Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Katniss dan Peeta Menjelang Revolusi

Bagian kedua dari trilogi The Hunger Games memasuki pertandingan yang jauh lebih keji dan berdarah. Peserta pertandingan veteran yang lebih berpengalaman, eksentrik, dan berdarah dingin.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Hunger Games: Catching Fire
Sutradara: Francis Lawrence
Skenario: Simon Beaufoy dan Michael Arndt, Berdasarkan novel kedua dari trilogi karya Suzanne Collins
Pemain: Jennifer Lawrence, Liam Hemsworth, Josh Hutcherson, Woody Harrelson, Donald Sutherland, Philip Seymour Hoffman, Stanley Tucci, Jena Malone, Elizabeth Banks, Sam Claflin

Selamat datang ke pertandingan Hunger Games ke-75.

Sebuah dunia yang kelam karena kau harus membunuh untuk bertahan hidup dan gerak-gerikmu diawasi oleh seluruh pimpinan dan warga distrik.

Kini Srikandi kita, Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), pulang ke Distrik 12 menemui Ibu; adiknya, Primrose (Willow Shields); dan kekasihnya, Gale (Liam Hemsworth). Katniss kini digempur rasa marah, sedih, dan luka hati akibat seluruh pengalaman berdarah selama pertandingan Hunger Games ke-74. Ditambah lagi sandiwara cintanya bersama Peeta (Josh Hutcherson), yang sebetulnya semakin membingungkan—karena kini dia merasa mencintai Gale dan Peeta secara bersamaan—Katniss menjadi gadis yang bukan hanya pemarah, melainkan penuh dendam dan pemberontakan terhadap pemerintahan Presiden Snow.

Dalam dunia novel trilogi Suzanne Collins, Presiden Snow adalah Big Brother ala novel George Orwell, 1984. Rakyat yang mengkritik, melawan, dan memberontak Snow akan ditumpas habis oleh tentara "Penjaga Perdamaian". Presiden yang rambutnya memang seputih salju itu (diperankan dengan lezat dan menggigit oleh Donald Sutherland) dengan tenang menyampaikan bahwa dia mengetahui hubungan Katniss dengan Gale. Atas perintah Snow, Katniss harus meneruskan sandiwara cinta dengan Peeta di hadapan warga sepanjang tur Victory yang menghampiri 12 distrik. Di beberapa distrik, pemberontakan sudah mulai memanas karena tersulut keberanian Katniss si Gadis Api.

Reality show dalam dunia dystopia ini tentu saja bukan menyajikan gemerlapnya kisah cinta Katniss dan Peeta menjadi perjalanan pemberontakan (diam-diam) Katniss. Diberi pidato yang sudah dikonsep sejak awal, Katniss malah menuturkan kepedihannya di hadapan Distrik 11 atas kematian Rue, si kecil yang sudah seperti adik sendiri. Gara-gara skenario pidato itu melenceng, warga Distrik 11 serentak mengacungkan tiga jari dan terdengar siulan mockingjay di udara. Inilah simbol antara Rue dan Katniss saat mereka bekerja sama mempertahankan diri dalam pertandingan sebelumnya, dan burung ini pula yang menjadi simbol perlawanan seantero 12 distrik. Bisa dibayangkan bagaimana murkanya Presiden Snow.

Dengan sutradara Francis Lawrence, sekuel ini adalah sebuah loncatan ke level yang lebih tinggi. Film ini mempersembahkan babak berikut pertandingan yang jauh lebih keji dan garang. Kali ini kepala pertandingan dijabat Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman), yang jauh lebih politis dan penuh intrik daripada pendahulunya, Seneca Crane, yang sudah diganjar hukuman mati. Kali ini para peserta dipaksa bersekutu karena tantangan yang dihadapi jauh lebih mengerikan: kabut beracun dan serombongan monyet jadi-jadian (tentu saja dengan bantuan CGI) yang ganas menyergap para peserta yang terdampar di sebuah pulau buatan.

Sementara dalam pertandingan Hunger Games ke-74 para peserta adalah remaja, kini para peserta lebih variatif: ada pasangan ilmuwan, nenek sepuh, dan pasangan pecandu narkotik, yang semuanya tak bisa dipandang enteng oleh pasangan Katniss dan Peeta. Tetapi yang paling menonjol adalah Finnick Odair (Sam Claflin) dan Johanna Mason (Jenna Malone). Finnick adalah jagoan tampan seperti burung merak yang tahu keanggunannya di daratan ataupun di bawah laut; sedangkan Johanna adalah pembawa kapak, pemberontak anarkis yang tak jeri untuk memaki Presiden Snow di mana saja, kapan saja.

Bersama pasangan ilmuwan Beetee (Jeffrey Wright) dan Wiress (Amanda Plummer), Katniss dan Peeta serta Odick dan Johana mencoba bertahan dan saling membantu memecahkan kapan dan di mana tantangan berikutnya akan ditumpahkan oleh Plutarch. Tapi, di antara kerja sama itu, mereka tahu mereka tak bisa saling percaya sepenuhnya karena pada satu saat mereka harus saling membunuh.

Dari sisi teknologi, apalagi di bioskop Indonesia yang menggunakan sistem Dolby yang menggedor-gedor dari seluruh sisi; ditambah penyuntingan yang rapi dan plot yang jauh lebih intens, film ini lebih superior secara sinematografis dan seni peran dibanding pendahulunya. Katniss berkembang menjadi perempuan muda yang penuh kemarahan dan dendam; alangkah asyiknya menyaksikan dia dengan busur dan anak panahnya beraksi menumpas serangkaian musuh bayangan saat latihan. Jennifer Lawrence mungkin satu dari sedikit aktris yang sama-sama dicintai di layar film indie (Winter’s Bone, 2010) ataupun layar film komersial seperti serial Hunger Games. Dia hampir selalu mampu tampil bersinar pada setiap film yang dibintanginya.

Josh Hutcherson sebagai Peeta, pacar yang tidak berstatus pacar tapi berlaku seperti pacar, versus Liam Hemsworth, sebagai Gale sang pacar resmi yang kali ini tampil sebagai korban yang disiksa tentara Penjaga Perdamaian, adalah cinta segitiga yang ditampilkan sewajar mungkin dan seperlunya sesuai dengan fitrah jalan cerita (baca: tidak memuakkan seperti cinta segitiga yang terus-menerus dieksploitasi dalam Twilight Saga).

Tentu saja film The Hunger Games akan selalu melekat di benak kita, karena sutradara Gary Ross menghidupkan tokoh-tokoh Suzanne Collins itu untuk pertama kalinya. Ada gerak-gerik kecil yang seolah-olah tidak signifikan tapi justru menguatkan adegan-adegan Ross: Peeta yang menyentuh kepang rambut Katniss ketika mereka memutuskan menelan berry beracun; Cinna (Lenny Kravitz) yang menyematkan pin burung mockingjay pada baju Katniss, atau rasa cinta Katniss yang luar biasa pada adiknya, Prim. Ini semua hal yang tampaknya biasa dan senantiasa muncul dalam seri The Hunger Games sebagai simbol: cinta, kebebasan, dan perlawanan.

The Hunger Games saya anggap sebagai novel dan film remaja (industri penerbit menyebutnya kategori young adults) yang berhasil memperkenalkan politik dalam bentuk sebuah kehidupan masyarakat yang tertekan di bawah pemerintahan otoritarian. Kekejian dan serangkaian pembunuhan dalam film ini memang tidak digambarkan dengan rinci dan grafis seperti film Jepang, Battle of Royale (Kinji Fukasaku, 2010). Tapi itu bukan alasan Anda membawa anak-anak di bawah umur untuk ikut menyaksikan film bunuh-bunuhan ini.

Film diakhiri dengan kejutan luar biasa: siapa kawan dan siapa lawan terungkap dengan cara yang meledakkan emosi Katniss. Sebuah akhir yang sudah pasti akan membuat para penggemar fanatik serial ini dengan harap-harap cemas menanti adaptasi novel yang terakhir, Mockingjay, yang akan menggambarkan gerakan bawah tanah Distrik 13 dan ledakan revolusi.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus