Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENDING ketawang Sihing-Widdi mengiringi tembang laras pesinden Desti Pertiwi dan Wiyani. Suara gamelan lirih, menyayat. Dua penembang itu mengidungkan welasan, lagu kesedihan meratapi nasib Pangeran Diponegoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selagi Desti dan Wiyani membawakan tembang tentang kepedihan hati itu, pembaca narasi Supadma mengisahkan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda dengan penuh penghayatan. Ia merintih dan terisak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Duh, njeng Pangeran Diponegoro, sesotyaning bangsa, bebanthenging Nuswa Jawa, paduka kaloro ping apus, kapikut in penjajah (Duh, Pangeran Diponegoro, permata bangsa, juara Jawa, paduka dibohongi, terperangkap penjajah).
Rakyat, rakyat. Bola bali rakyat kang nandang sangsara. Ya, ya, ya, tutugna nggonmu sukan-sukan hondrowino, tutugna (Rakyat, rakyat. Rakyat terus yang menderita. Ya, ya, ya, teruskanlah tingkahmu berpesta-pora, teruskanlah)." Para pengrawit tertawa keras.
Gending dan narasi itu bagian dari karya komposisi karawitan ciptaan maestro gamelan Ki Tjokrowasito (almarhum). Kelompok musik gamelan Jawa yang dikonduktori dosen seni karawitan Institut Seni Indonesia Yogyakarta mementaskannya di Pendapa Manisrenggo, Jumat malam, 27 Juli 2018. Pendapa Manisrenggo merupakan kediaman Ki Tjokrowasito.
Pentas karawitan berjudul Jaya Manggala Gita karya Ki Tjokrowasito malam itu adalah pertunjukan langka. Ki Tjokrowasito empu terakhir musik klasik Jawa yang mendapat pengakuan dunia. Dia adalah peletak gamelan kontemporer pada zamannya.
Ki Tjokrowasito, yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Notoprojo, pernah menjadi profesor di California Institute of the Arts, Amerika Serikat. Salah satu muridnya adalah Alex Dea, yang belajar sejak 1972 hingga Ki Tjokrowasito meninggal.
Jaya Manggala Gita pertama kali dimainkan pada 1952 di Kepatihan Yogyakarta untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Malam itu adalah pementasan keempat setelah 26 tahun berjalan.
Empat puluh tahun kemudian, Jaya Manggala Gita dipentaskan di California Institute of Arts dan Purna Budaya, Yogyakarta. "Karya ini jarang dipentaskan. Tidak ada yang berani memainkan karawitan klasik tradisi karena tak ada pemimpin," kata direktur artistik pementasan Jaya Manggala Gita, Alex Dea.
Jaya Manggala Gita diciptakan pada 1952 di Pakualaman, Yogyakarta. Karya gamelan ini melampaui kaidah musik umum pada zaman itu. Karya ini keluar dari pakem karawitan, tapi unsur tradisionalnya terasa kental. Jaya Manggala Gita menggunakan semua pathet laras slendro dan pelog.
Dalam gamelan Jawa Tengah terdapat enam sistem nada atau modus pelog dan slendro. Satu komposisi umumnya memiliki satu modus. Dalam Jaya Manggala Gita, keenam modus tersebut bisa dijumpai dalam bentuk lancaran, ladrang, ketawang, dan gendhing.
Karya tersebut memadukan gamelan umum dengan gamelan sakral dan kuno, yakni Carabalen, Kodok Ngorek, serta Monggang. Tiga gamelan itu, yang hanya ada di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, berasal dari era Majapahit (1100-1300) di Jawa Timur.
Judith Becker dalam Traditional Music in Modern Java: Gamelan in a Changing Society terbitan University Press of Hawaii, Amerika Serikat, menyebutkan tiga gamelan tersebut mendapat penghormatan tertinggi dan dipercaya punya kekuatan magis. Instrumen ensambel kuno itu lebih sederhana dibanding gamelan zaman sekarang. "Gamelan punya aura mistik. Gamelan yang bagus di keraton selalu punya nama dan spirit," ucap Alex Dea.  
Gamelan dimainkan untuk menyambut tamu penting keraton serta merayakan pernikahan kerajaan, ritual khitan, dan acara religius, juga mengiringi pertandingan harimau dan banteng serta latihan prajurit. Gamelan juga dimainkan kapan pun ketika raja memerintahkannya.
Ki Tjokrowasito menjadi orang pertama yang membuat komposisi karawitan dengan narasi dan birama tiga per empat. Ia juga menggunakan paku atau pisau sebagai tabuh karena menginginkan suara yang berbeda.
Karyanya menjadi contoh bagaimana Indonesia mulai menjadi modern dengan langkah yakin dan pasti. Karyanya bisa disebut avant-garde karena menunjukkan perkembangan multi-pluralisme dalam budaya modern Indonesia. Pada zaman itu, karya Ki Tjokrowasito tidak umum dan aneh. "Gamelan dengan konsep konser. Ki Tjokrowasito seorang genius yang mengkontemporerkan gamelan," ujar Alex Dea.
Naskah yang dipentaskan itu merupakan kombinasi dari naskah Ki Tjokrowasito tahun 1955, disertasi Nyoman Wenten berjudul "The Creative World of Ki Wasitodipuro", dan rekaman CMP Jerman tahun 1990. Nyoman Wenten adalah menantu Ki Tjokrowasito alias Ki Wasitodipuro.
Wenten mengatakan Ki Tjokrowasito gemar mendengarkan musik klasik Barat dan jazz, terutama karya John Coltrane. Suara dan ritme musik itu ada kemungkinan mempengaruhi proses kreatif Ki Tjokrowasito.
Tapi komposisi karyanya didasarkan pada pola musik tradisional dan struktur musik gamelan Jawa. "Dalam karyanya terefleksikan kemauan untuk menerima elemen luar, memanipulasi idiom baru dan idiom tradisional untuk tujuan kreatif dan inovatif," ucap Wenten.
Karya berdurasi 50 menit lebih ini menggambarkan sejarah Jawa dan keindonesiaan yang lengkap, dari zaman Buddha, Hindu, Islam, imperialisme Belanda dan Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia. Gendingnya sangat mendalam, menggunakan gending Gambir Sawit.
Suasana ritual muncul pada awal pertunjukan. Pengrawit memukul tiga gong suwukan yang diikuti mantra Hindu-Buddha: aum. Bunyi lonceng menambah syahdu suasana. Pembaca narasi membawakan puisi dalam bahasa Kawi.
Aum, shanti shanti shanti
Mastungkara kraneng swingkara
Ring hyang suksma-nasa, awiggnamastu, mwatta winengan dirga-ayu,
Mastuna-purnamasidham
Aum, shanti shanti shanti, aum
Makna puisi tersebut: "Kami menghaturkan pujian kepada roh yang penuh belas kasih sebagaimana tugas kami. Mungkin kami tidak menemukan rintangan atas setiap upaya untuk mencapai kesetiaan dan kesempurnaan hidup yang panjang."
Keindahan puisi itu berlanjut dengan bunyi gamelan sekaten bernuansa Islam. Pembaca narasi lalu mengatakan, "Ashadhu alla ilahaa illallah wa ashadu anna Muhammadar rasullulah." Orang-orang dibawa ke suasana Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung.
Kemudian kolonialisasi terjadi. Belanda datang memecah-belah. Kerajaan Mataram pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Situasi menjadi kacau dan memanas. Pangeran Diponegoro melawan. Pengrawit pun memekik, "Amuk, amuk, amuk, amuk, amuk." Kemudian datang Jepang, yang dalam ramalan leluhur mengisyaratkan pembebasan Indonesia. Pengrawit menembangkan lagu mars Jepang dalam laras pelog. Lagu ini dipelajari orang-orang Jawa selama masa penjajahan Jepang.
Lalu terdengar gending Sakura dengan birama tiga per empat.  Pada pengujung pentas, pengrawit membawa orang-orang ke suasana kekejaman penjajahan Jepang.
Supadma sang narator kembali bersedih. "Durung uwis-uwis nggone nandang papa-cintraka. Aduh, mbuwang penjajah malah oleh penindas (Belum selesai derita sengsara. Aduh, membuang penjajah malah mendapat penindas).
Romusha, katok goni, slendang rami. Gagak, bekicot, wekasan, beri-beri. Kekerasane, atis, panas, perih, malah wong pinter akeh sing ditumpesi (Romusha, celana goni, selendang rami. Gagak, bekicot, akhirnya beri-beri. Kekerasan, kesengsaraan, ketakutan, malah orang terpelajar banyak yang dibunuh)."
Rakyat Indonesia kemudian digambarkan melawan. Pemberontakan Supriyadi di Blitar, Jawa Timur, pecah. Bom atom meledak di Hiroshima. Jepang menyerah kepada Sekutu. Bunyi gamelan menjadi lantang mengiringi semangat rakyat Indonesia untuk merdeka. Karawitan berakhir dengan pembacaan Proklamasi beriring tiga pukulan beduk dan permainan gamelan Monggang.
Direktur Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, Bambang Sunarto, mengatakan Jaya Manggala Gita sejak awal hingga akhir memberikan interpretasi yang jelas dan tertib. "Kehendak estetik dan artistik Ki Tjokrowasito tergambar betul dalam karya ini," tutur Bambang.
Karya itu juga menggambarkan bahwa Ki Tjokrowasito adalah seorang nasionalis. Jaya Manggala Gita sangat penting karena bicara tentang sejarah Indonesia. Sayangnya, kata Bambang, tidak banyak orang mengenal karya tersebut. Padahal Jaya Manggala Gita relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, yang memprihatinkan.
Tri Warsono Tjokrowasito, anggota keluarga Ki Tjokrowasito, menyebut Jaya Manggala Gita sebagai komposisi karawitan yang nakal pada zamannya. Ada kalangan yang mengapresiasi, tapi tak sedikit orang yang mencerca. "Banyak yang menganggap karya ini kebablasan dan merusak karawitan," kata Tri.
Shinta Maharini (Yogyakarta)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo