Undang-Undang Lalu Lintas ditangguhkan pelaksanaannya sampai tahun depan. Selaku insan Pancasila, saya bersyukur kepada Tuhan atas anugerah penangguhan-Nya itu. Siapa tahu dengan ungkapan syukur ini nikmat yang lebih besar akan dianugerahkan kepada kita, yakni peninjauan kembali UU itu sendiri, khususnya menyangkut soal tarif denda. "Jika kalian mensyukuri nikmat-Ku maka niscaya akan Aku tambahkan (kenikmatan lebih), " demikian firman Tuhan. Bagaimana dengan manusia, persisnya penguasa yang memangku hak membuat dan menegakkan undang-undang itu, apakah akan mengambil janji Tuhan yang Maha Pemurah itu pada dirinya? Apakah dengan terungkapnya perasaan lega di kalangan masyarakat, terutama masyarakat sopir, bapak-bapak kita itu akan terenyuh hatinya untuk meninjau kembali point-point dalam UU yang membuat orang kecil bertambah gelisah? Saya punya harapan, meski ada juga cemasnya. Sementara itu, kita berharap UU itu tidak sekadar ditangguhkan tapi ditinjau kembali sesuai dengan aspirasi dan kondisi riil (tingkat pendapatan) masyarakat sasaran. Ada sesuatu yang secara by product telah lahir dari kemelut UU Lalu Lintas itu. Para ahli makrifat menyebutnya "hikmah", sesuatu makna yang diselipkan Tuhan dalam suatu peristiwa, yang oleh pelakunya sendiri tidak disadari, bahkan boleh jadi tidak diinginkannya. Pertama, karena kandungan UU yang menakutkan rakyat, terutama lapisan bawah -- yang selama ini pasrah bongkokan terhadap hampir semua kerso dalem para penguasa -- telah dipaksa untuk berani berkata "tidak". Dengan kasus itu, rakyat kini mulai sadar bahwa kekuasaan memang tidak boleh dilepas begitu saja kepada para pemegangnya. Rakyat mulai sadar bahwa kedaulatan, yang menurut sumpah Proklamasi ada di tangan mereka, tidak boleh dibiarkan menganggur. Harus dimainkan. Pada saat-saat tertentu kemauan para penguasa boleh diiyakan tapi pada saat-saat lain boleh ditidakkan bila itu memang tidak sesuai, apalagi bertabrakan, dengan kemaslahatan mereka. Hikmah yang kedua, dengan UU yang mengundang kemelut itu semoga bapak-bapak yang di atas disadarkan pada kodrat kemanusiaannya. Yakni sebagai mahluk yang tidak selalu berbuat benar, bisa berbuat salah. Mitos feodal bahwa orang-orang terkemuka adalah dewa yang selalu berkata benar dan bertindak bijaksana harus ditinjau kembali dengan saksama. Justru orang-orang terkemuka, karena kekuasaan yang ada di tangannya, adalah orang-orang yang paling rentan pada godaan tiran. Hukum ini berlaku buat siapa saja tanpa memandang agama, keturunan, dan suku bangsanya - kecuali nabi. "Manusia benar-benar bisa menjadi tiran manakala merasa dirinya punya kedigdayaan, " demikian kata Quran surat Al Alaq: 6-7. Bentuk kedigdayaan yang paling nyata tentu saja kekuasaan. Tapi kekuasaan itu tidak bisa dihindari. Semua orang terlibat, baik sebagai subjek (para pemuka yang menguasai) maupun sebagai objek (rakyat yang dikuasai). Perbedaannya hanya kadar dan intensitasnya. Semakin tinggi semakin menguasai, semakin rendah semakin dikuasai. Sebab itu jalan untuk menghindari tirani kekuasaan tentu saja bukan dengan melenyapkannya. Juga bukan dengan cara menjadikan semua orang penguasa. Cara yang pertama tidak bisa terjadi, yang kedua berarti mencabik diri sendiri, anarki. Satu-satunya jalan untuk mencegah tirani kekuasaan, jika benar-benar diinginkan, adalah menegakkan kontrol dengan ma'ruf nahi munkar terhadap jalannya kekuasaan itu sendiri - secara terus-menerus tanpa henti. Yang paling berkompeten, baik secara politik maupun secara moral, untuk melakukan tugas ini pasti bukan para penguasa yang sedang menjadi subjek kekuasaan, melainkan rakyat yang sedang menjadi sasaran kerja kekuasaan. Kemelut UU Lalu Lintas sedikit banyak telah menyadarkan rakyat bahwa terhadap kekuasaan, mereka memang harus berbicara memainkan kedaulatannya. Puji Tuhan ! MASDAR F. MAS'UDI Jalan Cililitan Kecil 12 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini