Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Stereotipe Islam di Tangan Perupa

Pertemuan karya seni rupa Indonesia dengan karya perupa sejumlah negara Arab. Hanya perupa Indonesia yang merefleksikan pahit-getir hubungan. Tidak sebaliknya.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Supari, 31 tahun, akhirnya bisa pulang ke desanya di Luwungbata, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dari Arab Saudi, pada 4 November lalu. Dia kapok dan tak mau kembali ke Saudi setelah lima tahun bekerja di negeri itu. "Kecuali umrah atau naik haji," kata ayah satu anak ini kepada reporter Tempo Dinda Leo Listy. Supari dan istrinya, Karsi, 30 tahun, adalah bagian dari 87 ribu pekerja migran Indonesia di Saudi yang dideportasi karena sudah habis izin tinggalnya.

Di sana Supari menjadi sopir dan istrinya pembantu rumah tangga. Pasangan ini, bak budak, pernah dilelang majikannya kepada majikan lain seharga 25 ribu riyal (sekitar Rp 67,5 juta) di Maktab Amal, dinas tenaga kerja Saudi. Sejak itu, Supari dan Karsi menjadi pekerja ilegal karena paspor mereka ditahan Maktab Amal.

Pasangan ini tujuh kali berpindah majikan. Tenaga Supari diperas dari pagi hingga malam dengan gaji yang jauh dari bayangan. Bahkan, tiap kali dia melakukan kesalahan, majikan memotong 50 riyal dari gajinya yang hanya 1.000 riyal (sekitar Rp 3,2 juta) per bulan. "Saya yakin hampir semua majikan di Saudi itu bangsat," kata Supari.

Jauh dari Saudi, di lantai dua Jogja National Museum, Yogyakarta, Ahmed Mater, 34 tahun, dokter bedah lulusan Abha Collage of Medicine yang juga seniman visual, memamerkan karya fotografi dan video dalam pameran dua tahunan Biennale Jogja XII, yang berlangsung sejak 16 November 2013 hingga 6 Januari 2014. Ahmed tentu tidak diberi label sejenis TKI semacam Supari dan istrinya. Dia pekerja kerah biru. Masyarakat beradab menyebutnya kaum profesional.

Sebagai seniman, dia membawa karya seri fotografi berjudul Desert of Pharan/ Adam, yang menggambarkan negerinya, Saudi, melalui cerita berbeda dengan kisah getir Supari. Mulai kemewahan spiritual umat Islam dari penjuru dunia saat menunaikan ibadah haji hingga lanskap Masjidil Haram dengan Ka'bah di tengahnya dari balik kaca kamar hotel mewah.

Ahmed dan Supari sama-sama muslim, tapi dunia mereka bak bumi dan langit. Supari datang ke Saudi dengan susah payah dari desanya di kawasan pantai utara Jawa. Sebaliknya, Ahmed datang ke Yogyakarta diundang dengan hormat oleh penyelenggara Biennale Jogja XII Equator #2, yang kali ini menggandeng seniman dari negara Arab: Mesir, Arab Saudi, Yaman, Oman, dan Uni Emirat Arab. Pameran dikuratori Agung Hujatnikajennong (Indonesia) dan Sarah Rifky (Mesir).

Dalam konsep kuratorialnya, Jennong—sapaan dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung ini—menyinggung fenomena migrasi yang dilakoni TKI seperti Supari. Kurator juga menyinggung fenomena yang diusung Ahmed berupa praktek keagamaan yang disebut haji di Saudi dengan dampak psiko-religi yang menyebabkan kaum migran haji ini selalu memendam kerinduan kembali ke Tanah Suci.

Tapi lihatlah di ruang pameran Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Langgeng Art Foundation, Sarang Building, dan HONFablab. Hanya Sigit Pius Kuncoro, F.X. Harsono, dan Agus Suwage yang dengan gamblang mengeksplorasi fenomena migrasi TKI dan praktek sosial keagamaan.

Sigit, 39 tahun, yang biasa menggarap medium dua dimensi, kali ini mengeksplorasi fenomena TKI lewat karya patung. Dia secara lugas mengisahkan TKI perempuan yang pulang kampung tak membawa hasil. Perempuan itu justru membawa jabang bayi di perutnya yang menggelembung akibat pemerkosaan oleh sang majikan.

Toh, hubungan Indonesia-Arab tak selalu tragis seperti yang digambarkan Sigit. F.X. Harsono, 64 tahun, selain mengeksplorasi pengaruh Arab kontemporer lewat busana jilbab dalam karya video, terpesona oleh praktek sosial-budaya umat Islam lewat percampuran budaya Jawa, Sunda, Hindu, Cina, dan Arab lewat karya instalasi.

Praktek sosial-religi yang lebih krusial diangkat Agus Suwage lewat dua karyanya, Tembok Toleransi dan Social Mirrors#3, dengan bahasa ungkap yang menarik. Agus, yang pernah bekerja sebagai perancang grafis iklan, kelihatan lebih menguasai cara mengkomunikasikan gagasan lewat idiom rupa. Pada karya bercorak site specific installation, dia memakai susunan pelat seng berbentuk batu bata dalam struktur yang mengesankan tembok kokoh berhiaskan sembilan bentuk telinga manusia dalam warna keemasan. Di antara dua bentuk itu muncul suara azan dalam volume medium, tapi berlangsung terus-menerus bersahut-sahutan, yang akhirnya menggedor gendang telinga. Alih-alih suara panggilan salat itu mengundang umat Islam ke masjid, malah menimbulkan kejengkelan.

Agus Suwage menyuguhkan gagasan azan yang lebih toleran sebagai praktek sosial-religi lewat karyanya, Social Mirrors#3. Pada karya ini azan menjadi kumpulan nada bak komposisi lagu yang mendayu lewat suara trompet. Sebagai karya seni rupa, karya ini dilengkapi Agus dengan trompet sesungguhnya dan patung figur sedang mengumandangkan azan berdiri di depannya.

Kurator melihat ada gejala mulai pudarnya sikap toleran. Menurut Jennong, sikap toleran adalah buah dari adanya sinkretisme religius (perpaduan agama dan tradisi kultural) dan sikap sinkretik ini yang kini terancam pupus. "Sinkretisme religius di Indonesia terus terkikis, terancam punah oleh proses purifikasi yang dipaksakan oleh fanatisme dan fundamentalisme," tulisnya dalam konsep kuratorialnya.

Boleh jadi demikian. Tapi amatlah menarik untuk diamati beberapa kasus mutakhir. Katakanlah kasus Ahmadiyah dan Syiah. Pengikut Muhammadiyah, yang dikenal dalam praktek keberagamaan tak mencampurkan hal-hal kultural dan hanya mengadopsi Quran dan hadis, ternyata toleran terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Sebaliknya, kelompok umat Islam lain yang dikenal inklusif dan sinkretik justru garang terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah.

Perupa kita agaknya kelasnya hanya bermain-main dalam stereotipe Islam dan Arab. Tengoklah karya Eko Nugroho, Taman Berbulan Kembar, berupa burka yang menutup tubuh perempuan dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan teks: bulan-bintang, pedang, unta, kurma, gurun, minyak, hingga TKI. Eko, 36 tahun, menutup permukaan dinding berukuran 10 x 5 meter itu dengan pola ragam hias dalam warna hijau berupa pedang disilangkan yang menghasilkan teks: hypocrite. Wajah Islam di balik topeng Arab itu tampak sangar.

Dalam pameran ini, hanya perupa Indonesia yang memasukkan elemen Arab dalam karyanya. Sebaliknya, perupa asal Jazirah Arab seperti tak pernah merasa punya hubungan emosional dengan Indonesia. Karya Magdi Mostafa, misalnya, berupa instalasi bunyi dan cahaya seperti memerangkap orang di dalam kegelapan ruang persegi, suatu pengalaman yang sangat pribadi. Pertemuan perupa dari bangsa yang sejatinya punya relasi kultural hanya dirasakan perupa Indonesia.

Raihul Fadjri


Kisah Fotografer Istana Rekaan

Sebelas pasang perempuan memakai baju lengan panjang, rok, stoking, dan kain penutup wajah—semuanya serba putih—berdiri mematung di ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini. Kadang mereka bermain-main dengan air dalam ember yang berada di dekat kaki mereka.

Performing art bertajuk Sweet Dreams Sweet karya seniman asal Solo, Melati Suryodarmo, itu tampil pada hari pertama Jakarta Biennale 2013, 9 November lalu. Esok paginya, kelompok itu beraksi di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka berjalan bergandengan dua-dua mengelilingi area taman, bermain air kolam, duduk, bahkan tiduran di atas tanah.

Penampilan mereka itu berhasil membetot perhatian pengunjung taman. Kebanyakan pengunjung mencoba berfoto atau mengusili kelompok serba putih itu. "Menarik melihat reaksi masyarakat," kata Melati. Misalnya, karena pemainnya semua menggunakan kain serupa kerudung, ada yang bertanya kepada Melati apakah dia telah meminta izin kepada Kementerian Agama sebelum menggelar pentasnya itu.

Penampilan Melati dengan kelompok perempuan serba putih tersebut merupakan bagian dari Jakarta Biennale ke-15 ini. Selain hadir di Taman Ismail Marzuki, biennale bertema Siasat berlangsung hingga 30 November ini digelar di Museum Seni Rupa dan Keramik, Komunitas Salihara, Cemara 6 Galeri, serta di ruang publik di Jakarta, seperti Pasar Burung Pramuka, jalan layang T.B. Simatupang, dan bawah jalan layang RC Veteran.

Khaled Jarrar, seniman asal Palestina, menyajikan performing art berjudul The Soldier. Dia tampil berbaju seragam hijau militer dan bertopi baret, tapi tanpa tanda pangkat dan atribut pengenal lain. Ia berdiri di atas bangku. Sekilas Jarrar mirip patung, diam, bergeming selama satu jam. "Saya memerintahkan tubuh tetap berdiri selama 60 menit," ujarnya. Sebelumnya, Jarrar mencoba tampil di Ramallah selama 15 menit dan di Prancis selama 40 menit.

Jarrar seorang tentara. Lulusan International Academy of Art Palestine ini masih bekerja di militer, meski hanya di bagian dokumentasi. Sejak tiga tahun lalu, dia mulai aktif berkarya dalam dunia seni. Jarrar mengatakan dia pernah melempari tentara Israel saat remaja dan bergabung menjadi tentara Palestina. Hidup sebagai tentara membuatnya merasa paranoid dan terisolasi.

Yang cerdas adalah karya Agan Harahap. Seniman foto lulusan Sekolah Tinggi Desain Indonesia di Bandung ini mengklaim bertemu dengan seorang saksi sejarah, fotografer tua bernama Amrizal Chaniago. Amrizal pada 1960-an adalah pengajar fotografi di Partai Komunis Indonesia. Ia juga seorang fotografer Istana. Amrizal mengikuti perjalanan Sukarno ke luar negeri, dari Amerika Serikat sampai Beograd, Yugoslavia. Setelah peristiwa 1965, ia ditahan di Pulau Buru. Amrizal baru bebas pada 1979. Pada 1981, ia menikah dengan eks tahanan politik Penjara Plantungan. Kini fotografer PKI itu membuka warung kecil-kecilan di bilangan Jatinegara.

Agan mencoba mengumpulkan foto-foto milik Amrizal. Semuanya dipamerkan di biennale kali ini dan dikumpulkan dalam sebuah buku kecil. Kita melihat foto-foto Pak Tua Amrizal demikian berharga. Sangat langka. Lihatlah ia mampu mengabadikan peristiwa: Sukarno bertemu dengan Jacky Onassis, Marilyn Monroe, dan Elizabeth Taylor. Sukarno oleh Presiden John F. Kennedy diperkenalkan kepada Andy Warhol. Bahkan ada jepretan Amrizal menangkap adegan bagaimana Marilyn Monroe sendu menangis mengikuti langkah Bung Karno yang tergesa-gesa. Lalu ada foto pejuang revolusi Kuba, Che Guevara, tengah jalan-jalan di Candi Borobudur.

Tapi semua itu ternyata tipuan Agan. Amrizal Chaniago sejatinya tak ada. Ia hanya tokoh rekaan Agan. "Tiga malam saya tidak tidur untuk melahirkan Amrizal, fotografer komunis ini," ucap Agan. Foto-foto Sukarno itu semua juga hasil manipulasi Agan. Tak takut digugat? Agan menjawab dengan enteng, "Di buku, saya sudah menjelaskan cerita itu fiksi. Tergantung pengunjung atau pembaca teliti atau tidak." Apa pun, ini sebuah karya yang menggelitik.

Dian Yuliastuti, Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus