Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jari-Jari Wiku di Atas Kanvas

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINDING itu mengatakan "Dunia Harry Potter". Sosok rekaan J.K. Rowling yang luar biasa populer itu kini ditumpahkan di atas kanvas: dia berdiri, Harry Potter, berkacamata, berjubah, dengan ular, dengan latar belakang warna oranye, biru, dan warna meriah lainnya. Itu hasil karya sepuluh jari kecil Wiku Pulangsih, bocah berusia 13 tahun yang menyemprotkan bakat luar biasa melalui dunia kanvas. Mungkin ini pula yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang pelukis "bocah", karena referensinya adalah sosok pahlawan dari empat buku yang dilahapnya habis-habisan itu. Di ruangan tamu yang penuh sesak dengan jejeran kanvas berukuran besar tersender di dinding, Wiku asyik menggambar bentuk monster di atas kanvas berukuran 5 meter. Sedangkan dua adiknya, Seruni Bojawati, 10 tahun, dan Ratu Pandan Wangi, 6 tahun, dengan santai duduk di lantai menggambar bentuk figur perempuan di kanvas yang lebih kecil. Ketiganya hanya diam, tapi tangan mereka terus menari-nari di atas kanvas. Sementara itu, pe-lukis Woro Anindiyah, sang ibu, sibuk melayani si bungsu, Satrio Kinasih, yang masih berusia 20 bulan, di meja makan. Tiba-tiba Satrio turun dari pangkuan ibunya dan meminta kuas. Dengan berjalan tertatih-tatih ia menyongsong ayahnya, Sri Harjanto Sahid, yang menyodorkan kuas yang sudah dilumuri cat. Harjanto menyiapkan kanvas kecil. Tangan kecil itu segera mencoret satu garis panjang di atas kanvas sembari terkekeh-kekeh. Wiku hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk mengisi hampir semua bidang kanvasnya dengan bentuk figur imajinatif. Setiap figur diberi nomor. Meski lukisan itu belum selesai, Wiku sudah memberi judul Pembukaan Piala Dunia Jepang-Korea 2002. Ia meletakkan kuasnya dan beranjak ke pesawat televisi. "Besok saja disambung lagi," ujar Wiku, sembari mulai memainkan joystick playstation. Itulah kegiatan sehari-hari Wiku. Melukis nyaris setiap hari. Kalau tidak di atas kanvas, ia menggambar di atas kertas, atau sekadar corat-coret di kertas rokok. Wiku adalah sebuah fenomena dunia imajinasi anak-anak. Saat balita lain memperoleh limpahan benda-benda mainan, Wiku memperoleh kemanjaan lain dari orang tuanya berupa kuas, cat, kertas, dan akhirnya kanvas. Tak mengherankan, pada usia dua setengah tahun Wiku sudah menggelar pameran tunggal pada 1992, yang menyajikan 80 karya lukisnya. Semuanya masih berupa corat-coret khas lukisan anak-anak pada tahap awal. Ia mulai menggarap bentuk sepenuhnya pada usia lima setengah tahun. Ketika anak-anak senang melukis obyek yang klise berupa sawah, rumah, atau upacara bendera di sekolah, Wiku asyik melambungkan imajinasinya tentang dunia monster atau hantu. Wiku, yang kini mengenakan kacamata minus 4, menyerap semua informasi yang ia peroleh dari televisi, buku, videogame. Ia sudah menyantap 18 jilid mitologi Yunani dalam waktu tiga bulan saat masih TK kecil. Hasilnya, di tahun 1996, ia menciptakan lukisan berjudul Promettheus Menyuruh Kucing Menurunkan Keindahan. Karya ini berupa bentuk bulan besar dalam warna merah dengan dua ekor kucing di kiri-kanannya. Tema dan judul karyanya sering terkesan aneh untuk anak seusia Wiku. Pada usia 11 tahun, ia membuat lukisan sosok hitam yang menampakkan gigi tajam dengan mata membelalak dengan latar belakang warna merah-putih. Lukisan ini ia beri judul Drakula Politik Menguasai Indonesia. Lingkungan berkesenian sudah tersedia karena Harjanto memang punya hobi melukis dan istrinya adalah pelukis Woro Anindiyah. Menurut Harjanto, selain produktif, Wiku juga kreatif. "Jarang sekali Wiku mengulang bentuk-bentuk yang sudah pernah ia lukis," kata Harjanto. Pada pamerannya yang keenam, barulah karya lukisnya terjual. Hingga saat ini Wiku sudah menggelar pameran tunggal sebanyak delapan kali. Kini ia melukis di atas kanvas berukuran besar (5 x 1,45 meter). Orang boleh ternganga ketika Harjanto menyatakan sejak usia 10 bulan hingga kini Wiku sudah membuat 15 ribu karya dengan media kertas dan kanvas. Semuanya didokumentasi dengan baik oleh sang Ayah. Hebatnya, nilai karya lukis Wiku paling tinggi kini mencapai Rp 15 juta. Pembelinya umumnya orang asing, atau orang yang berminat pada masalah pendidikan. "Wiku kini sudah membiayai hidupnya sendiri," ujar Harjanto. Wiku memang berpotensi menjadi tambang emas bagi orang tuanya. Tapi, bagi Harjanto, perhatiannya hanya tertuju pada bakat besar anak sulungnya ini dalam seni lukis. Harjanto pun ingin Wiku saat dewasa menjadi pe-lukis. Harjanto bukannya tak sadar adanya tuduhan bahwa ia mengeksploitasi anak. "Saya pernah merasa bersalah, tapi boleh kan saya bermimpi seperti orang tua Rudi Hartono, yang saat masih berusia 4 tahun sudah disodori raket," kata Harjanto. Ia pun rela meninggalkan dunia teater untuk mewujudkan impian itu. Harjanto sebagai ayah boleh bermimpi tentang masa depan Wiku, tapi ia tahu persis bahwa Wikulah akhirnya yang menentukan masa depannya. "Saya ingin jadi dokter, tapi juga melukis," katanya. Tentu saja waktu akan menunjukkan apakah Wiku akan menjadi seorang pelukis besar ataukah ia membelok ke profesi lain. Raihul Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus