Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN mahasiswa dari berbagai kampus di Jawa Timur berduyun-duyun ke Royal 21, bioskop di pusat belanja Royal Plaza, Surabaya, pada Selasa malam pekan lalu. Mahasiswa yang di antaranya berasal dari Universitas Airlangga, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Pembangunan Nasional itu menjejali tiga studio, yang masing-masing berkapasitas 162 orang, untuk menonton film 22 Menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum film itu diputar, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Komisaris Besar Syahar Diantono maju ke depan layar di salah satu studio dan memberikan wejangan. Isinya: meminta mahasiswa menaruh perhatian pada lingkungan sekitar dan peka terhadap paham anti-Pancasila. Apalagi, kata Syahar, paham radikalisme sudah menyusup ke kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu sebabnya polisi mengerahkan mahasiswa ke bioskop. "Mahasiswa merupakan salah satu target kami untuk menonton film 22 Menit," ujar juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Frans Barung Mangera, Selasa pekan lalu.
Film 22 Menit diadaptasi dari peristiwa teror di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, pada Januari 2016, yang didalangi Sunakim alias Afif, anak buah Aman Abdurrahman. Sutradaranya Eugene Panji dan Myrna Paramita Pohan dari rumah produksi Button Ijo dan dibintangi oleh, antara lain, Ario Bayu. Sinema berdurasi 77 menit ini menceritakan detik-detik polisi melumpuhkan teroris yang membuat huru-hara di Jalan M.H. Thamrin, di sekitar gedung Sarinah.
Selain menargetkan mahasiswa, Polda Jawa Timur menyasar pegawai negeri, pelajar, santri, dan masyarakat umum. Polda Jawa Timur mempromosikan film tersebut dua bulan sebelum peluncurannya pada 19 Juli lalu. Getolnya polisi memobilisasi masyarakat melonjakkan jumlah penonton di Jawa Timur. Menurut Frans Barung, hingga Selasa pekan lalu, jumlah penonton di provinsi itu mencapai 250 ribu orang.
Di daerah lain, polisi juga menggerakkan orang untuk menonton 22 Menit. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja, hingga Kamis pekan lalu, penonton di wilayahnya mencapai 36 ribu. Hingga hari yang sama di Sumatera Selatan, kata juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Komisaris Besar Slamet Widodo, hampir 9.000 orang telah menontonnya.
Manager on Duty CGV Blitzmegaplex Transmart Palembang City Center, Rivan, menyebutkan mayoritas pengunjung yang menonton 22 Menit di bioskopnya adalah polisi. "Hampir seribu orang sudah menonton film itu di tempat kami," ujarnya.
Markas Besar Polri memang memerintahkan anggotanya memenuhi bioskop dan mengajak masyarakat berbondong-bondong datang. "Instruksinya agar film ini diketahui publik sebanyak-banyaknya," kata Frans Barung. Perintah yang sama diterima Tatan Dirsan Atmaja dan Slamet Widodo.
Menurut Slamet, walau ada perintah, Polda Sumatera Selatan sendiri yang menentukan target jumlah penonton. "Saat ini sudah melebihi target 5.000 penonton," ujarnya. Meski tiga anak buahnya di daerah mengatakan ada perintah dari Mabes Polri, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Muhammad Iqbal menampik kabar bahwa ada instruksi untuk mengerahkan penonton. "Enggak ada itu," ucap Iqbal.
Hingga Kamis pekan lalu, jumlah penonton film ini menyentuh 721.981 ribu. Pada hari peluncuran, jumlah penontonnya mencapai 158.177. Jumlah penonton pada hari pertama ini melampaui film seperti Benyamin Biang Kerok, yang ditonton 83 ribu orang pada pemutaran perdana. Sampai film yang dibintangi Reza Rahadian itu tak lagi diputar, jumlah penontonnya mencapai 740 ribu.
Mereka yang datang ke bioskop atas ajakan polisi tak perlu merogoh uang untuk membeli tiket. Menurut Frans Barung, tiket ditanggung Bank Rakyat Indonesia, yang menjadi sponsor 22 Menit.
Film ini dibuat atas gagasan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. Seorang perwira tinggi kepolisian bercerita, Tito melontarkan idenya setelah menonton bareng film Patriots Day bersama sejumlah perwira di rumahnya pada 14 Januari tahun lalu. Hari itu bertepatan dengan satu tahun peristiwa bom Thamrin yang menewaskan 4 warga sipil dan 4 pelaku serta melukai 13 orang lainnya.
Patriots Day menceritakan pengusutan Biro Investigasi Federal (FBI) atas teror bom dalam acara Boston Marathon di Amerika Serikat pada April 2013. "Pak Tito bilang bisa enggak peristiwa bom Thamrin dijadikan film seperti kejadian di Boston," ujar jenderal ini. Polri pun langsung membentuk tim untuk meriset data dan mempersiapkan pembuatan film.
Menurut sumber yang sama, film 22 Menit dibuat untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap polisi, terutama Detasemen Khusus Antiteror 88. Densus sering dituding mengesampingkan hak asasi manusia karena kerap melumpuhkan teroris dengan menembak di tempat. Menurut Komisaris Besar Muhammad Iqbal, 22 Menit memperlihatkan Polri selalu bekerja secara profesional.
Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, mengatakan proyek film ini dipimpin Kepala Bagian Pengembangan Kapasitas Biro Misi Internasional Divisi Hubungan Internasional Polri Brigadir Jenderal Krishna Murti. "Untuk mendokumentasikan kejadian bom Thamrin," ujar Setyo. Iqbal menambahkan, biaya pembuatan film sepenuhnya ditanggung sponsor.
Pada saat yang sama, Eugene Panji dan Myrna Paramita Pohan berniat memfilmkan peristiwa bom Thamrin. Eugene menuturkan, sejak peristiwa teror itu, ia ingin menggarap film yang berkaitan dengan terorisme. "Film ini 70 persen kejadian nyata dan 30 persennya fiksi," kata pria 44 tahun ini. Setelah menyampaikan gagasan kepada Kepala Polri, Eugene dan Myrna ditunjuk sebagai sutradaranya.
Riset yang ditempuh Eugene dan Myrna diteruskan dengan bantuan polisi, terutama Krishna Murti dan Komisaris Besar Herry Heryawan, mantan Kepala Kepolisian Resor Depok, Jawa Barat. Eugene menyebutkan Krishna berperan mengarahkan agar film ini bisa menyentuh masyarakat melalui peran kepolisian. Sedangkan Herry, kata dia, membuka akses bagi pemain dan sutradara untuk mempelajari cara Densus 88 menangani kasus terorisme. "Kami belajar standar operasional prosedur polisi," ujar Eugene.
Syuting film dilakukan sepanjang Maret-April tahun ini. Produksinya boleh dibilang ngebut karena film ini ditargetkan bisa tayang di layar lebar pada 1 Juli, bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-72. Pemutaran perdana kemudian digeser ke pertengahan Juli karena polisi sibuk mengamankan pemilihan kepala daerah serentak hingga penghitungan suara. Belakangan, penayangan perdananya mundur lagi ke 19 Juli karena Piala Dunia 2018 berlangsung hingga 16 Juli. Polisi tak ingin Piala Dunia "mencuri" penonton film.
Krishna menjelaskan sejumlah hal, tapi menolak pernyataannya dikutip. Adapun Herry irit bicara ketika ditanyai soal perannya dalam pembuatan 22 Menit. "Peran para polisi bagus," ucapnya. Krishna dan Herry juga tampil dalam film ini sebagai cameo. Krishna berperan sebagai tukang sate, sedangkan Herry menjadi pengemudi ojek berbasis aplikasi.
Hussein Abri Dongoran, Andita (Jakarta), Nurhadi (Surabaya), Fitria (Semarang), Ahmad Supardi (Palembang), Iil Askar Mondza (Medan)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo