Ada berbagai jenis musik di dunia ini: pop, jazz, klasik, kontemporer, dan musik tradisi atau musik etnis. Tiap jenis punya kelebihannya sendiri. Dan, lagi-lagi orang Jepang punya akal. Kiatnya sederhana. Kira-kira begini: kalau tak ada yang baru, berarti semua lama. Ambil itu semua yang lama. Tuang semuanya ke dalam periuk, aduk dan olah dengan cara yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah dilakukan orang. Hasil yang keluar dari periuk pastilah sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah dilakukan orang sebelumnya. Barangkali memang tidak baru sama sekali, tapi pastilah lain dari yang lain. Orang pun dijamin akan susah menirunya. Itulah paten. Khas cara Jepang! Penemuan khas yang hanya bisa ditemukan oleh orang yang mempunyai semangat menemukan. Itulah Takashi Kakosan. Pianiskomponis "eksentrik" dari Tokyo. Ia membuat sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang belum pernah ada. Dia punya dialektika sendiri tentang apa yang disebut "baru". Kakosan adalah potret sebenar-benarnya Jepang masa kini. Jepang yang belajar dari tradisi besar. Jepang yang melahap ekonomi. Jepang yang menguasai teknologi modern, dan Jepang yang mendekap kebudayaan dunia untuk memperteguh peradabannya sendiri. Kakosan juga begitu. Ia melahap semua jenis musik yang ada di planet bumi. Ein gegen Alle, kata orang Jerman. Satu lawan semuanya! Jumat dan Sabtu dua pekan lalu, Takashi Kako muncul di Gedung Kesenian Jakarta. Gayanya seperti seorang pendeta yang sedang berkhotbah. Dengan langkah-langkah seorang ulama yang tenang, arif, dan hati-hati ia masuk pentas, mendekati piano dan memberi salam hormat dengan takzim. Pakaiannya sopan dan sederhana. Topi Panama bertengger di kepalanya yang berambut gondrong. Berkaca mata seperti laiknya orang Jepang, ia lebih mirip seperti pegawai akuntan yang saleh ketimbang seorang pianis resital yang biasanya berkesan angker dan seram. Tingkah laku pentasnya seperti seorang aristokrat Jepang tulen yang serba cermat dan akurat. Jauh dari kesan seorang bintang penghibur jazz atau pop yang suka beringas dan cengengesan, atau pemusik klasik yang selalu formal dan sok alim. Di pentas ada beberapa lampu sorot lantai, papan-papan peredam akustisdekor sederhana dan peralatan elektro akustik seadanya sebagai alat bantu pertunjukan yang diperlukan. Semua sangat berbeda dengan pemusik klasik yang biasa menggunakan pentas blong, atau pemusik rock dan kontemporer yang suka royal dengan sarana gebyar pentas yang memborosi energi. Penampilan Takashi Kako demikian adalah isyarat pertama dari seluruh "doktrin" musiknya. Sangat personal. Tidak ngetrend. Tidak ngeglamour seperti pemusik pop, seronok seperti pemusik rock, bebas seperti pemusik jazz, kaku seperti pemusik klasik, atau nyeragam seperti pemusik tradisional. Rupanya, ia tidak mau terjebak pada justifikasi budaya musik yang sudah terkaleng-kaleng itu. Dia tak mau berpihak pada satu di antara kaleng musik yang berjenis-jenis itu. Dia mau semuanya! Di tengah keruwetan lalu lintas berjenis-jenis musik yang sangat kompleks, memilih semuanya menjadi jalan tengah yang paling sederhana. Ini tercermin dalam nya malam itu. Elemen-elemen ritme yang sangat dinamis dalam gaya musik jazz dengan teknik sinkopasi patah-patah yang sangat kuat, tanpa harus menimbulkan kesan jazzy yang terlalu mencolok, kita dapati dalam banyak karyanya yang sulitsulit malam itu. Uniknya, ia banyak menghindari progresi harmoni khazanah jazz yang sangat sugestif itu. Tradisi harmoni klasik, modern, dan serial musik yang tekniknya banyak kita jumpai pada musik abad kita ini dia aplikasikan dengan sangat cerdas untuk mengidentifikasi musiknya yang ia coba hindarkan kemiripannya dengan musik-musik lain yang pernah diciptakan. Caranya dengan memberikan peluang format "improvisasi" yang seluas-luasnya. Kata improvisasi sengaja diberi tanda petik, karena semangat dan disiplinnya sesungguhnya agak berbeda dengan teknik improvisasi yang ada pada jazz. Namun, harus diakui bahwa Bach dan para komponis barock pada dasarnya juga pernah mendasarkan musik mereka pada disiplin improvisasi yang kurang lebih mirip seperti apa yang "dirintis" Takashi Kako. Karya-karya Kakosan dalam 11, Rue Titon, Ants, dan White Nile memberi kesan yang sangat kuat. Teknik ostinato dengan tigaempat nada ajek di tangan kiri sebagai roh dasar kompositoris musiknya banyak juga ia demonstrasikan dalam nya yang sangat menarik malam itu. Namun, Sea Storm haruslah dicatat sebagai karyanya yang sangat unik, sewaktu ia benar-benar menggunakan seluruh elemen bunyi dan teknik permainan musik yang pernah diciptakan orang secara habis-habisan. Di sinilah Takashi Kako melahap semuanya. Kako-san juga bisa lembut dan perasa. Karya Messenger of the Autumn yang ia tulis atas impresinya terhadap lukisan Paul Klee menunjukkan hal itu. Sebuah aperitif yang sangat mengesankan. Begitupun dalam karyanya yang berjudul Lecke. Dalam karya terbarunya Estampe Sonore ia diilhami oleh seni pahat Ukiyoe zaman Edo di Jepang. Di sini, seperti banyak manusia Jepang modern yang telah menjadi warga dunia, Takashi Kako tidak terjerumus pada kenaifan etnocentristic kejepangannya. Musiknya tetap musik Kako, warga Jepang yang mengembara dari ujung timur, barat, utara, dan selatan. Ia bahkan juga mengubah lagu rakyat Inggris Greensleeves ke dalam Poesie untuk piano yang barangkali dapat kita nikmati seperti kita meminum secangkir sake. Barangkali benar kata orang, bahwa saat ini Jepang sedang dimanjakan oleh Dewa Matahari mereka. Apa pun akan terjadi seperti mereka inginkan. Seperti Kakosan, mudah-mudahan mereka semua menginginkan yang baik-baik saja! Suka Hardjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini