Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERTIMPA segunung harapan, panitia seleksi anggota Komisi Pemberantas Korupsi terus-menerus mendapat sorotan masyarakat. Mereka dinilai kurang transparan dalam memproses nama calon yang telah masuk ke panitia. Jangan heran jika Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, berteriak pada Jumat pekan silam. "Semestinya panitia juga melakukan uji publik terhadap para calon dengan melibatkan masyarakat," kata Munarman.
Di tengah korupsi yang dibiarkan merajalela di negeri ini, Komisi Pemberantas Korupsi memang diharapkan bisa tampil sebagai malaikat penolong. Karena itu proses pemilihan anggotanya ditatap dengan awas oleh mata publik.
Dari 513 calon pendaftar, pekan lalu panitia telah mencoret 222 nama yang tidak memenuhi syarat administratif. Sebanyak 237 orang telah dinyatakan lolos dari seleksi awal ini. Sisanya, 54 nama, masih belum diputuskan karena muncul keraguan. Ini diakui oleh Romli Atmasasmita, ketua panitia seleksi. Karena sekretariat seleksi tak berani memutuskan, ia meminta keputusan terhadap mereka ditunda.
Yang mengejutkan, Marsilam Simanjuntak, salah seorang calon yang diunggulkan kalangan LSM, termasuk yang digantung. Sampai Jumat pekan lalu namanya masih diperdebatkan oleh para anggota panitia seleksi, yang dikarantina di Hotel Aryaduta, Jakarta. Menurut sumber TEMPO, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipakai untuk mengganjalnya. Di situ dinyatakan, calon anggota Komisi harus berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.
Marsilam mengantongi gelar sarjana hukum pada 1989 dari Universitas Indonesia. Jika dihitung-hitung, baru 14 tahun ia memegang gelar itu. Tapi apakah pasal tersebut mesti ditafsirkan seperti itu? Inilah yang pertanyakan oleh kalangan LSM. Pengalaman di bidang hukum tidak perlu dihitung dari saat seorang calon mulai bergelar sarjana hukum. Bisa saja sebelum mendapat gelar itu, ia telah bergelut di dunia tersebut. Itu sebabnya, Wakil Ketua YLBHI Robert Robertus tidak bisa menyembunyikan keheranannya. "Aneh kalau Marsilam disingkirkan karena persoalan teknis administratif," ujarnya.
Lagi pula, kualitas pengalamannya juga perlu dipertimbangkan. Marsilam Simanjuntak pernah menjadi Menteri Kehakiman dan kemudian Jaksa Agung pada masa akhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, lelaki 60 tahun ini menjabat Sekretaris Kabinet di era yang sama. Soal antikorupsi bukan hal baru pula bagi lulusan Fakultas Kedokteran UI pada 1971 ini. Pada tahun 1970, saat Orbe Baru saja menggeliat, ia aktif dalam kegiatan Komisi Anti-Korupsi, bersama Arief Budiman. Ia sempat mencicipi sel tahanan militer selama 17 bulan, tanpa diadili, karena dianggap terlibat Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari). Selepas itu, Marsilam diangkat menjadi Kepala Kesehatan Penerbangan Garuda dan dipensiun dini karena menolak menjadi anggota Korpri dan ikut P4.
Marsilam sendiri enggan berkomentar tentang proses seleksi yang dilakukan panitia. Yang pasti, di mata Robert Robertus, mantan Jaksa Agung itu punya integritas untuk memberantas korupsi di negeri ini dan pantas memimpin Komisi Pemberantas Korupsi. "Komisi memang butuh orang yang kuat, tegas, dan teguh memegang prinsip," katanya.
Orang yang berintegritas tinggi diperlukan karena wewenang lembaga tersebut amat besar. Sesuai dengan undang-undang, Komisi boleh memeriksa pejabat negara termasuk anggota parlemen tanpa izin presiden, menyita aset orang yang bersangkutan sebelum pengadilan menerbitkan penetapan, dan bahkan melakukan penyadapan. Lembaga ini juga tak perlu izin Bank Indonesia untuk memeriksa rekening seseorang yang dicurigai korupsi. Itu sebabnya Harlans M. Fachra dari West Java Corruption Watch menekankan pula, komisi ini harus dikendalikan oleh orang-orang yang kredibel.
Berbeda dengan Marsilam, bekas Ketua YLBHI, Bambang Widjojanto, 44 tahun, telah lolos dari seleksi tentang persyaratan administratif. "Awalnya, Bambang diragukan karena lebih banyak mengurusi soal hak asasi manusia, ketimbang soal hukum dan korupsi," ujar seorang tim seleksi.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta itu pernah menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jayapura, Irian Jaya, pada 1986. Setelah enam tahun di Bumi Papua, ia lebih banyak menjadi pembela dan mengurusi YLBHI di Jakarta. Pensiun dari YLBHI, Bambang aktif di Cetro dan Partnership, dua lembaga yang mengurusi pemilihan umum dan pemerintahan yang bersih.
Yang juga lolos, Erry Riyana Hardjapamekas. Seperti Marsilam dan Bambang, lelaki kelahiran Bandung 5 pada September 1949 ini juga diunggulkan oleh sejumlah LSM. Selama ini ia lebih banyak bekerja di lingkungan badan usaha milik negara. Setelah lulus sarjana ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Padjadjaran, Erry bekerja di Perusahaan Umum Perumahan Nasional pada 1979. Lalu selama sembilan tahun ia bertugas di PT Tambang Batubara Bukit Asam. Erry pernah pula dipercaya menjadi Direktur Utama PT Timah, dan komisaris di sejumlah perusahaan besar. Belakangan ia ikut mendirikan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) bersama bekas Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad.
Kandidat lain yang pantas masuk Komisi Pemberantas Korupsi adalah Muhammad Yamin, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. Penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award 2003 ini memulai kariernya sebagai wartawan di Sulawesi Selatan. Lalu ikut pendidikan jaksa, dan menjadi abdi negara di bidang penyidikan dan penuntutan pertama kali pada 1966 di Soppeng. Walaupun menangani perkara besar, pola hidup Yamin sederhana. Ia masih tinggal di rumah dinas kejaksaan di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat. Ia dianggap menapaki jejak almarhum Baharuddin Lopa, seniornya.
Kasus korupsi besar yang pertama kali ditanganinya, perkara Tony Gozal di Makassar tahun 1982. Pengusaha yang kebal hukum pada masa itu bisa dijebloskan ke bui. Belakangan, sebelum dimutasi menjadi Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung, Yamin menangani perkara korupsi Nurdin Halid. Ketua Umum Koperasi Distrubisi Indonesia itu dianggap merugikan Badan Urusan Logistik Rp 169,7 miliar dari hasil distribusi minyak goreng pada 1998.
Niat Yamin mendaftar menjadi anggota Komisi Pemberantas Korupsi muncul karena ia merasa pencegahan dan pemberantasan korupsi selama ini tak maksimal. "Nah, komisi ini punya kewenangan yang lebih hebat, bahkan dibandingkan dengan kejaksaan," kata ayah tiga anak ini. Ia berharap lembaga ini diisi orang-orang yang baik dan punya keberanian.
Iskandar Sonhadji, salah seorang calon anggota Komisi, sepakat dengan Yamin tentang kualitas orang yang duduk dalam komisi itu. Menurut dia, tahun-tahun pertama, komisi itu akan menghadapi banyak tentangan dan tekanan. "Sudah saatnya korupsi tidak lagi diberantas dengan hanya bicara, tapi tindakan nyata," ujarnya. Shock therapy bisa dilakukan dengan menyeret elite politik atau penguasa yang korup.
Calon lain yang juga cukup layak masuk dalam lembaga itu antara lain Achmad Ali. Sehari-hari ia menjadi guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Adapun Sudirman Said dari MTI dan sejumlah calon lainnya dari lembaga swadaya masyarakat dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pun pantas dilirik. Dengan catatan, mereka telah teruji integritasnya di mata masyarakat.
Rencananya, pekan ini, nama calon yang telah lolos seleksi administratif akan dipampangkan di media. Setelah mendapat tanggapan masyarakat, mereka akan digodok lagi oleh panitia seleksi. Ujungnya, panitia akan menentukan 10 nama yang akan diserahkan ke Presiden. Mereka lalu diserahkan ke parlemen dan diseleksi di sana lewat uji kelayakan (fit and propper test) sampai mendapat lima nama. Seluruh proses ini dijadwal selesai pada akhir tahun.
Hanya, sebelum semua tahap dilalui, keluhan sudah muncul. Panitia seleksi dinilai terlalu terpaku pada persyaratan administratif yang bisa mengorbankan calon yang bagus. Penentuan 10 nama juga akan didasarkan pada komposisi yang ideal, yakni terdiri dari bekas jaksa, hakim, polisi, dan sebagainya. Ini bisa menyulitkan jika, misalnya, tidak ada calon dari bekas polisi atau hakim yang kredibel.
Dalam menguji pengetahuan para calon tentang Komisi Pemberantas Korupsi pun tampak kaku. Ketua tim seleksi, Romli Atmasasmita, pernah wanti-wanti, calon anggota Komisi yang tak mengerti satu pasal saja dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang lembaga itu tak bakal lolos.
Kerikil semacam itu bisa mematikan calon yang berintegritas tinggi dan relatif bersih. Karena itulah Munarman berteriak. Pertemuan pun diadakan oleh Gerakan Anti-Korupsi (Gerak), lembaga yang menaungi 37 LSM antikorupsi, selama dua hari di Jakarta pekan lalu. Mereka meminta agar panitia seleksi lebih terbuka dan fair dan memilih calon.
Ahmad Taufik, Endri Kurniawati dan Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo