Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

JAFF Bertabur Sineas Perempuan, Djenar Maesa Ayu: Seni Tidak Mengenal Gender

Tahun ini JAFF memutar film klasik besutan sutradara perempuan pertama di Indonesia, Ratna Asmara, berjudul Dr. Samsi yang diproduksi pada 1952.

4 Desember 2022 | 12.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penulis dan sutradara film Djenar Maesa Ayu seusai mengumumkan penghargaan Jogja-NETPAC Asian Film Festival di Hotel Artotel Suites Bianti, Sabtu, 3 Desember 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Penulis dan sutradara film Djenar Maesa Ayu mengapresiasi Jogja NETPAC Asian Film Festivaln atau JAFF yang memberi ruang lebih kepada sineas perempuan untuk tampil dalam festival tahunan itu. Ditemui seusai mengumumkan peraih penghargaan festival, Djenar menyebutkan jumlah sutradara perempuan makin bertambah dalam JAFF memperlihatkan perkembangan yang bagus. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ada 40 persen sutradara perempuan yang terlibat dari berbagai kota. Itu bagus," kata Djenar di Yogyakarta, Sabtu, 3 Desember 2022. Sejumlah sutradara perempuan juga mendapatkan penghargaan festival itu, misalnya Lola Amaria yang menyutradarai film dokumenter berjudul Eksil tentang penyintas tragedi 1965. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni Harus Beri Ruang yang Sama kepada Siapapun

Seni, menurut penulis Mereka Bilang, Saya Monyet itu tak mengenal gender. Menurut juri kategori NETPAC Award itu, film seharusnya memberi ruang terhadap siapapun, yakni sutradara perempuan laki-laki, lesbian, dan gay. 

Perkembangan dunia film menurut dia kini semakin menjanjikan di tengah perkembangan teknologi. Semua orang bisa membuat film apa saja dengan bantuan teknologi, kamera, dan ponsel yang canggih. Yang paling penting orang tersebut punya konsep yang kuat dan kegairahan. 

Film-film Asia yang diputar di JAFF bertema Blossom makin berkembang dan diterima publik dengan pilihan tema yang beragam. Contohnya tema politik dan keluarga yang sama pentingnya.

 

Ratna Asmara, Sutradara Perempuan Pertama Indonesia

Presiden JAFF, Budi Irawanto menyebutkan JAFF memberi ruang kepada sutradara perempuan karena selama ini kurang mendapat tempat. Tahun ini JAFF memutar film klasik besutan sutradara perempuan pertama di Indonesia, Ratna Asmara, berjudul Dr. Samsi yang diproduksi pada 1952. 

Film itu bercerita tentang peran seorang ibu demi mengenyam pendidikan. Berdurasi 88 menit, film itu telah didigitalisasi sebagai upaya untuk merawat ingatan terhadap Ratna Asmara dan filmnya. 

Tak banyak orang mengenal Ratna Asmara, padahal dia punya peran penting dalam sejarah film Indonesia. "Masih terjadi bias laki-laki dalam film. Sutradara perempuan kurang dikenal," ujar Budi. 

Ratna Asmara terlahir dengan nama Suratna (1913-1968) merupakan aktris, sutradara, dan produser film yang aktif berkarya di perfilman tanah air pada 1940-1954. Dia mengawali kariernya pada pertunjukan Dardanella. Ratna memulai debutnya sebagai sutradara film Sedap Malam (1951). Selama empat tahun berturut-turut, ia menyutradarai Musim Bunga di Selabintana (1952), Dr. Samsi (1952), Nelajan (1953-1954), serta  Dewi dan Pemilihan Umum (1954). Ratna mendirikan perusahaan Asmara Film dan Ratna Film. 

Selain Lola Amaria dan Ratna Asmara, dalam JAFF, penonton juga disuguhi film karya sutradara Kamila Andini berjudul Before, Now & Then Nana. Kamila merupakan sutradara perempuan yang peduli isu sosial budaya, kesetaraan gender, dan lingkungan. 

SHINTA MAHARANI

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus