Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seorang Lelaki tanpa Nama

Karya terbaru duo sutradara Kimo dan Timo yang kini memasuki genre film laga. Aroma film The Raid tetap terasa.

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEADSHOT
Sutradara: Kimo Stamboel, Timo Tjahjanto
Skenario: Timo Tjahjanto
Pemain: Iko Uwais, Julie Estelle, Chelsea Islan, David Hendrawan, Sunny Pang, Zack Lee, Yayu Unru
Produksi: Screenplay Infinite Films

SEORANG lelaki tanpa nama terdampar di pinggir pantai. Hingga ia dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma, tak ada yang berhasil mengetahui identitasnya atau keluarganya. Bahkan, ketika bangun, lelaki ini mengalami amnesia. Karena kepala yang menyimpan sebutir peluru, dia juga tak tahu namanya sendiri. Dokter muda cantik, Ailin (Chelsea Islan), yang senang membaca, lantas memberi dia nama agar mereka bisa berkomunikasi. Ishmael…, demikian Ailin memberi nama bagi si pemuda tanpa nama itu, yang diambil dari tokoh pencerita dalam novel terkemuka Moby Dick karya Herman Melville.

Untuk beberapa saat, baik para tokoh maupun penonton sama-sama dibangun keingintahuan, siapakah sesungguhnya pemuda tampan yang babak-belur ini, apa latar belakangnya, apa penyebab benturan di kepalanya yang membuat dia lupa segala yang terjadi padanya. Tak banyak waktu menebak-nebak, layar lebar itu diterkam. Tiba-tiba saja muncul macam-macam pembunuh yang mengejar-ngejar Ishmael habis-habisan. Jadilah Ishmael dan Ailin berlari-lari seperti Jason Bourne—yang sepanjang film mencoba mengingat-ingat siapa dirinya—sambil berkelahi di sana dan di sini, di dalam bus, di luar bus, di pinggir pantai, hingga ruang-ruang sempit di dalam penjara.

Belakangan, secara perlahan-lahan kita mengenal siapa Ishmael dan kepala geng mana yang tengah mengejar-ngejarnya dan siapa yang meletakkan peluru di kepalanya. Kita berkenalan dengan Lee (Sunny Pang), yang muncul dengan baju hitam sembari menenteng sebungkus mi goreng. Déjà vu?

Tentu saja. Banyak sekali elemen dalam film ini yang sangat mengingatkan kita pada film The Raid. Adil atau tak adil, tak mudah untuk memisahkan kemiripan film ini dengan The Raid (Gareth Evans). Sebetulnya Headshot menampilkan cerita yang tak kalah unik dengan koreografi yang spektakuler, terutama beberapa menit yang panjang di atas bus. Tapi tetap saja, karena kebetulan Iko Uwais yang juga muncul dalam trilogi film laga karya Gareth Evans, agak sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan film-film Evans yang tak hanya menggebrak Indonesia, tapi juga Hollywood.

Belum lagi scoring dan beberapa adegan yang menampilkan si bos dari dunia hitam yang menenteng sebungkus mi (yang tentu saja mengingatkan kita pada tokoh Ray Sahetapy yang menikmati mi instan sebelum menghajar kepala orang dengan palu). Ada pernik-pernik lain, misalnya beberapa frasa dialog bahasa Indonesia yang masih terasa sebagai terjemahan harfiah dari bahasa Inggris.

Duo sutradara Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto menyebut diri, yang kini memutuskan terjun ke dunia film laga, sebetulnya adalah dua sutradara yang berbakat. Sebelumnya, mereka menorehkan sidik jari mereka melalui film Rumah Dara dan Killers yang memperlihatkan kecenderungan pada genre horor slasher—kini dikenal sebagai film jagal. Tak pernah salah untuk melahirkan sebuah karya bertema sama, dengan bintang sama, dan bahkan dengan tim yang sama. Tapi seorang sineas (dalam hal ini dua sineas) tentu juga ingin karyanya memiliki keunikan dan sidik jarinya. Karya yang membuat penonton segera merasa mengenali titik-titik khas milik sang sutradara dan adegan-adegan yang langsung saja membuat kita malah merindukan karya sutradara lain (baca: Gareth Evans) karena apa yang terjadi pada layar terasa sebuah "pinjaman".

Di luar itu semua, bahwa Kimo dan Timo percaya bahwa perempuan adalah bagian penting dari film laga—Chelsea Islan dan Julie Estelle—mungkin sedikit membuat saya lega. Sebab, sudah terlalu lama film laga Indonesia didominasi pemeran lelaki melulu.

Tentu saja menyaksikan film ini tak berarti kita harus putus asa. Karya duo dinamis berikutnya, The Night Comes for Us, pasti akan kita nantikan.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus