Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak Rembrandt dan Degas yang Absen

Media monoprint yang antara dilupakan dan diingat dihadirkan di Grand Indonesia. Upaya meniupkan kesegaran, di tengah keserbabolehan masa kini.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Jakarta Art District, sebuah pameran mencoba ”menghidupkan” kembali monoprint. Dipamerkan 31 karya dari 14 seniman. Ada jarak 400 tahun bila dihitung sejak monoprint menjadi perhatian para pelukis sampai pameran yang dikuratori M. Dwi Marianto dari ISI Yogya ini.

Setidaknya dua perupa berutang pada monoprint, Rembrandt (1606-1669) dan Edgar Degas (1834-1917). Dari efek monoprint, Rembrandt mengasah kepekaan dan keterampilan melukiskan nuansa gelap-terang yang membawa karyanya diburu museum. Degas, yang terobsesi membuat gerak figur dalam lukisan, menemukan efek gerak dari monoprint.

Tapi monoprint itu sendiri, sebagai keluarga seni grafis, tak sepopuler senimannya, mungkin karena sering disalahpahami—termasuk oleh kolektor. Bahkan pada awal 1960-an, Milton Avery (1893-1965), salah satu dari tiga sekawan perupa kenamaan di masanya (Avery-Rudolph Gottlieb-Mark Rothko), memamerkan karya monoprint-nya tapi tak sebiji pun terjual. Beberapa pengulas seni rupa waktu itu mengatakan kolektor seni rupa masih mencari yang eksklusif dan tunggal, menganggap monoprint seperti karya grafis umumnya yang dicetak lebih dari satu. Baru kemudian karya monoprint Avery diburu sebagaimana karya cat air dan cat minyaknya.

Dan ini bukan terjadi dengan sendirinya. Pada 1968, seorang Amerika ahli sejarah seni rupa bernama Eugenia Parry Janis menyelenggarakan pameran 78 karya monotype, dan lebih penting daripada pameran itu, katalog pameran ini memuat 300 monotype Degas. Disusul beberapa tahun kemudian terbit buku tentang monotype: The Painterly Print: Monotypes from the Seventeenth to the Twentieth Century. Buku ini ditulis oleh empat ahli seni rupa. Salah satunya Eugenia Janis.

Dua peristiwa ini mengingatkan kembali karya monotype dan monoprint, dua media seni grafis yang sangat mirip, dan sering dirancukan, dan sesungguhnya dari sisi estetikanya tak berbeda. Perbedaan pokok hanya pada matriks. Matriks monotype hanya bisa sekali dipakai—gambar langsung berantakan, tak mungkin diperoleh hasil cetaknya. Sedangkan matriks monoprint masih menyisakan kerangka dasar, masih bisa digunakan untuk mencetak karya dengan kerangka gambar yang sama, namun perlu ”direvisi” dan ini sebenarnya berarti karya baru. Dan satu hal lagi, setelah diperoleh hasil cetak, baik karya monotype maupun monoprint dihalalkan untuk ”dilanjutkan” oleh senimannya sesukanya—dari hanya mencoret-coret dengan cat atau pensil atau apa pun sampai menambah kolase dari apa pun.

Dengan bekal seperti itulah ulasan tentang pameran yang dibuka Sabtu pekan keempat Maret lalu itu ditulis. Secara keseluruhan, kesan monoprint memang terasa. Tak terbayangkan seandainya senimannya ingin mencetak karyanya lebih dari satu. Bisa dikatakan, semua karya tersaji dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan kecermatan, dan sangat kompleks. Ini jauh berbeda dengan, misalnya, karya grafis cukil kayu. Betapa rumit karya cetak cukil kayu, untuk mencetak lebih dari satu karya tidaklah susah benar.

Coba cermati dua karya Irwanto Lentho. Seniman satu ini suka bercerita, karyanya seolah ilustrasi sebuah buku cerita anak-anak. Rhythm of the Elephant Year dan Santa’s Daughter mengandung kisah karena seolah gambar monoprint ini merupakan sebuah adegan dari sebuah peristiwa yang berlangsung. Ada gemuruh kereta berlari ditarik dua gajah, ada seorang gadis di kereta yang seperti sedang berceloteh.

”Kesimpulan” itu merupakan pengikat ketika dalam diri kita muncul empati, ikut merasakan dan bergerak bersama garis-garis rumit yang melingkar-lingkar, gerak gajah yang perkasa, atau daun beterbangan. Dan warna-warna yang membuat karya ini tak terasa datar. Sungguh rumit dan sulit untuk mencetak karya kedua dari matriks yang sama.

Teoretis, mencetak karya kedua bisa dilakukan. Namun derajat kesulitan untuk memperoleh garis-garis dan warna yang sama rasanya hampir mustahil. Tampaknya, hanya hasil cetak pertama yang mulus secara teknis dan gagasan sesuai dengan yang diharapkan senimannya—begitu kata para ahli seni grafis. Bila ada karya kedua dari matriks yang sama, lazimnya berantakan dan karena itu dalam bahasa Inggris disebut ghost, hantu, atau mungkin lebih tepat bayangan (dari karya pertama). Dengan ”revisi” tentu bisa, namun hasilnya adalah karya yang baru, bukan lagi karya ”kedua” sebagaimana karya grafis cukil kayu, misalnya.

Contoh yang bagus adalah dua karya A.T. Sitompul, Apa Tujuanmu dan Yakinlah dan Apa Tujuanmu dan Yakinlah II. Sebuah bentuk piringan dengan garis-garis melingkar mengikuti tepi piringan, teratur makin ke pusat makin kecil. Ini seperti garis arsir. ”Di bawah” garis-garis itu adalah ornamen, berbentuk seperti pohon cemara, atau layar perahu atau entah apa (terserah imaji Anda). Namun kedua karya ini beda warna, dan pada Apa Tujuanmu dan Yakinlah II, ada tambahan bentuk bujur sangkar yang berlubang lingkaran.

Saya kira A.T. Sitompul tak sekadar memberi warna lain agar karyanya disebut monoprint—seandainya dia mencetak dari matriks yang sama. Soalnya, memang hampir mustahil memperoleh hasil cetak kedua dengan kualitas garis dan warna yang sama.

Dua ini menurut saya merupakan contoh yang kuat di antara karya-karya dengan teknik cukilan kayu atau hardboard. Ada memang karya Sutrisno berupa figur bapak dan anak, dan ibu dan anak yang mulutnya dimencongkan. Dan satu karya lelaki dengan ular dan sesuatu seperti mesin, dan pertarungan singa dan naga. Ada juga dua karya Teguh Hariyanta yang bercerita tentang dunia binatang, dan satu karya menyindir pemimpin yang suka bohong: hidungnya memanjang seperti Pinokio. Juga dua karya tentang dunia binatang dari Daniel Cahya Krisna.

Yang derajat kerumitannya tak senjelimet karya-karya itu adalah Mencukil Miyabi dari Andre Tanama. Juga karya komikal Ariswan Adhitama.

Kemudian beberapa karya cetak saring atau sablon. Karya Agus Yulianto yang sangat ”biasa”—bernada satu warna, hijau, menggambarkan tangan menghubungkan colokan kabel. Lalu dua karya Sri Maryanto yang mengesankan cukil kayu meski ternyata dua karya metafor tentang watak rakus dan kekejaman manusia ini dibuat dengan teknik sablon juga. Dua karya Syaiful Aulia Garibaldi yang bernada hijau menemani karya Sitompul: karya nonfiguratif di tengah-tengah karya-karya yang berkisah. Dua karya Sigit Purnomo Adi saya kira terilhami bentuk figur animasi Jepang. Dan dua karya Francisco Panca Nugraha yang komikal.

Dua karya lagi adalah pelesetan Mona Lisa karya Theresia Agustina Sitompul, Mono Lisa, dan Penggali Cetakan Tubuh Bumi Tisna Sanjaya. Theresia mencoba memakai benang sebagai pembentuk gambar. Dan Tisna menggunakan tubuhnya sebagai matriks. Ini saya kira bukan karya terbaik Tisna. Dan cetak benang Theresia rasanya perlu lebih digarap.

Bagaimanapun inilah upaya menghidupkan kembali monoprint, apa pun niat di balik Andi’s Gallery sebagai penyelenggara. Di lift Grand Indonesia, mal tempat Jakarta Art District berada, di samping saya terkesan oleh kepiawaian para pegrafis yang menghasilkan monoprint itu, rasa ingin bertemu dengan yang mengejutkan sebagai penggalian media monoprint tak tertemukan. Pada zaman ketika segalanya boleh, tuntutan rasanya semakin berat: menemukan hal yang tak terduga—entah tekniknya, entah gagasannya. Mungkin pameran ini baru sebuah awal, yang memang berbeda namun belum berkesan. Ini belum seperti Rembrandt dan Degas yang menggali berbagai kemungkinan monoprint sampai mereka dikatakan berutang pada media satu itu.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus