Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Tragedi September Kelabu

Deregulasi perbankan genap 2 tahun. Pertumbuhan Bank Swasta & pemerintah, peringkat bank yang melakukan konglomerasi, efisiensi pemasaran deposito dan peranan bank pemerintah.(sup)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGGAL 1 Juni ini mungkin akan "diperingati" secara khusus di kalangan perbankan. Genap dua tahun sudah deregulasi perbankan nasional diberlakukan. Kebijaksanaan baru yang ditetapkan pemerintah setelah Sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin itu menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan tentang deposito berjangka. Ketiganya mempunyai satu tujuan: menyerap dana sebanyak: banyaknya dari masyarakat agar dapat tumbuh dan berkembang di atas kekuatannya sendiri. "Deregulasi ini memang berdampak sangat besar," kata Somala Wiria, direktur utama Bank Negara Indonesia 1946. "Selama puluhan tahun bank nasional kita, terutama bank pemerintah, tergantung sepenuhnya pada Bank Indonesia. Pokoknya, serba diatur. Kini aturan permainan sudah berubah. Kekuatan pasar untuk selanjutnya akan menentukan. Dulu mekanisme pasar ini tak ada." Bank Indonesia, ternyata, tidak tutup mata dan mengakui kelemahan posisi bank pemerintah dalam persaingan dengan bank swasta. Ketika itu bank-bank umum swasta nasional telah menawarkan bunga 18% setahun untuk deposito berjangka 6 bulan, sedangkan bank-bank pemerintah hanya memberikan antara 14-15%. Untuk menaikkan daya saing bank pemerintah, deregulasi 1 Juni 1983 itu menetapkan, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik juga untuk menyimpannya di bank pemerintah, tidak melulu mencari bunga yang lebih tinggi dari bank umum swasta nasional atau bank swasta asing. "Tetapi itu tak berarti bank-bank pemerintah menyatakan perang terhadap bank swasta," kata Omar Abdalla, direktur utama Bank Bumi Daya, sesaat setelah kebijaksanaan itu diumumkan. "Justru bank pemerintah dan bank swasta harus bersatu dalam menggalang pengerahan dana dari masyarakat seoptimal mungkin." Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta) pun buru-buru membentuk tim tarif. Dalam waktu singkat, tim berhasil mencapai kesepakatan untuk memberlakukan tarif suku-bunga standar atas deposito yang diterima oleh bank swasta nasional. Tim ini ternyata tidak mengikutsertakan bank pemerintah. Mochtar Riady, chief executive director Bank Central Asia yang ditunjuk menjadi ketua tim tarif itu mengatakan: "Kita harus hati-hati, jangan berlomba memberi sukubunga yang tinggi karena itu bukan cara yang baik untuk menarik dana masyarakat. Bisnis bank ini bukan jual-beli uang, melainkan jual-beli kepercayaan." Perang tarif memang kemudian tak terjadi dengan sengit. Kesepakatan antarbank swasta itu menetapkan sukubunga deposito seragam, dengan variasi antara 3-4%. Tergantung jangka waktunya, sukubunga deposito itu ditetapkan antara 14-20%. Peta perbankan Indonesia tidak begitu saja berubah karena adanya deregulasi itu. Porsi terbesar masih tetap dikuasai oleh tujuh 'samurai' bank pemerintah: Bank Negara Indonesia 1946, Bank Rakyat Indonesia, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Tabungan Negara, yang secara bersama-sama memiliki 77 % dari seluruh kekayaan perbankan di Indonesia. Sisanya, duapertiga dimiliki oleh 70 bank swasta nasional, dan sepertiga lainnya dimiliki oleh 11 bank asing . Menurut Profil Keuangan Indonesia edisi keempat, berdasarkan data sampai 30 Juni 1984, disebut adanya tiga konglomerasi keuangan swasta terbesar. Konglomerasi terbesar, siapa lagi, kalau bukan kelompok Salim & Lippo (Soedono Salim alias Liem Sioe Liong dan Mochtar Riady). Selain Bank Central Asia, kelompok ini memiliki Bank Perkembangan Ekonomi Indonesia, Bank Perniagaan Indonesia, Bank Bhumy Bahari dan empat bank di luar negeri. Kelompok ini juga memiliki lima perusahaan asuransi, delapan perusahaan leasing, enam LKBB (lembaga keuangan bukan bank) dan dua money changer. Secara keseluruhan konglomerasi ini terdiri atas 20 lembaga keuangan dalam negeri dan 10 di luar negeri. Peringkat kedua diduduki Kelompok Bumiputera 1912 yang memiliki lima perusahaan asuransi, tiga LKBB dan satu perusahaan leasing. Peringkat ketiga diduduki Kelompok Panin yang memiliki dua bank, empat perusahaan asuransi, tiga LKBB, dan dua perusahaan leasing. Hampir seluruh bank di Indonesia, terkecuali 27 bank pembangunan daerah, melakukan konglomerasi di bidang bisnis keuangan. Hanya 23 saja menurut Prof-l yang diterbitkan. oleh Christianto Wibisono itu, yang hanya melakukan jasa perbankan, tidak ikut di bidang asuransi, LKBB, leasing, atau money changer. Namun demikian mereka tetap mengaitkan diri dengan bisnis umum. Misalnya, Bank Danamon Indonesia berkaitan dengan produsen Pepsi Cola, Bank Indonesia Raya berkaitan dengan produsen Suzuki, South Asia Bank berkaitan dengan perusahaan real estate. Dengan demikian bank yang betul-betul bebas dari konglomerasi sangatlah sedikit. Atau, dalam istilah Robby Djohan, direktur utama Bank Niaga: "We are bankers, and we do banking only." Analisis tahun 1984 menunjukkan makin tingginya peranan bank-bank milik pemerintah. Jumlah kekayaan dari ketujuh bank pemerintah itu naik dari 73,7% pada 1983, menjadi 77 % pada 1984. BNI 1946 menduduki tempat utama sebagai yang terkaya dan paling besar labanya. Sedangkan kenaikan laba terbesar, dihitung dari persentase, dialami oleh Bank Central Asia yang, anehnya, justru menurun kekayaannya. Ke-116 bank di Indonesia pada tahun 1984 telah meningkatkan kekayaan (assets) sebesar 29 %dari Rp 26 trilyun, menjadi Rp 33 trilyun. Dengan sendirinya pada 1984 itu juga terjadi kenaikan laba dan lonjakan pemberian pinjaman yang meningkat sebesar 44,7%, dari Rp 15 trilyun menjadi Rp 22 trilyun. BNI 1946 yang mempertahankan kedudukan di tempat teratas sejak pertengahan 1982, tahun 1984 lalu meraih laba sebesar Rp 92.105 juta, 16,6% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Bank Rakyat Indonesia "merebut" dua peringkat dan menduduki tempat kedua pada 1984. Padahal tahun sebelumnya BRI berada pada peringkat keempat. Lonjakan ini terutama karena masuknya kredit untuk Bulog dari Bank Indonesia melalui BRI, yang sebelumnya diberikan langsung oleh Bl. Efisiensi, yaitu perbandingan antara laba dan kekayaan, pun menunjukkan perbaikan setelah adanya deregulasi. Pada jajaran bank pemerintah, Bank Ekspor Impor tercatat mempunyai efisiensi paling tinggi, yaitu 2,7%. Umumnya bank swasta asing mempunyai tingkat efisiensi paling baik. European Asian Bank, yang tertinggi di Indonesia, mencapai efisiensi 4,5% Sedangkan tertinggi untuk bank swasta nasional adalah JENJANG BANK-BANK DI INDONESIA per 31 Desember 1984 Kekayaan Laba 1984 1. Bank Negara Indonesia 19467.063.790 92.105 2. Bank Rakyat Indonesia5.299.094 46.859 3. Bank Bumi Daya 4.515.399 25.687 4. Bank Dagang Negara 4.286.79 68.080 5. Bank Ekspor Impor Indonesia2.601.676 70.464 6. Bank Pembangunan Indonesia1.236.5736.133 7. Bank Tabungan Negara 982.304 17.308 8. Citibank 578.984 13.523 9. Bank Central Asia 468.964 13.902 10. Panin Bank 399.765 14.244 11. Bank Duta Ekonomi 392.173 11.527 12. Bank of America 301.5167.255 13. Bank Umum Nasional 292.2694.017 14. Bank Niaga 276.5015.565 15. Bank of Tokyo 272.2997.374 16. Chase Manhattan Bank 272.1373.412 17. Bank Bali 243.1824.763 18. BDNI 196.2433.291 19. European Asian Bank 195.4388.898 20. Bank Buana Indonesia 186.0173.477 (Juta Rupiah) Panin Bank yang mencapai 3,6% disusul BCA dan Bank Duta masing-masing 2,9%. Efisiensi memang merupakan inti sasaran deregulasi, agar bank dapat mandiri dan mampu tumbuh di atas kemampuannya sendiri Robby Djohan mengingatkan bank adalah tonggak ekonomi "Karena itu tak wajar kalau bank disubsidi," kata Robby. "Aneh kan? Bank itu justru harus mem bina usaha." Dalam wawancara terpisah, Somala Wiria pun menyatakan hal yang sama. "Dulu bank pemerintah itu enak. Setiap kali kekurangan dana kita dibantu Bank Indonesia, sehingga menarik bagi orang untuk berhubungan dengan bani pemerintah. Tetapi sekarang environment-nya berbeda. Tingkat sukubunga hampir sama. Dalam lingkungan demikian nasabah dapat memilih, dan kita haruskan layanan." BNI 1946 adalah yang pertama melayani nasabah dengan sisten komputer hingga ke meja depan. Siskom 1946 - nama sistem yang diiklankan beberapa bulan yang lalu - telah dilaksanakan pada 12 kantornya di Jakarta dan akan segera menyusul di Bandung dan Surabaya. Dengan sistem ini nasabah BNI 1946 sekarang menikmati layanan yang jauh lebih cepat. Sedang di antara bank swasta nasional, Bank Niaga-lah yang memelopori komputerisasi on-line. Deregulasi, ternyata, bukan hanya angin segar bagi bank swasta. Kalangan bank pemerintah sendiri tidak menganggap adanya ancaman bank swasta akan merebut porsi bisnisnya. "Pasarnya masih begitu luas," kata Somala sambil menebarkan tangannya. Robby Djohan pun melihat luasnya pasar itu memberi peluang yang besar bagi masing-masing bank untuk mengembangkan spesialisasi dan cirinya sendiri. "Karena itu apa yang berhasil dilakukan oleh bank lain tak usah buru-buru ditiru karena masih banyak sektor layanan lain yang belum terisi." Situasi lepas kendali, seperti biasa, tentu menemukan batu ujiannya sendiri. Dalam proses "menyapih" bank-bank di Indonesia, Bank Indonesia ternyata masih menunjukkan perannya yang sangat sentral. "Begitu lepas dari kendali regulasi, yang paling cepat lari adalah bank swasta nasional. Baik dalam mobilisasi dana maupun dalam pemberian kredit," kata I Nyoman Moena, ketua umum Perbanas 198Z-1985. Tetapi itu hanya mewakili segi kuantitas. Dari segi kualitas ada satu masalah yang mengganjal. "Lihat saja struktur dan komposisi pendanaannya," kata Moena. Ternyata uang paling banyak mengeram dalam deposito berjangka. Ini memang, menunjukkan keberhasilan menyerap dana nganggur dari masyarakat, tetapi juga menyusutkan uang giral. Susutnya uang giral juga melejitkan angka peredaran cek dan bilyet kosong. Tahun lalu beredar cek dan bilyet kosong rata-rata Rp 34 milyar sebulan. "Setiap kali terkumpul dana yang cukup banyak pada giro seseorang, dana itu segera ditarik dan diparkirkan sementara di deposito," kata Moena. "Soalnya ekonomi sedang lesu dan dana tidak bisa dipakai untuk produksi. Apalagi deposito menawarkan sukubunga yang tinggi." Orang Bali itu berpendapat, inilah yang ikut menyusun biaya tinggi. "Praktis tak ada lagi dana murah dalam sistem perbankan kita," katanya. Deposito berjangka itupun menunjukkan adanya pergeseran jangka waktu. Pada 1983 Omar Abdalla, direktur utama Bank Bumi Daya mengatakan adanya 93,8% deposito berjangka 24 bulan pada BBD. Tetapi sekarang kebanyakan orang hanya berani mendepositokan uang dalam waktu 6 bulan. Membusungnya deposito ini juga disebabkan oleh dua pasal lain: Pertama, pemiliknya tak usah bayar pajak karena berdasarkan UU Pajak, pembayaran bunga atas deposito, dividen dan royalty ditangguhkan. Pasal kedua, karena adanya peraturan tentang pemutihan atas modal. Pemerintah tidak akan mengusut asal-usul modal bila modal itu terlebih dahulu disimpan dalam deposito berjangka. Alhasil, banyak dana yang ngumpet di keranjang deposito. Dengan mengetahui struktur pendanaan bank swasta nasional kita, dapatlah dimengerti bahwa pembusungan deposito itu ternyata menimbulkan kerawanan tersendiri. Ketika sejak April 1984 animo mendepositokan uang tidak lagi setinggi bulan-bulan sebelumnya, laju pemberian kredit ternyata tidak mengendur. Mulai April itu pula angka pemberian kredit sudah mulai melampaui angka penghimpunan deposito. Lalu terjadilah tragedi itu. Kalangan perbankan menyebutnya "September Kelabu". Ini terjadi tahun lalu. Hanya dalam waktu dua hari transaksi, Bank Indonesia mengocok kurs tengah dolar, melonjak 2 point. Masyarakat panik. Mereka "menyerbu" bank untuk mengambil simpanan rupiah dengan maksud ditukar dolar. Bank pun menjadi panas-dingin menghadapi rush itu. dalam waktu 24 jam sejumlah 8 juta dolar tunai terjual. Akibatnya dapat diduga. Likuiditas bank rusak berat. Sukubunga pinjaman ouernight (menginap semalam) antar bank meroket. Begitu gilanya hingga mencapai 100%. Dan juru selamat pun datang: BI segera membuka jendela diskonto. Belum cukup. Karena dana itu harus dikembalikan dalam waktu dua minggu dan hanya boleh diperpanjang sekali. Lalu 24 September 1984 diturunkan lagi kredit khusus sejumlah Rp 300 milyar, separuh diberikan untuk jangka waktu enam bulan, separuh lagi berjangka setahun. Tanpa memperhitungkan gengsi lagi, beberapa bank berebut memanfaatkan fasilitas itu. Dalam waktu seminggu, 18 bank swasta nasional dan 6 bank swasta asing telah mengambil Rp 270 milyar. Memang tidak semua bank memanfaatkan tali penyelamat yang dijulurkan Bl itu. Perputaran dana antarbank pada waktu itu diperkirakan mencapai Rp 500 milyar sehari. Nyoman Moena menyebut peran Bank Duta pada masa sulit itu. "Waktu itu Bank Duta Ekonomi meminjamkan dana dalam jumlah yang cukup besar kepada sejumlah bank kecil," kata Moena. "Itu patut dipuji. Soalnya saya tahu bahwa sebetulnya kalau Bank Duta men-dolar-kan rupiahnya, mereka akan dapat keuntungan lebih besar." BNI 1946 melakukan hal yang sama. Apa kata Abdulgani, direktur utama Bank Duta Ekonomi? Itu dilakukannya dengan maksud agar sukubunga menurun, agar tak mengganggu kestabilan moneter. "Kebetulan kami berada pada posisi cukup dana," kata Gani. "Jangka pendek memang menguntungkan kalau kami dolarkan rupiah kami ketika itu. Tetapi secara jangka panjang kami rugi karena tingkat bunga deposito akan terus tinggi. Dan itu tidak sehat. Dalam batas-batas tertentu setiap bankir harus ikut mengamankan kondisi moneter." Lantas apa akibatnya bila sukubunga deposito tetap tinggi? Kredit makin mahal. Tak ada lagi dana murah dalam sistem perbankan kita. Dengan demikian pengembangan usaha pun menjadi tanda tanya. Persoalan berikutnya muncul sekitar Maret dan April lalu ketika tiba waktunya Bl menyedot kembali uang sejumlah Rp 170 milyar dari kredit khusus yang jatuh tempo. ltu secara serius tentu akan mengancam penciutan uang. Untung ada angin segar bertiup. Dalam jamuan makan malam dengan 250 bankir pertengahan Januari lalu, Gubernur Bl Arifin Siregar menyatakan: "Dana yang berasal dari pengembalian kredit khusus dan pinjaman likuiditas itu akan diedarkan kembali ke masyarakat melalui mekanisme pasar uang." Hadirin pun keplok. Maka, mulai 1 Februari 1985 Bl memperkenalkan pemakaian Surat-Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). SBPU ini, karena fungsinya sebagai surat berjangka pendek, hanya bisa diperdagangkan maksimal 90 hari, dan minimal 30 hari. SBPU pada hakikatnya merupakan instrumen pelengkap pengendali moneter terdahulu, yaitu fasilitas diskonto. Bl kemudian menunjuk LKBB Ficorinvest sebagai securities house yang tiap saat bersedia membeli menjual SBPU. Sikap yang ditunjukkan Abdulgani dan Bank Duta Ekonomi dalam krisis "September Kelabu" itu sepintas tampaknya tidak terlalu businesslike. "Kadang-kadang tampaknya kami tidak seperti sedang mengejar bisnis," kata Abdulgani. Tetapi itu ternyata konsisten dengan tahap pengembangan usahanya. "Kami sedang dalam proses mengembangkan sumber daya internal kami yang pada gilirannya nanti akan menggali dan mengembangkan segenap sumber daya yang ada dalam masyarakat. Itu mencakup landasan sistem, kualitas personil dan program untuk mengembangkan personil." Setelah konsolidasi ke dalam yang makan waktu delapan tahun itu beres, barulah Bank Duta Ekonomi menyatakan eksistensinya dan menempatkan diri dalam struktur perbankan nasional. Ini menyangkut peningkatan layanan dan jenis layanan. Untuk itu BDE sudah menyiapkan komputerisasi on-line, dan sejak beberapa tahun yang lalu menambahkan Visa Card ke dalam jenis layanannya. BDE pun aktif dalam pendidikan perbankan. Selain melakukan latihan inggriya yang intensif, BDE juga membantu Akademi Perbankan Perbanas, ikut menyiapkan kurikulum Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia, dan mendorong staf BDE untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan perbankan. BDE juga mensponsori penerbitan majalah Infobank. "Memang dengan demikian pertumbuhan akan lebih lambat," kata Abdulgani. "Tetapi kita harus berani menyeimbangkan keinginan hati dan rasio. Harus ada keberanian untuk meletakkan dasar-dasar yang fundamental." Dengan konsep semacam itu BDE memilih "mengorbankan" sasaran jangka pendek dan menyusun landasan operasional yang lebih sesuai dengan kondisi, sehingga mampu secara fleksibel dikembangkan, mengikuti tuntutan masa depan. "Dasar dari pertumbuhan bank," kata Abdulgani, "adalah pertumbuhan orang-orangnya." Somala Wiria juga melakukan hal yang sama di BNI 1946. "Tak mungkin menjalankan usaha perbankan seorang diri. Saya tak percaya itu," katanya. "Bank boleh saja punya teknologi mutakhir, tetapi pada akhirnya manusialah yang akan mempergunakannya." Lima tahun pertama di BNI 1946, setelah meninggalkan Bank Dagang Negara pada 1973, Somala langsung melakukan konsolidasi kedalam. "Saya hanya kutak-katik soal personalia saja," katanya. Lalu 1978 terjadi boom ekonomi. "Pada saat itu karyawan kami sudah lebih baik dan mampu. Kami tinggal menunggang gelombang saja," kata Somala. Memiliki staf yang kuat dan mampu, serta kerjasama yang baik antara direksi, Somala mengaku dapat lebih cepat bereaksi dan mengambil keputusan secara tepat. Kesiapan front belakang ini pulalah yang menurut Somala membuat BNI 1946 lebih siap ketika deregulasi menuntut peningkatan daya saing antarbank pemerintah. BNI 1946 tak segan memakai konsultan asing dalam pembenahan manajemen, mempunyai divisi pendidikan sendiri, dan telah mengirimkan 32 pegawainya yang belum berusa 35 tahun untuk memperoleh pendidikan lanjutan di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Citra perbankan merupakan hal yang penting dalam masyarakat. Dulu orang selalu membandingkan sesuatu yang kokoh dengan mengatakan: as strong as Bank of England. Kini di Amerika muncul pemeo baru: In Banks We Trust, yang bunyinya mirip amsal kenegaraan mereka: In God We Trust. Yang secara kelakar biasanya disambung dengan: Others pay cash. Bank, pada dasarnya, seperti selalu dikatakan oleh Mochtar Riady, adalah bisnis kepercayaan. Siapa orangnya yang mau menukarkan uangnya dengan secarik kertas yang menyatakan bahwa senilai uangnya itu tersimpan di bank? Menyadari hal itu, bankbank di Indonesia pun seolah-olah berlomba-lomba untuk menyatakan bonafiditasnya. Kebanyakan berkecenderungan untuk membangun gedung tinggi yang impresif. Di sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta, cakrawala telah berubah dengan munculnya gedung-gedung megah dengan logo bank. Tentu saja ada yang memilih pendekatan lain. Bank Duta Ekonomi, selain sedang merampungkan gedung tinggi di Jalan Kebonsirih, juga sedang dalam proses mengganti nama dan logonya menjadi Bank Duta saja. "Soalnya, sulit menerjemahkan duta ekonomi ke dalam bahasa Inggris," Abdulgani memberi alasan. "Lagipula orang tak perlu menyingkat Bank Duta menjadi BD. Sedang Bank Duta Ekonomi, karena terlalu panjang, cenderung disingkat menjadi BDE." Tak tanggung-tanggung, upaya ini ditangani oleh sebuah biro di luar negeri, Allied International Designer, yang antara lain juga menjadi konsultan corporate identity, dari Chartered Bank yang baru mengganti logonya. Lantas? Sesudah citra perbankan menjadi lebih baik, apakah masyarakat pun menjadi lebih akrab dengan bank? Untuk beberapa saat kita memang melihat siswa-siswa sekolah masuk-keluar bank dengan buku Tabanas. Tetapi mode itu sudah surut. Ibu-ibu rumah tangga masih belum lagi akrab dengan bank. Kalau suami pergi ke luar kota, istri lebih suka ditinggali uang tunai daripada cek. Para karyawan pun enggan dibayar dengan cek. Tak heran kalau para pencopet menunggu di bus umum pada hari-hari gajian. Bank sendiri rupanya mengalami kesulitan menggaet dan mengerahkan dana dari masyarakat. "Sisa pendapatan masyarakat yang bisa ditabung ternyata rendah," kata Nyoman Moena. Bank Dunia pun pada 1982 memperkirakan tabungan masyarakat tinggal 15% dari seluruh pendapatan kotor nasional. Padahal dua tahun sebelumnya, ketika boom minyak terjadi, tabungan masyarakat mencapai 26%. Ke mana uang masyarakat? "Mungkin sudah berubah bentuk," kata pengamat ekonomi Hadisoesastro dari CSIS. Jadi dolar, emas, atau tanah. Atau juga barangbarang konsumsi lain. Maklum makin banyak barang yang bisa dibeli dengan mencicil. Padahal pengamat ekonomi Anwar Nasution sudah memperingatkan masyarakat: "Menabung lebih baik daripada mencicil." Tapi, peduli apa? Masyarakat perbankan pun kelihatannya belum memanfaatkan seluruh marketing mix untuk melakukan penetrasi pasar. Sekalipun terbukti bank bertumbuh 29% tahun lalu dan menghimpunkan laba terbesar, tetapi industri bank hanya merupakan pengiklan nomor enam. Bank Bali agaknya punya sebuah jurus baru. Dalam rangka memasarkan deposito berjangka Bank Bali menawarkan bonus berupa asuransi kecelakaan. D. Ramli, presiden direktur Bank Bali, mengatakan: "Semua bank kini harus pikirkan bagaimana cara menghimpunkan dana dari masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa menabung itu baik." Yang dimaksudkan dengan masyarakat itu oleh Ramli adalah masyarakat kalangan bawah. "Di samping belum yakin menabung itu baik, mereka juga belum punya kesadaran berasuransi," tambahnya. Karena itulah, untuk golongan masyarakat ini, yang mendepositokan maksimum Rp 25 juta dalam jangka waktu antara 6-12 bulan, Bank Bali memberikan bonus berupa asuransi kecelakaan. Ini juga merupakan manifestasi bahwa sukubunga bukanlah satu-satunya instrumen untuk menggalakkan deposito dan tabungan masyarakat. "Kami juga mengharap agar yang semula pegang dolar, baik dalam bentuk uang kontan maupun deposito, mau menukarnya dengan deposito rupiah karena adanya bonus ini," kata Ramli. Asuransi kecelakaan itu sendiri ditutup oleh PT Antar Malayan Bali, sebuah perusahaan patungan antara Bank Bali dan Malayan Insurance Coy di Manila. Hasilnya ternyata tak mengecewakan. Sejak skema itu ditawarkan pada 19 April yang lalu, hingga minggu pertama Mei ini sudah terkumpul deposito tambahan sebesar Rp 2,5 milyar. Diharapkan hingga akhir tahun ini sekitar Rp 50-100 milyar dapat terjaring dalam bentuk deposito. Soalnya, asuransi sebagai lembaga keuangan bukan-bank yang banyak menghimpunkan dana masyarakat, juga menunjukkan pengenduran animo. W. Soemardjo, sekretaris perusahaan AJB Bumiputera 1912 mengatakan pada akhir 1983 tercatat 457.905 peserta asuransi, padahal pada 1976 pesertanya pernah mencapai 569.229. Bisnis asuransi memang tidak merosot karena jumlah uang pertanggungan naik. Tetapi merosotnya jumlah peserta tentulah mengindikasikan adanya prioritas lain dalam hidup. Pada 1983 tercatat uang pertanggungan pada Bumiputera sebesar Rp 172 milyar. Jalan panjang masih terentang sebelum masyarakat kita dapat lebih banyak lagi mengikuti anjuran Titiek Puspa. Kolam dana masyarakat pada bank dan lembaga-lembaga keuangan harus diisi. Karena bank harus mengalirkannya lagi kembali ke masyarakat yang memerlukannya untuk keperluan produksi. Tanpa itu, ekonomi Indonesia sulit bergerak. Bang bing bung, yo, pada nabung! rubrik Pariwara ini dikelola oleh PT Duta Media. tulisan dipersiapkan oleh Bondan Winarno dan Harso Widodo foto sampul: Studio 2000

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus