KAMI saksikan Shanghai lebih modern daripada Beijing. Kendati jalan-jalan utamanya tidak selebar Beijing, kota kelihatan lebih hidup. Ada banyak papan reklame yang sulit sekali ditemui di Beijing. Isi papan reklame itu bermacam-macam, tapi kebanyakan adalah barang elektronik buatan Jepang. Hiruk-pikuk suara orang dan klakson mobil mewarnai kota. Petugas hotel kelihatan lebih profesional dibanding di Beijing. Dengan gaya dan penampilan seper wanita Hong Kong, mereka melayani tamu dengan ramah. Bahasa Inggris pun dikuasai sampai para penjaga pintu hotel. Mereka juga tidak malu-malu menerima tip. Ketika kami tiba sore itu di Shanghai, penduduk kota tumplek ke jalan. Bukan untuk berbelanja atau berjalan-jalan, tapi untuk mencari angin. Saat itu musim panas dan suhu mencapai 37 derajat celsius. Tidak adanya embusan angin membuat penduduk kota seperti cacing kepanasan. Kondisi ini tidak mungkin tertahankan di dalam rumah mereka yang sempit dan kurang ventilasi. Sejak sore, kursi-kursi lipat dikeluarkan dari dalam rumah dan ditaruh di tepi jalan. Di sanalah mereka mendinginkan diri sampai malam hari. Ada yang tidur-tidur ayam, banyak juga anak-anak yang membaca buku atau bermain catur. Deretan penduduk itu seperti ikan sarden. Para lelaki mengenakan singlet atau telanjang dada, sedang yang perempuan mengenakan celana pendek atau baju tipis. Wanita-wanita Shanghai lebih cantik dengan kulit lebih cokelat dibanding wanita Beijing. Mereka berseliweran dengan baju atau celana pendeknya. Yang mengenakan rok lebar dan mengendarai sepeda, beberapa di antaranya menyangkutkan roknya pada setang sehingga angin bisa bertiup leluasa. Di tempat bersejarah The Bund, banyak orang menikmati pemandangan sambil mengabadikan diri. The Bund adalah tempat konsesi negara-negara Barat setelah Cina di bawah dinasti Manchu (1644 -1911) kalah dalam Perang Candu melawan Inggris pada pertengahan abad lalu. Dari si, kelihatan deretan gedung dan kapling yang dulu dibagi -bagi di kalangan negara tertentu, terutama Barat dan Jepang. Umumnya gedung-gedung itu tua dengan arsitektur antik. Ada yang berpose di depan air mancur, atau di tepi Sungai Huangpu Atau ikut tur kapal menyusuri sungai ini peminat tampak dari segala lapisan. Yang bergaya kota dengan dandanan seronok, atau laki-laki dekil dari daerah lain dengan tas besar berisi bekal. Kami lihat hampir setiap orang menjinjing kamera. Di Kota Tua, deretan pertokoan kelihatan antik. Cukup banyak toko elektronik dan peminat pun ada. Pedagang kaki lima memajang pakaiannya di tepi jalan. Dalam suhu setinggi itu, Coca-Cola dan es krim amat laris. Shanghai tidak sebersih Beijing karena tempat-tempat sampah tidak sanggup menampung gelas-gelas plastik bekas Coca-Cola atau kulit semangka. Cina memang sedang dibanjiri semangka. Harganya amat murah. Setengah kilogram hanya 60 sen. Jiao Zhou Lu, sebuah jalan dua jalur yang tidak begitu lebar, tidak bisa dilalui kendaraan karena jalan itu dipenuhi oleh penjual semangka dan persik (sebesar apel dengan warna kuning kemerahan). Jalan ini memang dikhususkan untuk penjualan buah. Obyek wisata lain untuk turis di kota ini adalah Yu Garden. Ini bukan taman, tapi tempat perbelanjaan kaki lima dengan puluhan kios yang menjual segala barang untuk buah tangan dari Cina. Mulai sutera, kipas, sampai boneka panda. Beberapa orang laki-laki mendesak kami minta dolar atau yuan (untuk orang asing). Ternyata -- walau ada juga yang menduga kami orang Shanghai -- tetap saja kan kelihatan sebagai orang asing. Penampilan kami terlalu sopan untuk ukuran mereka yang kebanyakan berpakaian minim. Secara umum, Shanghai jauh lebih menyenangkan dibanding Beijing. Penduduk yang tidak curiga pada tamu asing dengan mudah bisa diajak berdialog. Yang mungkin membuat kota ini kelihatan lebih ramah adalah karena tentara dan polisi tidak banyak berkeliaran di dalam kota. Kecuali polisi lalu lintas yang berdiri dengan tegap di tengah jalan. Seperti Beijing, Shanghai memiliki banyak "bis trolley dan taksi yang dikemudikan oleh wanita. Ada yang sopirnya pria, tapi kondekturnya wanita. -- Dengan pengeras suara, mereka menawar -nawarkan rute perjalanannya. Kondektur atau sopir "bis-trem" ini dengan sigap turun tangan kalau terjadi korsleting pada kabel penyalur listrik. Dengan lincah, mereka meloncat turun, menurunkan kawat penghubungnya, dan dengan berhati-hati menaikkan lagi pada kabel listrik yang saling menyilang di atas jalanan. The Portman Hotel, tempat kami menginap, terletak di Jalan Nanjing yang merupakan pusat bisnis Shanghai. Hotel dari kelompok Shangrila yang megah ini dikelola secara Barat. Petugas penjaga pintu adalah pria Cina pilihan dengan wajah ganteng dan tubuh tinggi dalam balutan jas panjang. Untuk hotel bertaraf internasional seperti ini, tarif yang dikenakan amat murah. Hanya US$ 63 untuk kamar single. Tampaknya mereka terpaksa banting harga. Hotel berlantai 45 dan berkamar 700 ini hanya diisi tamu kurang dari setengahnya. Tidak terlalu banyak turis bule, barangka-i dampak peristiwa Tiananmen. Dari Shanghai kami ke Guangzhou. Penerbangan ditempuh dalam waktu 1 jam 40 menit. Guangzhou adalah kota besar di selatan Cina dan sudah dekat dengan Kowloon, Hong Kong. Kota ini terbelah oleh Sungai Mutiara yang lebarnya sampai 100 meter. Sungai itu merupakan urat nadi perdagangan di kota yang bentuk dan suasananya sudah seperti Hong Kong karena setiap hari ratusan kapal berlabuh. Hotel White Swan, yang terletak di tepi Sungai Mutiara, dipenuhi oleh turis bule atau Hong Kong. Padahal, tarif hotel berbintang lima ini hampir dua kali The Portman, mencapai US$ 110. Tapi orang Hong Kong yang banyak uang biasa berjalan jalan ke sana karena perjalanan dengan kereta api hanya membutuhkan waktu dua jam saja. Suhu di Guangzhou cukup tinggi, tapi tidak seterik di Shanghai. Untuk penahan panas, penduduk biasa mengenakan topi putih lebar. Ratusan topi putih terlihat ketika para pekerja yang baru pulang, menggunakan topi itu untuk penahan panas sambil bersepeda. Feri merupakan alat angkut yang vital di Guangzhou. Penduduk yang tinggal di satu sisi kota dan bekerja di sisi lainnya harus mempergunakan angkutan ini melalui Sungai Mutiara. Tarifnya murah saja, hanya 5 sen dan memakan waktu 5 menit memakai feri yang cukup besar. Penumpang duduk di bagian atas, sedang bagian bawah digunakan untuk sepeda. Dalam feri sering dijumpai pengemis. Bisa laki-laki tua buta yang mengamen dengan alat musik seperti gitar. Cucunya yang menemani akan mengedarkan kaleng kosongnya pada para penumpang. Ada juga pengemis wanita yang menyodorkan kaleng. Di pinggir jalan pun ada pengamen dengan gitar. Di sampingnya istri dan anaknya menunggui baskom plasffk untuk sedekah. Dan, cukup banyak orang yang tergerak memberi. Untuk turis, ada tur menyusuri Sungai Mutiara memakai feri besar. Dimulai pukul 19.00 dan membutuhkan waktu dua jam. Sebenarnya, turnya sendiri hanya memakan waktu 30 menit. Yang lama adalah makan malam dengan makanan Kanton yang datang silih berganti. Kapal dua tingkat yang dipenuhi pengunjung itu baru bergerak jam 20.00 lebih dan dengan perlahan-lahan menyusuri Sungai Mutiara untuk memberi kesempatan pengunjung melihat hotel-hotel bertingkat di sepanjang sungai. Kapal ini menyuguhkan tiga orang penyanyi dengan lagu-lagu Mandarin diiringi permainan organ. Penyanyi wanitanya cantik dengan pakaian putih berenda dan menyanyikan lagu-lagu pop Mandarin. Para pengunjung boleh memesan lagu dengan menuliskannya di kertas. Dalam sekejap, kertas pesanan sudah menumpuk dalam genggaman penyanyi itu. Belum semua lagu dinyanyikan, ia sudah digantikan oleh penyanyi pria yang juga mendapat setumpuk kertas pesanan. Puluhan turis Taiwan yang ada di kapal tampak amat menikmati hiburan ini. Anak-anak mereka ikut bergoyang bersama penyanyi. Dari Guangzhou turis bisa melanjutkan perjalanan ke Kowloon, Hong Kong, memakai kereta api yang kondisinya seperti kereta api Parahyangan Jakarta-Bandung. Ada empat kali perjalanan dalam sehari. Ongkosnya hanya Y 85 per orang. Guangzhou banyak dikunjungi orang Indonesia karena memiliki rumah sakit yang terkenal sebagai pengobatan ginjal (lihat Boks). Gaya hidup Guangzhou sudah mirip dengan Hong Kong. Keluar dari bandara, para sopir taksi hanya mau mengangkut penumpang tanpa argometer. Dengan seenaknya, mereka memberi harga yang mencekik, sampai Y 60 ke White Swan Hotel di tengah kota. Seorang huaqiao yang satu pesawat dengan kami marah-marah pada sopir taksi. Sudah lebih dari 20 tahun ia tinggal di Guam dan kini, bersama ibu, istri, dan anak tunggalnya, ia ingin melihat tanah kelahirannya kembali. "Dulu tidak begini," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dpw, Dhn
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini