Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jibril ala Jamal

Jamaluddin Latief memonologkan naskah surealis Danarto tentang malaikat Jibril di Festival Teater Jakarta. Diseret ke kontekstual.

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENAKAN jas, malaikat itu tampak gagah. Keren. Dua sayap terkembang di punggungnya. Ia memakai sepatu bot dengan alat beroda di kaki yang bisa maju-mundur. Lalu ia berputar-putar di panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Itulah Jibril versi Jamaluddin Latief. Terasa modern sosoknya.

Kemunculan Jibril urban ini didahului rekaman suara Jamal yang membacakan alinea pertama cerita pendek Danarto, Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat: Akulah Jibril, malaikat yang suka membagi-bagikan wahyu. Aku suka berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon bergoyang: itulah aku....

Adalah tantangan memonologkan cerpen surealis Danarto dari kumpulan Adam Marifat ini. Danarto menceritakan malaikat Jibril yang, setelah memberikan wahyu kepada para nabi, terbang melayang-layang. Di atas sebuah sekolah, ia melihat siswa-siswa yang pikirannya mampet. Ia ingin memberikan kesegaran pada otak mereka. Ia membuat genting-genting sekolah jatuh sendiri. Lubang menganga di atap dan sinar matahari masuk. Guru-guru serta murid heran. Dan menyuruh tukang kebun membersihkan.

Cerpen Danarto semuanya dinarasikan dari sudut pandang malaikat. Kekuatan Danarto, ia mampu menyajikan tema spiritual dengan cara penglihatan baru yang tak terduga dan sering dibumbui humor. Pekerjaan Jibril adalah memberikan wahyu. Sampai hari ini mungkin bagi Danarto, Jibril terus menjatuhkan wahyu. Juga kepada anak-anak. Tentu bukan wahyu dengan W besar seperti yang diberikan kepada nabi-nabi, tapi semacam percikan "insight" kecerdasan atau semacam itu.

Namun sutradara Ibed Surgana Yuga bertendensi mengkontekskan kisah sureal Danarto ini. Ia tak bertahan pada sudut pandang malaikat. Desi Puspitasari, penulis skenario, memanjangkan naskah asli Danarto. Porsi tukang kebun diperbesar. Dibuat adegan tersendiri. Kalimat Danarto ditambah-tambahi. Jamal memainkan malaikat sekaligus tukang kebun dan guru.

Tapi adegan tukang kebun cenderung klise. Tukang kebun itu merasa bermimpi didatangi Jibril. Dalam ruangannya, ia menghadap televisi usang menyaksikan sidang seorang koruptor. Ia bersungut-sungut. Ia memohon-mohon malaikat agar tak ada korupsi lagi di sini. Cara berakting, logat, cengkok, dan celetukan Jamal khas ala Yogya. Baik tatkala menjadi malaikat maupun tukang kebun ia menyentil-nyentil situasi terbaru.

Sedari awal "Jibril" berusaha mendekatkan dirinya dengan isu-isu aktual. Bahwa dirinya bukan malaikat dari golongan mereka yang selalu merasa suci dan benar sendiri. "Tapi bisa-bisa ini dipandang penistaan agama," katanya. Toh, lelucon itu tak cukup mengundang tawa penonton. Yang terasa juga adalah antara malaikat, tukang kebun, dan guru semua dimainkan Jamal tanpa ada perbedaan intonasi dan artikulasi suara. Ia los saja memainkan karakter ketiganya.

Tantangan lain sebenarnya adalah skenografi. Cerpen ini memiliki potensi visual panggung. Adalah menarik membayangkan genting berjatuhan sendiri. Lalu sorot wahyu halus mengembus ruang kelas. Peluang ini yang tak dikembangkan. Visual baru menarik tatkala di akhir sang tukang kebun memasang jaring besar di panggung.

Dalam cerpen Danarto, tukang kebun berjanji, bila mampu menjaring Jibril, ia akan merenggut sayapnya, sehingga Jibril tak bisa terbang lagi. Dan, tatkala Jibril tersangkut di jaring, anak-anak membentuk lingkaran. Mereka bergerak, bergandengan tangan sembari menyanyi-nyanyi. Mereka tidak takut. Cerpen Danarto seolah-olah mengingatkan kita bahwa di perdesaan Jawa, sehari-hari permainan anak pun akrab dengan "dunia sana", seperti jelangkung dan nini thowok. Jibril sendiri dalam cerpen hanya tersenyum melihat reaksi anak-anak. Mana bisa dia dijaring? Dia hanya ingin membahagiakan anak-anak.

Soalnya, adegan jaring yang disajikan Ibed ini kurang memunculkan imaji kegembiraan murid-murid. Padahal ini inti cerpen yang fantastis. Di akhir, Jamal memainkan malaikat dan tukang kebun silih berganti. Ia keluar-masuk jaring. Memang menarik adegan Jibril berpura-pura tak bisa lepas dari jeratan. Sementara itu, tukang kebun kaget dengan tangkapannya. Cukup berhasil Jamal sendirian mengeksekusi ini. Tanpa suara anak-anak yang girang, bersorak-sorai, merasa mampu menangkap Jibril. Klimaks masih lebih imajinatif dalam cerpen.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus