MANUSIA BUGIS MAKASSAR Oleh: Dr. Hamid Abdullah Penerbit: PT Inti Idayu Press, 1985, 191 halaman SATU lagi seri "manusia" dari penerbit yang sama, setelah Manusia Indonesia, Manusia Jawa, dan Manusia Sunda. Macam apa orang Bugis Makassar? Sebagai "putra daerah", penulis buku ini cenderung kurang kritis, dan ada kesan membela diri. Walaupun upaya untuk menulis netral sudah dilakukannya, misalnya dimulai dari memaparkan orang Bugis Makassar di Malaysia, yang hidup turun-temurun. Dia beranjak dari tempat yang rasa "kebugisan" atau "kemakassaran"-nya, seperti laimnya perantau lain, lebih kuat dlbanding mereka yang tetap di kampung asalnya. Ilustrasi yang dipaparkannya menarik. Di Malaysia, 1982, seorang Bugis melakukan jallo atau amuk. Penyebabnya, dia diintip tiga orang selagi tidur. Dia kalap, dan ketiga pengintipnya itu langsung diserang, Jallo hanya satu sisi lekatnya orang Bugis Makassar pada adat dalam membela keluarga. Yang lain, siri, rasa malu atau ketersinggungan harga diri, yang bisa membuat hal besar walau menyimpang dari hukum. Di sini adat berperan, dan di sini Hamid Abdullah bisa bertutur dengan baik, macam apa orang Bugis-Makassar: betapapun modernnya mereka, toh, masih menggenggam erat adat itu. Seandainya Hamid, dengan buku ini, hendak mengukuhkan adat, sudah tentu banyak hal yang bisa dimasalahkan. Kahar Muzakkar, terlepas dari penyebalannya terhadap Republik, telah berupaya keras mengubah adat yang dinilainya menyimpang dari agama. Tradisi ini pula yang disebut-sebut gubernur Sulawesi Selatan, A. Amiruddin, membuatnya sulit mengembangkan provinsi itu - dl sampimg ada faktor adat yang posltlf juga. Karena itu, Gubernur menetapkan rencana yang berbeda dengan pendahulunya: mengubah pola berpikir masyarakat. Yang kurang ditonjolkan dalam buku ini, gambaran orang Bugis Makassar di bidang "kepelautan". Agak aneh, tentu saja, mengingat gambaran orang luar bahwa orang Bugis demikian berjaya di laut, dan perahu Bugls tersohor di mana-mana. Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini