Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jatidiri, Lukisan Keruwetan

Film ini mencampurkan dua kisah misteri klasik dengan problem psikologi. Sebuah adonan yang menawan.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Identity
Naskah: Michael Cooney
Sutradara: James Mangold
Pemain: John Cusack, Ray Liotta, Amanda Peet
Produksi: Columbia Pictures

Apalah arti sebuah jatidiri buat Malcolm Rivers. Bagai Sybil, gadis yang terkenal di seluruh dunia dengan kasus kepribadian jamaknya, pria gendut berkepala plontos ini bisa menjadi siapa saja dan bertingkah sesuka hatinya. Identitas bagaikan sehelai pakaian yang bisa dipakai sesuka hatinya. Namun, adakah hubungan dia dengan sebuah peristiwa di sebuah desa di Nevada?

Kala itu, hujan lebat mengguyur. Di mana-mana air bah tumpah. Cuaca buruk itulah yang mengantar sembilan orang yang sama sekali tidak saling kenal terdampar di sebuah motel. Pertama adalah George (John C. McGinley), seorang pria paruh baya yang datang dengan membopong istrinya yang bersimbah darah. Sang istri tersambar mobil yang dikemudikan Edward (John Cusack), sopir yang tengah mengantar majikannya, seorang aktris (Rebecca De Mornay). Turut bersama mereka, Timothy, anak George yang tampak aneh. Dia pelit bicara. Ekspresi wajahnya janggal.

Lantas, berturut-turut singgah di motel itu sejumlah sosok: seorang pelacur (Amanda Peet) yang ingin memulai hidup baru menjadi petani jeruk, sepasang pengantin baru yang penuh konflik (Clea DuVall dan William Lee Scott), dan terakhir seorang polisi (Ray Liotta) yang datang membawa tahanannya (Jake Busey). Sembilan orang plus Larry, si penjaga motel, berkumpul karena badai ganas yang menutup jalan mereka keluar dari tempat itu.

Semestinya mereka berada di tempat itu untuk sesaat sambil menanti badai reda, lantas melanjutkan perjalanan masing-masing. Namun, yang terjadi kemudian, dalam cuaca yang tak bersahabat itu teror pun tiba-tiba datang menerpa. Satu per satu dari mereka tewas mengenaskan. Tak ada yang tahu pelakunya, cuma polanya cukup jelas: pembunuhan itu mengambil korban berdasarkan urutan nomor kamar tempat menginap.

Sejak awal, bagai mobil balap, film ini langsung tancap gas menyajikan ketegangan yang tak putus. Pisau, darah yang tepercik air hujan, dan potongan alur yang bolak-balik bagai sebuah mobil yang menderu ganas di putaran sirkuit. Suspensnya benar-benar terjaga. Di bagian lain, muncul subplot yang berkisah tentang sebuah upaya seorang dokter jiwa yang berusaha memperingan penderitaan pasiennya yang akan dihukum mati dalam waktu 24 jam. Dia keras mencoba membebaskan pasiennya dengan alasan si pelaku memiliki kelainan jiwa.

Dua kisah yang sejak awal sepertinya tidak saling berpaut dipersatukan di bagian akhir kisah ini. Dengan memainkan dua plot ini, seolah sutradara James Mangold ingin menyampaikan bahwa filmnya ini tidak lagi mengikuti alur film horor atau thriller seperti biasanya.

Berhasilkah upaya itu? Melihat dari setting cerita, motel dengan hujan yang tak henti, ingatan kita tentu akan meluncur pada beberapa film yang pernah dibuat. Antara lain Psycho, film thriller terbaik sepanjang masa garapan Alfred Hitchcock yang kemudian dicampur dengan kisah yang tak kalah menawannya karya Agatha Christie, And Then There Were None, yang kemudian dijadikan film pada 1945 oleh Walter Huston and Barry Fitzgerald dengan judul Ten Little Indians. Film terakhir juga pernah dibuat dalam versi Indonesia, yang ditayangkan di TVRI beberapa tahun silam. Salah satu aktornya adalah Bangun Sugito alias Gito Rollies. Sebuah cerita lepas (waktu itu belum ada istilah sinetron) yang lumayan apik penggarapannya.

Sebuah campuran yang memikat yang berhasil disajikan dengan baik oleh Michael Cooney (penulis naskah) dan James Mangold, si sutradara—juga dikenal sebagai penggarap Girl, Interrupted. Ramuan ini hampir sempurna. Mereka mengadonkan resep-resep film thriller yang menarik: mencomot cerita yang telah akrab dengan penonton dan menambahinya dengan persoalan problem psikologi. Alhasil, korban yang berjatuhan dan misteri teka-teki pelakunya menjadi sebuah pengantar terhadap sebuah tema yang disajikannya. Persoalannya kemudian melingkar-lingkar untuk masuk pada sebuah muara yang mengejutkan.

Apakah itu? Jelas, persoalan besarnya bukan mencari siapa pembunuhnya, melainkan mengapa pembunuhan itu harus terjadi. Ya, kenapa orang-orang itu harus dibunuh? Mendingan Anda menonton sendiri dan temukan jawabannya. Yang jelas, film ini, selain telanjur mengasyikkan, juga memberikan ruang untuk menyelami sebuah petualangan seorang manusia yang bisa berganti-ganti busana yang bernama jatidiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus