Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>MARTIN KREUTNER, KEPALA AKADEMI ANTIKORUPSI INTERNASIONAL:</B></font><br /><font face=arial size=3><B>Perlu Kerja Sama Global Melawan Korupsi </B></font>

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di jagat musuh bersama dunia, Martin Kreutner mengurutkan korupsi pada posisi tiga besar. Bahayanya barangkali belum sedahsyat perang—yang dia sebut musuh nomor wahid. Tapi kehebatan daya rusak korupsi terhadap kehidupan manusia membuat Kreutner menegaskan pentingnya membangun kerja sama global untuk memerangi penyakit ini. "Memadamkan korupsi dalam skala nasional tak mudah. Kerja sama global membuat kita tak berjuang sendirian dan tak kehilangan harapan," ujarnya kepada Tempo.

Kepala Akademi Antikorupsi Internasional—International Anti-Corruption Academy (IACA)—ini mencontohkan miliaran dolar uang yang lenyap setiap tahun gara-gara korupsi. Padahal uang itu, kata Kreutner, hasil kita membayar pajak, yang bisa digunakan buat membangun sekolah dan rumah sakit serta menyediakan pendidikan dan pelayanan publik.

Kreutner adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Innsbruck, Austria. Tapi bukan pendidikan belaka yang membuat dia fasih ihwal korupsi. Kreutner terjun mengurusi korupsi dalam waktu cukup lama—setelah menempuh karier militernya. Pada 2000, pemerintah Austria menugasi dia membangun Unit Pengawasan Polisi dan Antikorupsi. Dia juga dipercaya memimpin lembaga baru itu: Austrian Federal Bureau for Internal Affairs.

Kreutner memandu Biro Federal selama 2001-2010, yang menjadikan dia salah satu orang paling lama di posisi tersebut. Para kepala badan antikorupsi di Eropa lazimnya bertugas selama 3-5 tahun. Penasihat Khusus Menteri Urusan Antikorupsi Austria ini menduduki sejumlah posisi strategis di jaringan antikorupsi dunia. Di antaranya International Association of Anti-Corruption Authorities dan Interpol's International Group of Experts on Corruption, juga sebagai konsultan antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Eropa, dan Bank Dunia.

Memimpin Akademi Antikorupsi Internasional adalah tugas terbarunya. Lembaga internasional yang berpusat di Wina—ibu kota Austria—ini merupakan pusat pendidikan, pelatihan, dan riset bagi praktisi antikorupsi dari berbagai belahan dunia.

Pemrakarsa Akademi adalah United Nations Office on Drugs and Crime, European Anti-Fraud Office, dan pemerintah Austria. Indonesia termasuk negara pertama yang menandatangani perjanjian pendirian Akademi pada 2010—walau negeri kita belum meratifikasinya. Kini sudah 62 negara dan lembaga menjadi anggota IACA.

Untuk memperkenalkan ide-ide Akademi, Kreutner menggelar "tur Asia" April ini. Pekan lalu, dia mengunjungi Malaysia, India, dan Indonesia. Di Jakarta, dia berjumpa dengan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Di sela jadwal amat padat, Martin Kreutner menemui Hermien Y. Kleden, Sadika Hamid, dan Wibisono Notodirdjo dari Tempo di Hotel Kempinski, Jakarta, pada Jumat pekan lalu. Kendati berkejaran dengan jadwal pesawat ke Wina, Kreutner menjawab seluruh pertanyaan dengan tenang dan rileks—lengkap dengan sesi pemotretan khusus.

Boleh tahu apa hasil pertemuan Anda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga penegakan hukum lain selama di Jakarta?

Saya mengajak pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian pendirian Akademi Antikorupsi Internasional. Indonesia sudah menandatangani perjanjian, tapi belum mengesahkannya di parlemen. Ratifikasi ini akan memberi Indonesia hak suara penuh di Assembly of Parties, badan pembuat keputusan tertinggi Akademi. Kami juga mengundang anggota KPK memberikan pelatihan tahun ini. Kami ingin murid-murid Akademi belajar dari pengalaman mereka.

Adakah rencana kerja sama pelatihan penyidik, mengingat KPK berencana memiliki penyidik independen?

Kami siap membantu pendidikan penyidik serta berbagi pengalaman dengan Indonesia dan negara-negara lain. Perkara penyidik mereka kelak ditempatkan di mana sehabis pendidikan, itu terserah negara masing-masing. Yang penting, penyidik harus independen dan memiliki kecukupan sumber daya untuk bekerja.

Apa perbedaan antara penyidik kasus korupsi dan penyidik kepolisian biasa dalam definisi Akademi?

Semestinya tak ada perbedaan karena semua penyidik bertugas menegakkan hukum dan hak asasi manusia. Komisi antikorupsi dibentuk karena kebutuhan. Di level internasional, kami sadar bahwa polisi dan pengadilan di berbagai negara barangkali tak seindependen yang seharusnya.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, seturut Transparency International, ada di urutan ke-118 dari 176 negara. Adakah jalan pintas memberantas dan menurunkan angka korupsi?

Tak ada jalan pintas! Banyak orang menentang, bahkan memusuhi, tatkala kita memberantas korupsi. Saya selalu membandingkannya dengan perjuangan hak asasi manusia. Butuh 100-200 tahun hingga hak asasi manusia diterima secara global.

Sementara perjuangan global melawan korupsi baru 10-15 tahun.

Maka kita tak boleh berhenti. Jika kita berhenti, keadaan memburuk. Toh, sudah ada kemajuan. Sulit membayangkan kita bisa menghukum menteri atau perdana menteri 10-20 tahun lalu. Saya tahu Indonesia mengirim polisi-polisinya ke penjara.

Setujukah Anda bahwa kurangnya otoritas antikorupsi berefek pada kurangnya terobosan di negara dengan kasus korupsi tinggi, termasuk Indonesia?

Ada sejumlah orang di luar sana yang menyalahkan otoritas antikorupsi, mempertanyakan mengapa mereka tak dapat memberikan hasil lebih banyak. Yang kurang adalah kemauan politik, sumber daya, dan kerja sama. Jadi jangan salahkan otoritas antikorupsi. Tentu kita mengkritik jika mereka salah. Tapi jangan timpakan itu pada mereka jika tak ada perubahan di masyarakat dalam hitungan detik, menit, atau bulan. Kita semua wajib menjadi agen perubahan. Saya melihat ada kesan otoritas antikorupsi sengaja diberi beban terlalu berat. Mereka mudah disalahkan, dan pihak lain bisa langsung cuci tangan.

Apa yang membuat korupsi menjamur di negara berpendapatan menengah macam Indonesia, yang koruptornya justru orang-orang berpunya?

Di negara-negara transisional, korupsi menjadi lebih "demokratis" dan terdesentralisasi. Ada kecenderungan pemegang kekuasaan yang baru akan melakukan korupsi jika sistem pengawasannya tidak kuat. Satu survei anyar menyebutkan orang menganggap korupsi di negara berpendapatan menengah dan tinggi bukan untuk bertahan hidup. Yang dulu kebutuhan menjadi keserakahan. Mereka ingin lebih. Pertama puas naik sepeda, kemudian menyetir Volkswagen, kemudian Porsche, lalu Rolls-Royce.

Wilayah mana saja di dunia yang paling berat dan kompleks perilaku korupsinya?

Tingkat dan ragam korupsi dipicu banyak faktor. Jadi pengalaman satu negara tak bisa dibandingkan dengan negara lain. Ada yang perkembangan antikorupsinya cepat, yakni yang mengerahkan banyak upaya dan sumber daya untuk memerangi korupsi.

Ya, Hong Kong salah satu contoh terbaik.

Hong Kong pada 1974 amat bermasalah dengan korupsi, sampai-sampai lahir demonstrasi di jalan-jalan. Mereka lantas mendirikan komisi antikorupsi yang digdaya, ditopang banyak sumber daya, sehingga berhasil membalikkan keadaan.

Apakah Indonesia sudah berada di trek pemberantasan korupsi yang benar dalam pengamatan Anda?

Di dunia internasional, upaya Indonesia umumnya mendapat tanggapan positif. Negeri Anda punya Komisi Pemberantasan Korupsi, masyarakat madani yang kuat, dan media yang relatif independen. Orang-orang penting di bidang politik dan ekonomi telah ditindak oleh KPK. Jadi, secara umum, Indonesia berada di trek yang benar. Tentu saja ada hal-hal yang harus diperbaiki.

Andai anggota KPK ke Akademi di Wina, apa yang dapat mereka pelajari?

Persepsi dunia internasional tentang KPK relatif positif. Kami tahu mereka telah melakukan banyak hal dan berdedikasi tinggi. Satu yang amat mengesankan, orang-orang Indonesia turun ke jalan dan menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung KPK. Ini luar biasa dan sulit ditemukan di negara lain. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai ada kejenuhan. Berita tentang korupsi yang muncul setiap hari meletihkan orang dan bisa membuat bosan.

Dalam menjalankan tugasnya, KPK banyak mengalami benturan dengan aparat penegak hukum lain dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Seberapa efektif mereka bekerja dalam kondisi seperti ini?

Ini dialami semua otoritas antikorupsi. Seorang mantan hakim agung Australia pernah mengatakan otoritas antikorupsi justru mulai menghadapi masalah setelah kerja mereka berhasil. Mengapa? Karena mereka harus berhadapan dengan pihak berkuasa. Mereka tak bisa punya banyak teman. Yang penting, mereka independen dan punya sumber daya cukup. Masyarakat madani yang kuat, media independen, dan keterlibatan publik, semua ini amat mendukung kerja KPK. Tapi perlu diingat, benturan pun akan terus ada.

Korupsi di negara-negara Eropa Barat dan Utara, terutama, jauh lebih rendah dibanding Indonesia. Bagaimana IACA di Wina bisa membantu jika pengalaman lapangan Anda kurang dari kami?

Perlu ditekankan bahwa IACA adalah organisasi internasional. Kami bukan organisasi Eropa atau Austria. Kebetulan saja kami bermarkas di Austria, karena United Nations Office on Drugs and Crimes serta European Anti-Fraud ­Office, yang menjadi pemrakarsa Akademi, ada di sana. Tapi Akademi mengurus isu-isu antikorupsi dunia. Saya tahu ada fenomena korupsi yang berbeda antarnegara. Tapi ada benang merah yang sama: tak satu pun negara bebas korupsi. Saya cenderung menyatakan ini satu kekurangan negara Barat, yakni di masa lalu banyak yang berpikir bahwa mereka bebas korupsi. Itu salah! Menurut saya, kita semua harus siap mengatasi korupsi.

Apa sebetulnya urgensi pembentukan IACA?

Saya mantan Kepala Badan Antikorupsi Austria. Dan saya dididik menjadi pengacara serta mempelajari ilmu-ilmu sosial. Selama bekerja, saya sadar bahwa pendidikan antikorupsi mengalami partikularisme. Jaksa hanya dilatih sebagai jaksa. Demikian pula polisi, hakim, dan petugas kepatuhan internal (compliance officer). Mereka seharusnya dibekali wawasan berbeda sehingga bisa memecahkan masalah dari sudut pandang yang lain, dan IACA bisa membantu di sini.

Bisa dijelaskan lebih detail?

Masalah umum dalam memberantas korupsi adalah kecenderungan melihat kasus hanya dari sisi penegakan hukum. Padahal ada aspek pencegahan, pendidikan, dan kerja sama. Tanpa empat pilar tersebut, peluang sukses amat sempit. Kecenderungan sekarang hanya memperhatikan penegakan hukum pidana. Jika tak ada vonis, berarti tak ada korupsi. Lagi-lagi, ini salah.

Bagaimana Akademi merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan setiap negara?

Pertama, harus saya tekankan bahwa kami bukan pesaing institusi pendidikan nasional. Tentu saja fakultas hukum di universitas Indonesia lebih menguasai hukum Indonesia dibanding kami. Tapi kami melihat peluang mengajarkan perbandingan hukum, perbandingan praktek-praktek terbaik, tolok ukur, serta peraturan bersama seperti Konvensi PBB Antikorupsi dan konvensi internasional lainnya. Kedua, kami bisa menyediakan ranah netral untuk para pemangku kepentingan dari latar belakang berbeda. Kami ingin mengumpulkan praktisi dari berbagai bidang dan membiarkan mereka bertukar pengalaman.

Apa benang merah upaya pemberantasan korupsi yang bisa menyatukan kepentingan berbagai negara?

Ini salah satu persamaan paling mendasar: tak ada satu pun masyarakat, negara, komunitas, atau suku yang mau hidup dalam korupsi. Semuanya sadar bahwa korupsi bukan win-win situation dan bukan kejahatan ringan. Korupsi mempengaruhi kehidupan sosial dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Konkretnya, perang melawan korupsi dalam skala nasional tak mudah. Karena itu, penting sekali membangun kerja sama global, agar kita tak kehilangan harapan. Kita tidak berjuang sendiri. Ada pemahaman yang berkembang di dunia internasional bahwa ini perjuangan besar.

Apa saja target Akademi dalam jangka pendek dan panjang?

Kami organisasi baru dan masih membangun kapasitas sehingga tak menetapkan target muluk-muluk. Dalam jangka pendek, kami ingin memberdayakan murid-murid Akademi, memenuhi kebutuhan mereka, memberikan pelatihan bagus, serta menyediakan tempat netral dan forum terbaik bagi mereka untuk bertukar pengalaman. Dalam jangka lebih panjang, kami akan memperluas jangkauan.

Dalam wujud apa saja?

Menempatkan instruktur kami di negara tertentu, ada bersama kantor regional, dan menjalin kerja sama lebih luas.

MARTIN KREUTNER
Lahir: 1964Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Innsbruck, Austria, Master Policing and Public Order Studies dari University of Leicester, Inggris Karier: Kepala Akademi Antikorupsi Internasional (IACA) (2010-sekarang), Penasihat Khusus Menteri Urusan Antikorupsi (2010-sekarang), Direktur Austrian Federal Bureau for Internal Affairs (2001-2010), Kementerian Dalam Negeri Austria (2000-2001) l Organisasi: Presiden European Partners Against Corruption Network, Anggota Executive Committee International Association of Anti-Corruption Authorities, Anggota Interpol's International Group of Experts on Corruption, Anggota Dewan Penasihat Transparency International Chapter Austria, Pendiri International Anti-Corruption Summer School, Mantan wakil presiden dan anggota Executive Committee of the European Healthcare Fraud and Corruption Network

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus