Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 masih dua setengah tahun lagi. Namun Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia Lucya Andam Dewi mengaku sudah ketar-ketir. Ia cemas Indonesia akan kelabakan mempersiapkan diri sehingga gagal tampil mencorong dalam pameran buku terbesar di dunia tersebut. Bagaimana tidak, Indonesia, yang digadang-gadang menjadi tamu kehormatan (guest of honour), belum juga bisa berbenah serius. Sebab, hingga April tahun ini, kontrak antara pemerintah Indonesia dan panitia pameran belum putus.
Bagi Lucya, waktu dua setengah tahun sungguh jauh dari cukup. Sebab, ketika datang sebagai peserta biasa pun persiapan butuh sekitar setahun. Jika semuanya serba dadakan, penampilan tidak optimal. Dalam pameran 2012, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ditunjuk pemerintah sebagai duta negara.Dengan persiapan kurang dari setahun, Indonesia saat itu hanya mendapat ruang sisa. Negara lain sudah memesan tempat strategis sejak setahun sebelumnya. Mereka juga leluasa mempromosikan keikutsertaannya di media Jerman jauh-jauh hari. Sedangkan Indonesia? Selain menghuni ruang pinggiran, "Kita hanya berpromosi di Twitter. Itu pun di tengah berlangsungnya pameran," kata Lucya. Maka terima nasib, stan Indonesia luput dari perhatian pengunjung.
Sejak pameran digelar pertama kali pada 1976, panitia sudah menetapkan satu peserta sebagai tamu kehormatan. Status itu tentu amat menguntungkan karena si tamu kehormatan akan memperoleh berbagai fasilitas dalam pameran yang dikunjungi 70 ribu penggemar buku per hari itu. Setiap tahun tak kurang dari 100 negara berpartisipasi dalam pameran akbar ini.
Menurut Chairman Yayasan Lontar, John McGlynn, sebagai tamu kehormatan, Indonesia perlu persiapan setidaknya tiga tahun. "Dua setengah tahun kalau bikin pameran biasa itu bisa dirancang. Tapi untuk tamu kehormatan Frankfurt Book Fair, tidak bisa seperti itu," ujarnya kepada Tempo dua pekan lalu. Sebagai tamu kehormatan, para penerbit buku tak hanya diberi peluang unjuk diri. Si tamu agung pun dapat mempromosikan kekayaan kultur negaranya. "Seperti melakukan pameran di museum desain atau pementasan karya di teater," kata McGlynn. Adapun paviliun tamu kehormatan yang lebih luas akan menjadi lokasi paling populer. Pada 2012, Selandia Baru, yang menjadi tamu kehormatan sukses menggelar 300 acara.
Selain itu, jauh sebelum pameran dibuka, rangkaian kegiatan sudah bisa dilaksanakan. Kegiatan itu, antara lain, panitia akan mengundang 50-100 pengarang untuk berkeliling Jerman. Sebaliknya, 50-100 wartawan Jerman bakal dikirim ke Indonesia untuk menulis perihal negeri ini. "Jadi, dampaknya tak hanya di Frankfurt dan Jerman, tapi juga Eropa dan seluruh dunia," ujar McGlynn.
Semua itu mungkin masih bisa terkejar di tengah waktu yang mepet. Tapi ada satu hal yang mustahil dilakukan dengan cara kebut semalam ala pembangunan seribu candi oleh Bandung Bondowoso dalam legenda Roro Jonggrang. Panitia FBF mensyaratkan Indonesia harus menerjemahkan 100 karya Indonesia ke bahasa Jerman. Ini mustahil bisa dilakukan dalam waktu singkat. Inilah yang bikin Lucya dan McGlynn khawatir. Maklum, tak banyak penerjemah dalam negeri yang mampu mengalihbahasakan karya sastra Indonesia ke bahasa Jerman. Apalagi untuk menerjemahkan satu novel saja dibutuhkan waktu 16 bulan. "Dalam dua tahun, satu orang paling bisa menerjemahkan dua buku sampai terbit," kata McGlynn.
Lucya mengatakan panitia biasanya akan meminta pemerintah menyusun program mendanai penerjemahan buku tersebut. Selain itu, sudah harus digelar kegiatan promosi karya cipta sejak jauh hari. Tapi semua itu belum bisa dilaksanakan. "Karena kontrak belum diteken," ujarnya.
Lucya memperoleh informasi tersendatnya kontrak itu karena kedua belah pihak—pemerintah Indonesia dan panitia pameran—terbentur masalah hukum. Jadi, soalnya bukan pada masalah biaya yang diperkirakan sekitar Rp 50 miliar itu. Ini dibenarkan Kepala Badan Penelitian dan PengemÂbanganKementerian Pendidikan dan Kebudayaan KhairilAnwar NotodipuÂtro, yang mengkoordinasi persiapan tim Indonesia. Menurut dia, masih ada pasal hukum yang mengganjal kesepakatan. "Soal hukum ini ditangani oleh Sekjen," katanya.
Yang dia maksud adalah Sekretaris Jenderal KementerianPendidikan dan Kebudayaan AinunNa'im. Kepada Tempo, Ainun mengaku secara prinsip tidak ada masalah penandatanganan kontrak. Namun, karena pembiayaan menggunakan anggaran negara, Indonesia menginginkan kontrak juga tunduk pada hukum Indonesia. "Itu yang belum clear dengan FBF," ujarnya. Pada 26 April ini, para juru runding akan kembali duduk di meja negosiasi untuk menyelesaikan perbedaan. Tenggat teken kontrak ini sebenarnya jatuh akhir Desember 2012. Tapi, saking alotnya, deadline terpaksa diundurkan.
Dalam perundingan nanti, pemerintah Indonesia diwakili Kepala Pusat Kurikulumdan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RamonMohandas. Sedangkan juru runding panitia adalah Wakil Presiden FBF Claudia Kaiser. Ramon mengaku masih menunggu sinyal dari bagian hukum Kementerian untuk menentukan sikap. Ia sudah berusaha mencari contoh kontrak hukum tamu kehormatan sebelumnya. Tapi, "Belum diperoleh," katanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan Indonesia berkomitmen pada undangan sebagai tamu kehormatan itu. Dia mengatakan akan bertemu dengan Duta Besar Jerman untuk Indonesia Georg Witschel guna membahas soal FBF. Menurut dia, dalam lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Jerman pada Maret lalu, agenda FBF juga turut dibahas kedua pemimpin negara.
Semua berharap soal ini tak semakin berlarut, karena menjadi tamu kehormatan FBF adalah impian semua peserta. Menurut Lucya, sejak 2010, Indonesia telah mengajukan diri ke manajemen pameran untuk menjadi tamu kehormatan. Pada 2011, Claudia Kaiser datang ke Ikapi dan menyalakan sinyal kans untuk Indonesia. Lalu Indonesia pun mengajukan surat permohonan resmi.
Tahun berikutnya Presiden FBF Juergen Boos dan Claudia Kaiser berkunjung ke Jakarta. Hasilnya, Indonesia dicanangkan menjadi tamu kehormatan dalam pameran pada 2015 atau 2016. "Kita minta kalau bisa pada 2015, bertepatan dengan 70 tahun Indonesia merdeka," ujar Lucya. Pada September 2012, permintaan Indonesia disetujui. Panitia pameran pun meminta Indonesia segera mempersiapkan diri.
Menurut John McGlynn, Indonesia bersaing dengan Amerika Serikat untuk menjadi tamu kehormatan pada 2015 itu. Tapi Jerman memilih Indonesia karena negara ini kurang dikenal. Dalam pameran 2012, FBF mengundang secara khusus lembaga nirlaba penerjemah karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris, Lontar, yang dipimpinnya itu ikut pameran.
Namun, sejak diputuskan resmi pada September 2012, hingga April ini Indonesia masih jalan di tempat. Berlarutnya masalah kontrak ini mengundang keprihatinan Berthold Damshauser, anggota Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra. Kepala Program Studi Bahasa Indonesia di Universitas Bonn itu pun menulis surat kepada Presiden Yudhoyono. "Saya menyampaikan tawaran menjadi tamu kehormatan tersebut semoga tidak diabaikan. Karena itu kesempatan luar biasa besar untuk mengenalkan Indonesia sebagai pemilik budaya aksaramodern kepada Jerman, Eropa, bahkan kepada dunia," ujarnya. Menurut Damshauser, permasalahan hukum-administratif dalam kontrak tidak dialami dengan negara-negara lain yang menjadi tamu kehormatan. Dia berjanji membantu Indonesia supaya bisa tampil optimal dalam pameran nanti.
Sepertinya banyak yang geregetan dengan ketidakpastian ini. Juga Lucya, yang ikut merintis terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan. "Sayang, kita sudah dapat kok tidak cepat-cepat diambil…!" katanya.
Erwin Zachri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo