Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Keajaiban yang Hilang

Setiap zaman selalu melahirkan pelukis anak berbakat. Dulu ada Lini, kini ada Wiku.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung Sumorejo bukanlah sebuah pojok besar di Kecamatan Gunungpati, Semarang. Tetapi desa itu memiliki seorang Ita Nurlatifah. Si kecil berusia 11 tahun ini memiliki 10 jari yang luar biasa. Siswa kelas VI Madrasah Ibtidaiah Negeri (MIN) ini kini menjadi kebanggaan sekolahnya, gara-gara karya lukisnya termasuk 12 karya lukis anak-anak yang memperoleh penghargaan dalam lomba lukis anak-anak yang diselenggarakan Badan Pangan PBB (United Nations World Food Programme). UNWFP memang hanya memberi hadiah Rp 500 ribu untuk Ita. Tapi penghargaan itu pantas membuat bangga keluarga dan gurunya, karena karya lukis Ita berjudul Penyaluran Beras JPS untuk Sekolah mampu menyisihkan 83 karya lukis anak dari seluruh dunia. Karya lukis Ita sangat khas karya lukis anak-anak yang mendapat pengarahan dari gurunya. Dengan menggunakan pastel, Ita membangun suasana pembagian sembako di sekolahnya. Ada barisan siswa, gedung sekolah, tiang bendera, guru yang sedang menyerahkan sembako, dan mobil pengangkut sembako. Ita menggambarkannya dengan tertib. "Tema itu saya buat setelah mendapat pengarahan dari Pak Guru," ujar Ita. Prestasi Ita memang jatuh begitu saja dari langit. Ibunya, Nisyatul Laely, 32 tahun, yang berdagang sembako di pasar Ungaran, Semarang, sudah sejak dini melihat bakat Ita melukis. Ketika masih di taman kanak-kanak ia sudah menjadi juara nasional tingkat TK pada 1995. Hingga kini Ita bebas mengisi waktunya di rumah dengan melukis, dibimbing ibunya yang suka melukis, dan juga dibantu oleh guru keseniannya. "Saya ingin jadi pelukis," kata Ita. Ita adalah satu dari sekian banyak anak yang menunjukkan bakat melukis dan berkehendak menjadi pelukis kelak ketika dewasa, dan Nisyatul Laely adalah satu dari banyak orang tua yang mendorong anaknya menjadi pelukis. Tapi lihatlah, hampir tak ada pelukis profesional sekarang ini yang pernah dikenal sebagai pelukis anak-anak yang berbakat. Sebaliknya muncul anak-anak yang memiliki bakat melukis luar biasa tapi kemudian hilang tak tentu rimbanya. Sebut saja Lini. Pada 1974 jagat seni rupa Indonesia dikejutkan dengan munculnya seorang anak berusia 4 tahun di Surabaya, dan pada usia 9 tahun menggelar pameran tunggal pertamanya di Museum Denpasar. Lini, yang memiliki nama lengkap Nataliniwidhiasi, segera memperoleh julukan "anak ajaib". Karyanya memukau orang dewasa. Pelukis Affandi almarhum iri melihat kepolosan Lini. "Saya ngiler melihat coretan Lini. Saya kepingin menjadi anak-anak lagi dan melukis bersama Lini," demikian tulis Affandi dalam buku Garis-Garis Lini. Penyair W.S. Rendra menyebut karya lukis Lini sebagai firdaus yang hilang. Lini tumbuh menjadi anak ajaib. Berbagai penghargaan internasional ia raih dari Italia, Jepang, India, dan Thailand, pada saat masih berusia 8 hingga 13 tahun. "Melukis adalah cita-cita saya sejak kecil dan saya ingin menjadi pelukis profesional," katanya. Tapi cita-cita itu hingga kini masih berupa cita-cita. Karena Lini, 37 tahun, disibukkan dengan profesi yang mau tak mau harus ia jalani sebagai ibu tiga anak. Lini mengalami masa sulit saat melalui usia anak-anak menuju dewasa. Ia bingung terhadap pikiran dan perasaannya sendiri. Tiba-tiba kemampuan Lini melukis raib begitu saja. "Saya sampai menangis dan bertanya pada Papi: Yo opo to Pi, aku kok gak iso nggambar maneh (bagaimana sih Pi, saya tidak bisa menggambar lagi)," tutur Lini mengenang. Ayahnya, pelukis Tedja Suminar, memang berhasil membantu Lini melewati masa kritis, tapi Lini menyadari dirinya tak lagi bisa menjadi Lini yang dulu. Kuliah di fakultas psikologi, dan kemudian menikah, semakin menjauhkan Lini dari cita-citanya. "Saat melukis, tahu-tahu suami bertanya: belanja apa, Bu. Waduh, hilang semuanya," kata Lini. Bagi sejarawan seni rupa Soedarso S.P., kegagalan anak berbakat menjadi pelukis profesional terjadi karena anak kehilangan arah untuk terus mengikuti bakatnya. "Sang anak mengalami syok ketika dia merasa bahwa lukisannya jelek dibandingkan dengan lukisan orang dewasa," kata dosen ISI Yogyakarta ini. Karya lukis anak-anak berbeda nilainya dari karya lukis orang dewasa, karena lukisan merupakan ekspresi yang sesuai dengan perkembangan jiwa. Maka, kata Soedarso, anak yang memperoleh bimbingan saat masa krisis dengan lingkungan yang mendukung akan memberi peluang untuk menjadi seniman kala dewasa. Tapi bimbingan yang salah bisa celaka. "Ambisi orang tua membuat anak tertekan. Anak pun mogok melukis," katanya. Lini tentu tak harus menjadi stigma bagi orang tua semacam Sri Harjanto Sahid, yang memberi lingkungan dan dorongan melukis pada anaknya, Wiku Pulangsih, atau Nisyatul Laely terhadap Ita. Yang penting, mudah-mudahan menjadi pelukis adalah impian sang anak, bukan sekadar ambisi orang tua. Raihul Fadjri, Ecep S. Yasa (Semarang), Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus