembali perjuangan politiknya (yaitu umat Islam) di masa lampau di bawah pemahaman Alquran yang segar dan tepat", meng-"kaji secara serius" dan mem"formulasikan dengan sistematis", "Alquran dan cita-citanya tentang suatu tatanan sosial" (hal. 200). Ini tantangan bagi "sarjana-sarjana Muslim, para ulama, dan intelektual Muslim Indonesia" (hal. 205), dan tentunya juga bagi Maarif. Deliar Noor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus