Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kubus kayu tergeletak di salah satu sudut ruang Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Setiap sisinya, yang berukuran 90 sentimeter persegi, berisi gambar cukil kayu yang menuturkan kisah kunjungan malaikat pencabut nyawa bersabit raksasa ke sebuah makam yang rimbun oleh semak dan buah labu.
Di tiga dinding sekelilingnya terpajang enam lukisan sebagai ”hasil cetakannya”. Semua lukisan itu dalam warna hitam dan berlatar cokelat kayu. Tiga pelajar sekolah dasar membaca kalimat-kalimat yang tercantum di setiap lukisan itu dengan antusias pada Kamis siang dua pekan lalu. ”Sebuah nama telah terkubur di sini,” kata seorang pelajar membaca satu lukisan. ”Pip... pip.... Selalu terasa sakit dan terasa sakit,” kata pelajar lain yang terbata-bata mengeja teks di satu lukisan yang sebagian memang sukar dibaca.
Kanvas keenam dari seri lukisan itu menonjolkan sebuah nisan bertulisan ”DT”, yang tampaknya inisial dari nama pelukisnya, Daniel ”Timbul” Cahya Krisna, peraih Academy Art Award #2 untuk seniman muda di bidang percetakan dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Jogja Gallery pada 2008. Instalasi Kematian Sebuah Nama ini terpajang bersama karya-karya 22 seniman lain dalam pameran seni rupa The Comical Brothers yang digelar Andi’s Galeri di Galeri Nasional Indonesia, 22-30 Maret lalu.
Di sudut lain ruang pamer itu terbentang sebuah instalasi studio kerja komikus. Instalasi yang digarap Beng Rahadian itu menata sebuah meja kaca, sekaleng kuas gambar, telepon selular, dan pemutar cakram digital (buat hiburan, bukan menggambar), dua jilid draf buku komik di map plastik, dua jilid komik wayang karya Saleh Ardisoma, dan dinding yang ditempeli beberapa poster pameran komik dan gambar Lotif, tokoh komik karya Beng yang muncul rutin di Koran Tempo.
Di dinding sebelah lain terpajang beberapa komik strip Sukribo karya Ismail Sukribo. Ismail juga memamerkan tokoh Sukribo dalam lukisan, seperti Saijah dan Kerbaunya, pelesetan dari adegan puncak kisah Saijah dan Adinda dalam Max Havelaar karya Multatuli, yang menggambarkan seekor kerbau dengan mata marah berusaha melindungi Sukribo yang dikerubuti marsose VOC.
Pameran ini menjadi semacam kaleidoskop komik indie sejak era 1990 dan kedua instalasi itu seakan mewakili dua sisi perkembangannya. Yang satu dari generasi muda, yang satu lagi dari generasi yang lebih senior. Yang satu bertahan di buku komik atau komik strip, yang lain menari di jalur seni rupa.
Para peserta pameran ini adalah komikus aktif dari generasi muda seperti Timbul dan Dani Yuniarto, hingga yang lebih tua seperti Anto Motulz, Athonk, Ugo Untoro, Pidi Baiq, dan Popok Tri Wahyudi. Mereka berasal dari dua kampus seni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Di dua kampus itulah arus liar komik indie berhulu pada era 1990 dan sebagian masih bertahan hingga kini. Pada masa itu dunia komik yang sempat mati suri dihidupkan lagi berkat kemunculan beberapa kelompok seperti Core Comic, yang menerbitkan kompilasi komik seniman ISI, termasuk Komik Selingkuh dan Komik Anjing; Qomik Nasional di Bandung, yang melahirkan Kapten Bandung dan Caroq; dan seniman yang membikin dan mengedarkan sendiri komiknya, seperti Athonk dengan Bad Times Story.
Belakangan gerakan itu menggumpal pada beberapa kelompok, termasuk Apotik Komik, yang digagas Bambang ”Toko” Witjaksono, kurator pameran ini. Salah satu yang masih aktif hingga sekarang adalah Eko Nugroho dengan Dagingtumbuh, buku kompilasi komik yang terbit setiap enam bulan sekali sejak Juni 2000. Kini Dagingtumbuh sudah mekar dan berbuah DGTMB Shop dan Dagingtumbuh Art Project di Yogyakarta. Dalam pameran ini Eko memamerkan foto-foto besar suasana DGTMB Shop dan beberapa edisi lama Dagingtumbuh.
Semangat komik indie dapat dilihat dari Dagingtumbuh. Keunikan dari komik ini adalah jumlah edisinya yang terbatas, sekitar 150 eksemplar, dan diperbanyak dengan fotokopi. Kalau kehabisan, siapa pun boleh membajaknya. ”Kami mempergunakan media fotokopi sebagai hal yang adiluhung, karena fotokopi telah ikut memajukan pendidikan dan taraf hidup masyarakat banyak, meskipun itu lewat buku-buku bajakannya dan skripsi-skripsi bodongnya,” kata Eko.
Isinya pun beragam, baik teknik gambar maupun cerita, karena ia boleh dikata tidak disunting dan tidak pula membatasi kontributornya pada ahli komik. Bagi Dagingtumbuh, ”Siapa pun bisa terkenal dalam 5 menit (seketika setelah proses fotokopi selesai),” kata Eko.
Dalam Dagingtumbuh edisi 12, misalnya, ada Dargombez the Magician karya Bambang Toko yang bergambar makhluk-makhluk ganjil dan garis-garis seadanya, tapi ada pula Layang-layang Putus Benang karya Alim Bakhtiar yang mirip komik populer yang biasa kita jumpai di toko buku. ”Pertemuan gaya-gaya visual itu melahirkan sebuah generasi yang ’eklektis’ dengan mencampur-campurkan semua pengaruh yang disuka, generasi yang melahirkan budaya hibrid,” tulis Beng di sebuah draf komik yang dipajang di instalasinya.
Menurut Toko, pameran ini hendak mengkritik dunia kesenian dalam dua arah. Pertama, kepada tren ”lukisan komikal” yang merebak sejak ledakan lukisan di bursa seni rupa Indonesia pada 2007, meski sudah muncul pada dekade sebelumnya. Karya mereka menyuguhkan lukisan di atas kanvas yang meminjam unsur-unsur komik, kira-kira mirip dengan apa yang dilakukan Roy Lichtenstein dan Andy Warhol ketika mempopulerkan seni pop di Amerika Serikat beberapa dekade lalu. Masalahnya, ”Para ’pelukis komikal’ itu tak jelas akar dan spirit komiknya,” kata Toko.
Kritik kedua ditujukan bagi para komikus indie sendiri. ”Para seniman agar tetap menyadari bahwa komik atau buku komik hanyalah salah satu media ekspresi dalam jenis kesenian ini,” kata Toko, seraya menunjukkan media lain seperti kanvas, instalasi, dan kaus.
Perkembangan para seniman komik ini, menurut Toko, cukup menggembirakan. Tekniknya semakin matang karena jam terbang yang tinggi, meski kemampuan para seniman muda tentu perlu diasah terus. ”Terjadi pengentalan karakter, teknik, dan isi pada karya mereka. Bahkan mereka tak lagi membahas masalah teknik, tapi media dan tema,” katanya.
Pameran ini menjadi sekelebat pedang ganda yang menyerang pasar seni rupa dan komikus indie sekaligus. Sekelebat karena waktunya yang pendek dan pengaruhnya yang belum terlihat. Kita tak tahu apakah sabetan pedang itu akan menggugah keduanya atau tidak, karena spirit indie dimulai dari gerakan sekelompok kecil orang yang menular ke orang-orang lain secara tak terduga.
Spirit itu masih dipelihara beberapa kelompok, seperti Dagingtumbuh, yang menularkan cara bertutur lewat komik ke para korban lumpur Lapindo di Jawa Timur, pelajar sekolah dasar dan anak-anak penghuni lembaga pemasyarakatan anak. Penularan itu mungkin akan terlihat hasilnya beberapa tahun nanti.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo