Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
We are against this war, Mr. Bush. Shame on you, Mr. Bush. Shame on you!" teriak Michael Moore di panggung Oscar bulan lalu. Suara keplok dan cemoohan berbarengan menyambut Moore. Dunia bertanya, siapa pria ini. Malam itu pria kelahiran Michigan 49 tahun lalu itu menjadi lema yang paling banyak dicari di Internet. Ia juga menjadi komentator pertama yang tidak berpangkat jenderal yang diwawancarai CNN saat invasi AS ke Irak dimulai.
Moore bukanlah aktivis kagetan. Ia mengenal dan dikenal keluarga Bush secara pribadi. Saat ia menggarap film Roger & Me, juru kameranya adalah Kevin Rafferty, yang tak lain sepupu Presiden Bush. Hubungan dekatnya dengan Rafferty tak menghalanginya menyerang Bush secara terbuka. Buku karya Moore berjudul Stupid White Men, yang terbit April 2002, menguliti sepak terjang keluarga Bush. Dalam bagian pertama, ia memaparkan bagaimana secara kasar Bush melakukan kudeta terhadap pemerintah Amerika lewat pemilu yang tak jujur di Florida, negara bagian yang jadi penentu kemenangan Bush atas Al Gore.
Menurut Moore, yang terjadi adalah kejulikan tiada tara. Gubernur Jeb Bushadik George W. Bushmenerapkan aturan bahwa orang yang pernah tersangkut tindak kejahatan tak punya hak pilih. Pelarangan ini termasuk pelanggar ringan karena kelamaan parkir. Gilanya lagi, orang yang namanya hampir sama juga tak boleh memilih. Akibatnya, puluhan ribu warga kulit hitam dan Hispanikyang kebanyakan Demokrattak bisa memberikan suara. Suara anggota militer di luar negeri yang keabsahannya diragukan juga dengan otomatis masuk kantong Bush.
Puncaknya, ketika penghitungan suara belum usai dan Gore sedang unggul, saluran Fox yang dipimpin John Ellis, sepupu Bush, mengumumkan kemenangan calon dari Republik itu. Karena tak mau ketinggalan, saluran televisi lain langsung membebek. Sidang Mahkamah Agung untuk mengakhiri perdebatan juga dipegang oleh para hakim yang pro-kubu Republik. Lengkap sudah. Makanya, Gore meminta PBB mengirim pasukan untuk menciduk para pelaku kudeta ini.
Jangan salah sangka, Moore tak memilih Gore. Ia juga mengkritik Gore, dan menghajar pemerintahan Demokrat di bawah Bill Clinton yang penuh dusta. Hebatnya, semakin Moore marah, semakin kocak pula tulisannya.
Buku Stupid White Men sebenarnya hampir gagal beredar. Pada 10 September 2001, 50 ribu kopi sudah selesai cetak. Keesokan harinya, tragedi 11 September terjadi. Penerbit ReganBooks meminta Moore bersabar karena menimbang perasaan publik. Namun, yang terjadi kemudian, Moore diminta menghilangkan bagian Dear George dan Kill Whitey dengan imbalan tambahan US$ 50 ribu. Ia menolak, tapi tak berdaya karena terikat kontrak. Tak kurang akal, ia mulai bergerilya membacakan bukunya dalam acara-acara publik. Regan diprotes telah melakukan penyensoran terhadap kebebasan berpendapat.
Tak tahan dengan gelombang protes, akhirnya Regan memutuskan menerbitkan buku itu, tapi dengan perjanjian tak ada promosi. Dalam hitungan jam, 50 ribu buku langsung ludes. Pada hari kelima, buku itu telah mencapai cetakan kesembilan. Saat ini Stupid masih nangkring di urutan buku terlaris selama 46 minggu.
Dalam bagian epilog buku tersebut, Moore menulis, bagian terburuk dari memiliki presiden yang tidak sah adalah barangkali saat krisis nasional terjadi. Kepentingan siapa yang ia wakili? Dengan invasi AS ke Irak saat ini, pertanyaan Moore tampaknya telah jelas terjawab.
YAP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo