SEPERTI air yang mengalir, ia selalu mencari penampungannya. Begitu juga tulisan yang tak mungkin masuk di koran atau majalah umum, menurut Budayawan Nirwan Dewanto dalam peluncuran Kalam di Jakarta, Selasa pekan lalu, akan ditampung dalam jurnal. Di Kamus Komunikasi susunan Onong Uchyana Effendi, salah satu arti jurnal memang penerbitan yang tak termasuk surat kabar dan majalah yang beredar secara teratur. Di sini memang telah terjadi pergesaran arti. Soalnya, pada awalnya semua catatan teratur, termasuk surat kabar pun, disebut jurnal. "Makanya, muncul sebutan jurnalis untuk orang yang bekerja di sini," kata ahli komunikasi massa Alwi Dahlan. Dalam perkembangannya, yang dinamai jurnal mulai terbatas pada penerbitan yang bergerak dalam nama-nama bidang, misalnya Jurnal Antropologi atau Jurnal Hubungan Internasional. "Jurnal-jurnal itu akhirnya lebih ilmiah. Dan penerbitan lainnya, yang berisi hiburan misalnya, tak mau disebut jurnal," kata Alwi, pengajar di Universitas Indonesia itu. Di Indonesia pun banyak beredar jurnal yang masing-masing bergerak di bidang tertentu. Misalnya Jurnal Ekonomi Indonesia yang diterbitkan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jurnal Demokrasi oleh Yayasan LBH Indonesia, Jurnal Ilmu Politik hasil kerja sama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, LIPI, dan Gramedia. Menurut Alwi Dahlan, isi jurnal di Indonesia sudah mulai membaik, tulisannya cukup terseleksi. Cuma, untuk sebagian jurnal, mutu kertasnya seadanya dan tenggang terbitnya pun tak teratur. "Dari segi keuangan payah, tak ada iklan," katanya. Soal ini diakui Soedarso S.P., pemimpin redaksi jurnal Seni Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Di satu sisi, ujarnya, penerbit tak dapat membayar mahal penulis naskah hingga banyak yang ogah menulis di sana. "Mencari penulis mudah, tapi membayarnya susah," ujar Pembantu Rektor II ISI itu. Oplahnya sekitar 4.000, terbit tiga bulan sekali. Oplah yang tipis bisa jadi bukan halangan. Dari sebuah kelompok diskusi pun bisa lahir sebuah jurnal, sebut saja Islamika -- jurnal triwulanan yang belum lama ini mengedarkan jilid ketiganya. "Manajemen redaksi masih kaki lima," kata Hendro Prasetyo, anggota sidang redaksi Islamika. Yang bergabung di sini adalah Masyarakat Indonesia untuk Studi-Studi Islam. Jurnal yang lumayan nasibnya misalnya Ulumul Quran, yang terbit sejak 1989. Jurnal yang menyelipkan beberapa iklan ini, menurut Budhy Munawar Rachman, redaktur pelaksananya, beredar dengan oplah 18.000 per dua bulan. Karena namanya, Ulumul Quran terkesan lebih mengangkat pemikiran-pemikiran keagamaan. Padahal, jurnal ini membahas kebudayaan dalam arti luas. Hanya saja, pemikiran itu dikaitkan dengan agama. "Sasaran pembaca kami di kalangan perguruan tinggi dan mereka yang berminat di bidang pemikiran kebudayaan," kata Budhy kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. Begitupun Kalam, jurnal setebal 114 halaman, menyebut dirinya meminati kebudayaan dalam arti seluas-luasnya dan sedalam- dalamnya. Edisi pertama dicetak 5.000 eksemplar. "Kami mempunyai ide membuat satu media yang tak sekadar menampung tulisan, tapi juga merangsang proses pemikiran penulis," kata Nirwan Dewanto, redaksi Kalam. Jurnal ini, yang lahir atas kerja sama Yayasan Kalam dengan Penerbit Pustaka Utama Grafiti, diakui Nirwan sebagai kelanjutan dari "Horison" versi PT Grafiti Pers yang terbit cuma sekali, Juli tahun silam. Waktu itu sempat terjalin kerja sama antara Yayasan Indonesia, penerbit Horison, dan Grafiti Pers, penerbit majalah TEMPO. Rembukan itu tak berusia panjang -- walau Horison "baru" sudah terbit -- karena muncul kesalahpahaman di antara kedua pihak. Maka, Horison pun kembali ke manajemen lama. Sementara itu, gagasan membuat media yang menggarap bidang kebudayaan tak berhenti. "Ini sudah merupakan kebutuhan," kata Goenawan Mohamad, juga anggota redaksi Kalam. Meski menyebut dirinya jurnal, di pasaran Kalam memang bakal bersua dengan penerbitan sebidang seperti Basis (Yogya) atau Horison. Namun, pemimpin redaksi Horison Hamsad Rangkuti menganggap hadirnya Kalam bukan sebagai saingan majalahnya, melainkan lebih sebagai rekan dalam memajukan dunia sastra. "Saya mendukung sekali penerbitan ini, karena akan makin banyak tempat untuk menampung karya kreativitas," katanya. Karena pemikiran, analisa, dan risalah lebih mendapat tempat di Kalam, Dramawan Putu Wijaya menilai jurnal ini bakal terasa berat bagi pembacanya. Itu sebabnya, ia mengharap Kalam tidak tampil sebagai jurnal yang angker. Kalam, dalam penerbitan pertamanya, tampil dengan tema utama postmodernisme. Ada pembahasan filosofis (Ahmad Sahal, Tommy F. Awuy), sosiologis (Bob Sugeng Hadiwinata), arsitektur (Andy Siswanto), budaya (Keith Foulcher, Goenawan Mohamad). Yang tak terkait langsung dengan postmodernisme adalah puisi (Akhudiat), dan cerpen (Putu Wijaya). Sebagian tulisan postmodernisme yang disajikan Kalam itu, menurut penerbitnya, merupakan makalah yang pernah diseminarkan di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Oktober 1993. Ardian T. Gesuri, Gabriel Sugrahetty, Diah Purnomowati (Jakarta), dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini