Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Siulan gedek yang gelisah

Gus ballon adalah satu di antara para perupa yang karya dua dimensi dan karya instalasinya senapas. dalam pameran tunggalnya kedua pekan lalu, ia menggarap pula gedek.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Siulan gedek yang gelisah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MENGINGKARI ketertiban, mencoba segala bahan, mencari kemungkinan baru, merupakan kecenderungan banyak perupa kita kini. Misalnya di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, dipamerkan karya seni rupa Gus Ballon, pekan lalu. Perupa yang semula bekerja sebagai pelukis komik dan pendesain kulit buku itu menampilkan sejumlah karya pada bidang gambar yang tak cuma persegi, dan karya instalasi yang antara lain memakai bilik bambu atau gedek. Lihat saja, kanvas Gus Ballon ada yang bersegi banyak dan tidak beraturan, kadang mengikuti bentuk yang dicitrakan oleh tema karyanya, misalnya bentuk ikan, segi tiga, atau membuat formasi banyak kanvas di dinding. Efek yang dicapai dari karya- karya yang masih menggunakan kanvas itu, terciptalah ruang imajiner dan cerita. Gerbang Miring, Pintu, Malam di Pinggir Kota, Ikan, Rongga adalah contoh bagaimana karya itu bercerita dan membentuk ruang. Di situ bukan hanya kanvas tergantung di dinding, tapi kanvas itu seolah meluaskan dirinya ke segala arah. Bisa jadi dari ruang imajiner yang tercipta itulah kemudian lahir karya instalasi Gus Ballon. Ada rasa senapas antara karya-karyanya yang masih digantung di dinding dan karya instalasi Puisi Merah-nya. Bentuk yang tajam segi tiga, pewarnaan permukaan bidang, juga komposisinya. Adapun cerita pada karya Gus Ballon mungkin saja terbawa dari "profesi" lamanya sebagai pelukis komik wayang kontemporer pada pertengahan tahun 1970-an. Kecenderungan yang ini, sayang, kadang menyebabkan karya Ballon seolah tidak selesai dan artifisial, misalnya pada Ikan dan Dialog. Tapi yang berhasil, misalnya Gerbang Miring, selain secara visual karya ini mengusik, empat buah kanvas disusun miring berpencar memberikan imajinasi sebuah gerbang, juga memberikan sentuhan makna dengan adanya goresan-goresan semacam kaligrafi. Yang paling menarik tampaknya adalah karya-karya gedeknya, yang dijadikan tema pameran ini: "Siulan Gedek". Di sini terasa bagaimana Gus Ballon "menyiasati" bahan untuk tetap menampilkan karakter aslinya, yakni gedek. Penggunaan benda fungsional dalam karya seni memang bukan hal baru. Bagaimana menjadikan benda fungsional itu kehilangan fungsinya -- yang menjadikan karya ini disebut seni -- di situlah tantangannya. Dan Gus Ballon menjawab tantangan dengan kreatif. Hanya dengan membongkar sebagian anyaman, jadilah selembar gedek menjadi karya seni. Terhindarlah kesan bahwa ini sekadar gedek dicat. Embah Jambrong, karya gedek yang masih bisa disebut dua dimensional, lalu Tidak Ajeg 1993 dan Dapit dan Golayet (David dan Goliath?) yang karya instalasi, sukses memanfaatkan kegedekan. Kesan kampung itulah yang pertama kali muncul. Terutama tersebut terakhir itu, disusun dan diatur sangat menarik perhatian, lebih dari yang lain-lain. Potongan gedek bukan saja dipotong, tapi diperoleh dengan membakarnya. Warna hitam di pinggir potongan, bekas dimakan api, dibiarkan tinggal. Dipadu dengan softboard, diberi sapuan merah, dua bulatan putih, hingga terbentuk asosiasi sesosok wajah Barong atau wajah apalah menurut Anda. Sosok ini disandarkan ke dinding. Di depannya disebarkan lidi bambu tak teratur, dan ditegakkan sapu lidi berwarna merah. Sementara dalam Puisi Merah muncul asosiasi pada teknologi modern, Dapit dan Golayet memberikan kesan pedesaan. Tiba-tiba saja karya ini terasa pesimistis: teronggoknya yang "kampung" itu. Secara keseluruhan karya Gus Ballon mengesankan kegelisahan. Ia mendekonstruksi bidang persegi dua dimensional, dan yang terkesan adalah suatu ketidaktenteraman. Ia menyajikan karya instalasi dengan baja dan lain-lain yang terasa mengancam karena bentuknya yang runcing-runcing. Ia menggarap karya gedek, dan yang tersaji adalah suatu budaya pinggiran yang terpaksa menyingkir. Dan Gus Ballon pun berujar, "Kenyataan terasa begitu dipenuhi nuansa konfrontatif.... Spirit yang mendominasi kenyataan saat ini membuat (kita?) jauh dari tenteram...." Bila demikian, Gus memang dengan baik menyelaraskan ide dan materi.S. Malela Mahargasarie dan Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum