Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rangkaian drama kekerasan dan teror ”berbendera jihad” belakangan ini menampilkan sejumlah sosok yang terkait dengan konflik komunal-agama di Ambon dan Poso, antara lain Abu Tholut dan Abdullah Sunata. Apa sesungguhnya kaitan mobilisasi jihad di Indonesia timur itu dengan rentetan aksi terorisme mutakhir?
Jihad sebagai ”panggung”
Periode awal transisi menuju demokrasi di Indonesia telah menyediakan panggung istimewa bagi gerakan islamis: letupan konflik komunal-agama di Ambon dan Poso pada 1999-2000 telah melahirkan mobilisasi masif ribuan muslim untuk terlibat dalam gerakan ”perang suci” (jihad). Lebih dari 5.000 aktivis muslim menggabungkan diri dalam gerakan tersebut melalui berbagai jaringan gerakan Islam. Keterlibatan mereka memberi andil yang tak kecil terhadap dinamika konflik: situasi yang awalnya cukup berimbang bergeser ke arah keunggulan relatif kelompok muslim.
Perundingan damai lalu sukses digelar di dua kawasan Indonesia timur itu, berbuah Perjanjian Malino I untuk Poso (Desember 2001) serta Malino II untuk Maluku (Februari 2002). Ketika api konflik meredup, sejumlah besar milisi jihad non-lokal itu meninggalkan lokasi, kembali ke kampung halaman masing-masing. Sejumlah kecil dari mereka memutuskan menetap di kawasan pascakonflik itu. Lalu, apa yang terjadi dengan para (mantan) ”mujahidin pendatang” itu seusai mobilisasi jihad?
Tulisan ini secara ringkas mencoba menggambarkan dinamika kelompok-kelompok ”mujahidin pendatang” pada periode pascajihad. Mengikuti perkembangan mutakhir teori gerakan sosial, tulisan ini mencoba menilik gerakan jihad di Tanah Air melalui pendekatan passionate politics (politika bergelora) yang dipelopori Jeff Goodwin dkk. (2001), yang mengamati dinamika identitas dan emosi dalam narasi gerakan sosial. Lebih spesifik lagi, tulisan ini mencoba mencermati dinamika para aktor dengan mempelajari narasi biografisnya.
Mengapa ”pascajihad”?
Konflik komunal-agama di Ambon dan Poso merupakan drama sosial kolosal tanpa preseden dalam sejarah Republik Indonesia modern. Sebuah ”perang agama” yang melibatkan ribuan warga dari dua komunitas agama, Islam dan Kristen, berumur panjang dalam beberapa babak konflik, menewaskan ribuan korban dari kedua pihak, serta ratusan ribu warga terpaksa mengungsi. Sudah cukup banyak riset mengenai proses mobilisasi dan dinamika konflik tersebut, antara lain oleh Kirsten Schulze (2002) dan Noorhaidi Hassan (2006), dengan berfokus pada Laskar Jihad. Sementara sejumlah laporan International Crisis Group (ICG) banyak memberi perhatian kepada jejaring Jamaah Islamiyah (JI) dan anak-pinak gerakan Darul Islam (DI).
Cukup langka studi yang menyoroti periode pasca-konflik, atau tahap demobilisasi, apalagi yang memfokuskan diri pada berbagai jejaring aktor nonlokal. Untuk mengisi celah kosong itulah saya menulis disertasi mengenai periode ”pascajihad” atau ”after jihad”.
Apa yang menarik, dan apa manfaat, sebuah studi mengenai ”pascajihad”? Sekurangnya dua hal. Pertama, mengetahui dampak dan pengaruh keterlibatan dalam mobilisasi jihad, baik bagi individu aktornya maupun terhadap jejaring gerakan Islam di mana mereka terlibat, juga terhadap masyarakat pada umumnya. Kedua, mengetahui dan membandingkan pola aktivitas pascajihad dari berbagai jejaring gerakan Islam yang melakukan mobilisasi jihad.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui di mana para ”alumni” jihad itu kini tinggal. Yang ditemukan: mereka kini hidup tersebar, sebagian besar kembali ke kampung halaman atau berpindah ke kota lain, hanya sejumlah kecil yang menetap di daerah (pasca)-konflik. Karena itu, jurus pertama dalam melakukan riset mengenai ”pascajihad” adalah: mengikuti arus dan jalur kehidupan para aktor. Baik di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, juga di kota menengah seperti Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan, maupun dusun terpencil di Pulau Seram serta kampung terkucil di kota kecil Poso, Sulawesi Tengah. Baik yang kini menjadi petinggi partai politik, maupun sebaliknya meninggalkan panggung politik, yang drop out kuliah, atau yang kini jadi narapidana dan hidup di balik jeruji besi. Melalui teknik snowballing untuk menemukan mereka, lalu melakukan wawancara life-history, dikumpulkan cerita dari para informan mengenai tiga episode kehidupan mereka: sebelum, ketika, dan sesudah pengalaman mereka berjihad.
Siapa mujahidin pendatang?
Ternyata ada berbagai jejaring gerakan Islam yang terlibat dalam mobilisasi jihad dalam konflik di Indonesia timur. Saya membedakannya ke dalam tiga varian gerakan Islam: jihadi, saleh, dan politis. Aktivis Islam jihadi adalah mereka yang memeluk ideologi yang membenarkan penggunaan kekerasan dan teror dalam rangka jihad (jihadisme), umumnya dengan tujuan politik menegakkan negara Islam. Termasuk dalam varian ini Jamaah Islamiyah (JI) dan berbagai sub-varian gerakan DI/NII (Darul Islam/Negara Islam Indonesia). Aktivis Islam saleh adalah mereka yang tidak bertujuan meraih kekuasaan politik, tapi memfokuskan diri untuk menjaga ”kemurnian” moral dan identitas keislaman khususnya dari pengaruh kekuatan non-muslim. Kelompok Salafi-Wahabi merupakan contoh penting varian ini dengan Laskar Jihad merupakan representasi terpentingnya.
Aktivis Islam politis adalah mereka yang terlibat dalam proses politik, baik secara langsung maupun tidak, menerima dan bergerak dalam kerangka konstitusi negara serta secara umum menerima (atau sekurangnya bersedia ”bermain” dalam) sistem politik demokrasi. Termasuk dalam varian ini adalah para aktivis partai politik Islam, juga kelompok milisi islami semacam FPI.
Hal menarik lain yang ditemukan dalam studi ini adalah adanya ”pola” jalur kehidupan pascajihad di antara ketiga varian gerakan Islam di atas. Dari narasi 10 informan (diseleksi dari 21 yang dikumpulkan selama riset lapangan) ditemukan adanya pola sebagai berikut:
l aktivis Islam jihadi berkecenderungan melanjutkan perjalanan hidupnya dengan terus melibatkan diri dalam aktivisme kelompoknya, dengan terlibat dalam aksi terorisme pasca-periode jihad di Ambon atau Poso. Sebagian dari mereka kemudian mengenyam pengalaman di penjara.
l aktivis Islam saleh berkecenderungan bergabung lebih intens dalam kelompoknya, dengan menetap di ”kantong permukiman” kaum Salafi, baik di kampung halaman maupun di wilayah (pasca)-konflik. Mereka menolak dan secara tegas menentang aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok jihadi; juga menolak terlibat dalam proses dan praktek politik elektoral seperti dilakukan aktivis politis.
l aktivis Islam politis berkecenderungan terlibat lebih jauh dalam proses dan praktek politik di wilayah masing-masing, bahkan memainkan peran lebih besar di kancah politik lokal. Bagi aktivis Islam politis, pengalaman berjihad telah memberikan emblem khusus kepada mereka dengan seolah menyematkan badge spesial sebagai: ”alumni jihad”. Emblem khusus ini menerbitkan respek dan apresiasi di kalangan sejawatnya dan memberi peluang besar ke arah promosi dalam kepemimpinan gerakan.
Apa pelajaran dari pascajihad?
Pelajaran penting pertama: para aktivis jihad (di Ambon dan Poso) ternyata tidaklah berasal dari jejaring dan digerakkan oleh ”ideologi” tunggal. Variasi jejaring dan ideologi gerakan selanjutnya tecermin pada variasi trayek kehidupan pada periode pascajihad. Meski secara penampilan fisik sulit membedakan kalangan aktivis jihadi dengan aktivis saleh (lazimnya sama-sama berjenggot, bercelana cingkrang, berbaju gamis, dan berpeci haji), trayek kehidupan mereka sangat berbeda.
Bagi aktivis Laskar Jihad, misalnya, gerakan jihad mengalami tutup buku (setidaknya untuk sementara) ketika muncul fatwa ulama Salafi terkemuka yang menyatakan kewajiban berjihad telah berakhir. Namun, bagi aktivis jihadi, periode ”pascajihad” sesungguhnya tak dikenal karena bagi mereka kewajiban berjihad belum berakhir. Buahnya, kedua kelompok acap terjatuh dalam seteru. Sejumlah eks aktivis Laskar Jihad, umpamanya, menyuarakan perlawanan terbuka terhadap doktrin ”jihadisme” yang dianut oleh para aktivis jihadi.
Mantan Wakil Panglima Laskar Jihad di Ambon, Luqman bin Muhammad Ba’abduh, misalnya, menulis sebuah buku 748 halaman bertajuk Mereka Adalah Teroris, Sebuah Tinjauan Syariat, yang diterbitkan pada 2005 oleh Pustaka Qaulan Sadida. Dalam buku itu, Ba’abduh mengulas dan mengkritik secara tajam dan terperinci kesalahan-pikir Imam Samudra, pemimpin operasi Bom Bali I, dalam bukunya Aku Melawan Teroris (terbit 2004 oleh Pustaka Kafayeh). Merespons tanggapan dan kritik terhadap bukunya yang ditulis oleh Abduh Zulfidar Akaha berjudul Siapa Teroris? Siapa Khawarij? (2006), Ba’abduh menerbitkan buku tanggapan berjudul Menebar Dusta, Membela Kaum Khawarij pada 2007.
Pelajaran kedua: konflik Ambon dan Poso, yang telah menjadi ajang bagi mobilisasi gerakan jihad terutama pada 2000-2001, telah menghadirkan berbagai dampak sosial-politik signifikan yang jauh melampaui dimensi konflik lokal yang terjadi di sana. Ringkasnya: konflik lokal yang meletup di dua wilayah tersebut telah menjadi basis bagi ”jihad global” dari berbagai gerakan Islam di Indonesia—bahkan juga dari lintas negara.
JI, misalnya, telah memanfaatkan momentum gerakan jihad itu untuk meluaskan pengaruhnya hingga ke sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah: Poso. Adapun gerakan Salafi-Wahabi telah mengembangkan sayap gerakannya hingga jauh di pedalaman di Jazirah Seribu Pulau: Maluku. ”Ambon kini menjadi ’ibu kota’ gerakan Salafi di Indonesia timur,” demikian tutur seorang pentolan gerakan Salafi di Ambon kepada penulis, dengan penuh percaya diri. Varian gerakan Islam politis juga telah melahirkan generasi baru ”alumni jihad” Ambon atau Poso yang mengisi papan atas di barisan gerakannya, seperti paling tidak saya temukan di Solo, Pekalongan, dan Maluku.
Pelajaran terakhir dari studi pasca-jihad, mungkin, adalah: bersiaplah untuk menghadapi kenyataan bahwa, bagi sebagian kalangan, jihad sebenarnya tak pernah sungguh-sungguh usai. Jika sejumlah prasyaratnya terpenuhi, ”periode jihad” itu akan kembali tiba....
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Baru saja merampungkan disertasi di Universitas Amsterdam berjudul After Jihad: A Biographical Approach to Passionate Politics in Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo