Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Relief Sarinah dan Jala-jala Iwan Yusuf

Sarinah baru sudah dibuka. Relief yang ditemukan di ruang bawah tempat instalasi listrik dan sampai sekarang belum diketahui siapa pembuatnya disajikan kepada khalayak. Sarinah baru kini memiliki area khusus seni kontemporer bernama Distrik X. Di situ perupa Iwan Yusuf membuat replika relief “misterius” tersebut, tapi dengan medium langka: jaring.

26 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran "Studi Relief dalam Jaring" di Distrik Seni X Sarinah, Jakarta, 21 Maret 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perupa Iwan Yusuf membuat replika relief Sarinah yang masih misterius.

  • Karya repilka Iwan Yusuf menggunakan medium jaring.

  • Sebuah karya yang cukup langka.

DARI kejauhan, karya di lantai 6 Sarinah, Jakarta, itu tampak seperti lukisan charcoal (arang kayu) di atas papan putih atau tembok putih. Lukisan itu panjangnya hampir 15 meter dan tingginya lebih dari 3 meter. Charcoal tersebut meniru secara persis sosok-sosok relief di lantai 1 Sarinah yang disajikan untuk publik setelah puluhan tahun tersembunyi di ruang instalasi listrik Sarinah lama. Skala lukisan arang itu satu banding satu dengan relief tersebut. Garis dan arsiran hitam yang kuat mampu menampilkan anatomi realis sosok-sosok petani tegap dan sosok-sosok perempuan desa berkebaya yang sangat bercita rasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, begitu mendekat, kita bisa kaget karena gambar itu ternyata bukan terbuat dari charcoal dan tidak dilukis di atas tembok putih. Diorama tersebut sepenuhnya terbuat dari anyaman jaring nelayan. Anyaman jaring itu tidak ditempelkan di tembok, melainkan dihamparkan memanjang dengan backdrop tembok. Segera kita mendapat sensasi akan tingkat keterampilan yang luar biasa dari pembuat replika. Ia mampu membuat persis anatomi relief Sarinah tapi dengan teknik merajutkan jaring satu dengan jaring lain. Ia memanfaatkan besaran lubang jaring yang berbeda satu sama lain untuk membuat figur manusia, hewan, dan benda. Jelas ini membutuhkan “perhitungan matematis” yang andal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pengunjung mengamati relief patung yang ditemukan saat renovasi Mal Sarinah di Jakarta. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

Karya Iwan Yusuf di Distrik X lantai 6 Sarinah itu memang lain daripada yang lain. Langka. Belum pernah ada perupa Indonesia yang menggambar dengan menggunakan medium jaring atau jala, apalagi mampu menyajikan sebuah “diorama hiper-realis”. Tekniknya jelas sulit dan butuh ketelatenan yang tinggi. Anatomi sosok-sosok dalam anyaman jaring itu tidak meleset sama sekali. Sama seperti relief aslinya, sosok-sosok petani bercaping yang berdiri memikul padi atau duduk terlihat perkasa. Dadanya bidang. Sorot matanya optimistis. Sementara itu, sosok-sosok perempuan terlihat jangkung. Bahkan, tatkala isi keranjang yang mereka bawa digambarkan, seluruh detailnya terasa. “Saya memang dasarnya pelukis charcoal, maka cara saya menyajikan anyaman jaring seperti menggunakan gaya charcoal,” kata Iwan Yusuf.

Eksplorasi dan eksperimen Iwan dengan jaring dilakukan mulai 2013. Pada 2013, ia membuat instalasi lanskap gigantik di Danau Limboto, Gorontalo. Saat itu, di permukaan Danau Limboto, ia membentuk tanaman eceng gondok menyerupai telapak kaki raksasa berukuran 500 x 190 meter. “Saat mengerjakan proyek tersebut, saya tiap hari harus berjalan melalui tambak-tambak yang panjangnya berkilo-kilo. Saya melihat di tambak-tambak banyak jaring bekas,” ucapnya. Iwan lalu memanfaatkan jala bekas itu saat diundang untuk berpameran di Selasar Sunaryo, Bandung.

Iwan Yusuf di Distrik Seni X Sarinah, Jakarta, 21 Maret 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat

“Untuk karya relief Sarinah ini, saya mencari jaring bekas dari Gorontalo, Malang, sampai kawasan pantai Pekalongan. Semuanya ada delapan jenis jaring yang saya gunakan,” kata Iwan. Menurut pengamatan Iwan, nelayan memiliki kecocokan sendiri dalam memilih jenis jaring tergantung medan laut atau danau mereka. “Di Gorontalo, misalnya, jenis jaring yang digunakan nelayan lubang-lubangnya sangat kecil karena di sana lumpurnya banyak,” tuturnya. Dia juga memburu jala bekas di kawasan pantai-pantai di Pekalongan, Jawa Tengah. “Di pantai-pantai daerah Pekalongan banyak bangkai kapal dan tampar gede serta bekas jala. Tali-tali bekas mengikat barang ke kapal saya ambil. Saya seperti membersihkan pantai,” katanya.

Berbagai macam jaring bekas itu oleh Iwan dijahit untuk membentuk sosok-sosok tubuh laki-laki dan perempuan serta benda-benda dalam relief. “Saya menggunakan bahan jaring yang berlainan pada tiap sosok agar figur mereka bisa terlihat jelas perbedaannya,” ujarnya. Dalam karya Iwan terlihat para perempuan itu terkesan menggunakan kebaya yang beraneka ragam. “Itu karena bahan jalanya tak sama dan teknik merajutnya beda. Ada jaring harus saya remas-remas dulu atau ada jala yang saya tarik-tarik kenceng sebelum dirajut,” ucap Iwan.

Relief pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta, 21 Maret 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat

Sebagai orang yang suka melukis dengan charcoal, Iwan peka menampilkan efek seperti sapuan, arsir hitam, atau gelap-terang. “Demi menimbulkan kesan hitam, saya menggunakan jaring yang lubangnya rapat. Bila ditumpuk, itu membuat warna hitam.” Sementara itu, untuk membuat efek perspektif kedalaman, ia menggunakan jaring dari Gorontalo. Iwan juga menggunakan jaring bekas yang penuh jahitan tambalan karena efeknya malah kuat. Menurut dia, warna jaring-jaring tersebut sesungguhnya berbeda-beda. “Ada hijau tua, hijau muda, hijau cokelat.” Di lantai 6 Sarinah, semua jaring terlihat berwarna hitam karena unsur pencahayaan. Bila kita dekati, ternyata di jaring-jaring itu banyak terdapat tusuk sate yang dijadikan Iwan seperti aksen garis penguat. “Ya, selain tusuk sate, coba Anda amati, saya menyisipkan paku-paku berkarat ke jaring untuk efek garis,” katanya.

Karya ini dikerjakan Iwan di studionya di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, cukup singkat, kurang-lebih satu bulan. “Ada halaman luas yang bisa untuk membentangkan jaring. Tapi, karena cuaca tak menentu, sering hujan, saat menggarap, saya bawa masuk ke rumah. Panjang karya yang 15 meter saya bagi tiga menjadi sekitar 5 meter,” ucapnya. Menurut Iwan, sebagai dasar untuk karya sepanjang 15 meter, jenis jaring yang sama, yaitu jaring dari Thailand, ia gunakan. “Itu agar satu tone bagian dasarnya. Saya menemukan jaring buatan Thailand di Malang. Jaring itu tipis, tapi sangat kuat,” ujarnya.

Pentas karya Sardono Waluyo Kusomo dalam pameran NFT Tunggal di gedung Sarinah Cultural Zone, Jakarta, 25 Maret 2022. TEMPO/Christian Hansen

Dalam seluruh pengerjaan karyanya, Iwan sama sekali tidak menggunakan alat bantu elektrik, seperti proyektor yang bisa menyorotkan foto relief ke jaring. “Untuk sketsa awal, saya hanya menggunakan selotip, tidak pakai proyektor. Saya pasang isolasi di jaring membentuk sosok-sosok seperti di relief. Baru kemudian saya garap detailnya,” katanya. Dia dibantu empat kru tetap yang semuanya mahasiswa seni rupa. “Saya harus lebih dulu mengajari mereka teknik merajut dan memperlakukan jaring secara berbeda.” Iwan mengatakan ia berpacu dengan waktu karena, selain jatah pengerjaannya pendek, jaring dari Gorontalo datang secara bertahap. “Jadi tiga jaring lima meteran ini baru kami satukan saat sudah di Sarinah.” Cara memasang dan menggabungkan jaring-jaring ini juga perlu ekstrahati-hati karena, bila salah sedikit, gambar bisa bergeser-geser sendiri—membuat gambar ambyar.

Menurut Iwan, yang paling susah adalah membikin sosok sapi kecil yang ada dalam relief. “Karena terlalu kecil, saya membuatnya butuh tiga jam karena harus cermat, kepalanya harus jelas,” tuturnya. Iwan berpendapat, sosok-sosok petani perkasa dalam relief—meski dikesankan sebagai sosok pribumi—karakter anatominya seperti orang bule. “Bagian telapak kakinya, misalnya, lancip-lancip. Itu seperti kaki seseorang yang biasa memakai sepatu, bukan kaki petani desa,” katanya.

Walhasil, membandingkan relief Sarinah asli dengan karya Iwan menjadi sebuah dialektika tersendiri. Sampai sekarang pengamat seni rupa kita masih bingung memastikan siapa pembuat relief Sarinah. Relief itu memiliki ciri khas yang tidak dimiliki relief-relief lain, yaitu pahatannya menonjol tiga dimensi, seolah-olah patung yang ditempelkan di dinding. Hal demikian tak lazim di sini. Dari zaman Candi Borobudur sampai relief Bandar Udara Kemayoran yang dibuat pematung Harijadi Sumodidjojo, bentuk relief biasanya bas-relief atau relief yang tonjolannya tipis.

Distrik X Sarinah sendiri direncanakan menjadi kawasan kesenian baru di pusat kota. Galeri ini akan ditangani oleh Heri Pemad, yang kita ketahui adalah pendiri ArtJog, dan kurator Farah Wardhani. “Pameran Iwan Yusuf adalah soft launching Distrik X. Nanti 1 Juni baru launching sebenarnya. Kami menghadirkan perupa senior seperti Dolorosa Sinaga, Sunaryo, Rita Widagdo, dan Nyoman Nuarta untuk menafsirkan buku Sukarno, Sarinah,” ucap Farah. Meski hanya tampil dalam soft launching, karya Iwan dinilai sudah sangat kuat. Mungkin tak kalah dibandingkan dengan karya para pematung senior yang digelar nanti. Jala-jala Iwan tak terduga. Menarik bila karya ini, misalnya, tetap dipertahankan di sudut tertentu di Sarinah agar pengunjung bisa membanding-bandingkannya dengan yang asli.

Jala-jala Iwan Yusuf paling tidak sudah bisa membuat koreografer Sardono W. Kusumo pada Jumat, 25 Maret lalu, atau tiga hari seusai pembukaan, terpukau. Dia kemudian mengajak para penari lulusan Institut Kesenian Jakarta merespons karya tersebut. Beberapa penarinya membungkus diri dengan jaring dan bergerak di depan “relief” Iwan. “Ini Anti-War Art. Saya membayangkan jaring-jaring itu menyamarkan tank-tank, badan tentara Rusia-Ukraina,” katanya.

SENO JOKO SUYONO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus