Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak "jiwa nampak"

Pelukis a.wakidjan dan marah djibal memamerkan 39 karya mereka di balai budaya, jakarta. acuan mereka adalah kepercayaan pada getaran emosi sebagai penghela artistik. namun terkadang tampak tak realitis.

5 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelukis Wakidjan dan Marah Djibal memamerkan karya-karya yang menampakkan acuan melukis Soedjojono, Tapi, dengan memasukkan pengolahan kesan cahaya. BUKAN kebetulan A. Wakidjan, 60 tahun, berpameran bersama Marah Djibal, 57 tahun. Mereka anggota Seniman Indonesia Muda yang didirikan almarhum Soedjojono pada 1946. Dan keduanya masih mempraktekkan konsep melukis Soedjojono. Pekan lalu, kedua pelukis senior itu memamerkan 39 lukisan di Balai Budaya, Jakarta, Acuan mereka, seperti yang diajarkan Soedjojono, adalah kepercayaan pada getaran emosi sebagai penghela ekspresi artistik. Dalam acuan ini, kontak dengan objek -- atau suasana -- yang dilukis sangat penting. Dari kontak ini getaran perasaan bangkit. Soedjojono menyebutnya "Jiwa Nampak" karena getaran emosi yang terekam di kanvas menunjukkan watak dan jiwa pelukisnya. Bisa dimengerti bila lukisan kedua seniman itu menghadirkan objek yang tertangkap dan terpahami -- jauh dari abstrak. Wujud yang terpeta di kanvas itu menuntun emosi mereka mengekspresikan ungkapan artistik. Namun, dalam karya-karya mereka, kontak dengan objek tidak hanya menghasilkan emosi. tapi juga impresi visual. Ini tampak jelas pada lukisan Djibal. Nuansa warna pada lukisan-lukisannya terjadi dari impresi efek gelap terang akibat pencahayaan alam, Getaran emosi dan impresi visual membuat lukisan mereka tidak realistis. Objek dilukiskan pada garis besar dengan sapuan-sapuan kasar. Ini terlihat untuk mengungkapkan impresi cahaya alam akibat pencahayaan. Lihat saja, misalnya, lukisan Djibal Tiga Sekawan, Trisagi, Melasti, atau Petani Kentan. Karya-karya ini terlihat mengelompokkan warna pada bidang yang tidak terkena cahaya, Dibangun dengan sapuan warna rata dan kabur, sekilas mengesankan lukisan yang tidak tuntas. Kesan kabur pada lukisan Djibal terlihat lebih wajar pada lereng kelud. Di lukisan ini objek gunung yang dilukis berada pada jarak yang cukup jauh. Maka, sapuan kasar yang terkesan tidak tuntas sesuai dengan impresi ketika melihat objek. Selain menggunakan kanvas, Djibal menggunakan medium kain keras, bahan yang sering digunakan untuk kerah baju. Pemilihan ini tampaknya untuk mencapai citra liris, lembut, dan sekaligus kesan kabur. Ini terlihat pada lukisan-lukisan Lembah Dieng, Kaki Sinambung, dan Kupang. Usaha ini menjadi sangat beralasan, karena sifat kain keras menyerap cairan warna cat dan menyebarkannya menjadi area warna yang lebar, sehingga tidak membentuk batas-batas tegas. Pada lukisan-lukisan Wakidjan, sapuan kasar dan goresan bertenaga tampil dengan warna-warna yang menantang: merah, hijau, dan juga kuning gading. Semuanya bersebelahan begitu saja tanpa perhitungan. Pelukis ini menampilkan 19 karya, kebanyakan lu kisan objek yang bersetuhan dengan alam pedesaan atau alam pantai. Hanya tiga karya yang membiaskan objek perkotaan seperti Ojek Payung, Puing dan Kampung Cina. Namun, ketiga karya ini pun tidak sampai menampilkan citra riuh sebagaimana layaknya kehidupan kota. Seperti halnya karya Djibal, karya-karya Wakidjan tidak menyentuh rinci obje yang dilukis. Terlihat, lebih mengutamakan keinginan mengungkapkan impresi visual melalui warna-warna dan efek cahaya yang terpantul. Permainan warna Wakidjan kadang-kadang menohok. Lihat, misalnya, Pemetik Teh Perahu Merah, Perempuan dan ikan, atau Marina. la sengaja menghadirkan warna merah yang dalam "bahasa mata" tidak pada tempatnya, tapi dalam "bahasa hati" menyiratkan keintiman pelukis dengan objeknya. Pada kala lain Wakidjan menorehkan aneka warna. Riuh, tapi tetap memberikan tekanan pada kesatuan yang hidup, seperti pada Perempuan dan dan ikan atau Pemuda dan Ayam, misalnya. Berbeda dengan Djibal, yang suka berdiskusi, penampilan Wakidjan sederhana "Saya cuma mengikuti naluri artistik, dan belum sampai pada kesimpulan," ujar pelukis yang ikut mendirikan perkumpulan Pelukis Matahari di Jakarta pada 1950-an, dan juga dikenal sebagai ilustrator. Kejujuran Wakidjan memang menunjuk kenyataan. Karya-karyanya terkesan hanya menyalurkan naluri artistik. Objek-objek lukisannya menunjukkan kecenderunga ini. Objek pada karya Djibal pun tidak jauh dari cakupan objek yang digarap rekannya. Sekitar alam pedesaan, pegunungan, atau pantai. Wajah alam yang puitis memang sering menjadi sumber cita rasa artistik. Diukur dari acuan "Jiwa Nampak", lukisan mereka masih kurang berjiwa. Kemampuan menangkap impresi, dan kemudian menghadirkannya kembali dalam bentuk kesan, memang upaya musykil. Apalagi menuangkannya dengan emosi yang bergetar. Namun, kedua pelukis menulis pada pengantar pameran, "Kami berdua tidak dalam posisi lebih baik daripada warna umum karya-karya seni rupa dewasa ini. S. Malela Mahargasarie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus