Matahari sudah lingsir ke barat ketika bus lintas Sumatera itu merapat ke sebuah restoran di Mentawak di wilayah Jambi. Dengan kaus dan celana lusuh, seorang lelaki berambut gembel mencegat penumpang yang mau makan siang. ”Ramuan asli Kubu,” katanya, sambil mengangsurkan obat gosok, tangkur buaya, kulit rusa, juga mani gajah.
Mani gajah? Segumpal cairan putih kental tampak meringkuk dalam botol bekas obat batuk. ”Betul, ini untuk pelet, pemikat wanita,” katanya cepat. Ah, mana mungkin hewan bermuka seram itu bisa diperas ”anunya”. Tapi si gembel ngotot terus. Ia mengatakan cairan sperma itu diambil dari testis gajah yang mati diburunya. Makin banyak ia mengoceh, makin sulit akal sehat bisa menerimanya.
Tentu saja Pematas—begitu nama si gembel itu—cuma menjual bualan. Melihat gajah saja ia belum pernah, apalagi bisa memerah air maninya. Tapi, soal ramuan Kubu, tampaknya ia tak berbohong. Lelaki berumur 30 tahunan itu memang asli berasal dari suku Kubu—salah satu kelompok masyarakat paling tua yang hidup di belantara Sumatera, sejak sekitar 4.000 tahun lalu (lihat ’Big Foot’ dari Hutan Jambi).
Bahwa Pematas minggat dari hutan dan memilih gentayangan di kota, itu jelas melanggar adat. Nenek moyang Kubu telah membagi jagat ini dalam dua wilayah: dunia ”orang terang”, yang hidup di bawah sinar matahari; dan orang rimba, yang bertahan dalam kegelapan hutan. Itu sebabnya mereka memilih menyebut diri sebagai orang rimba—bukan Kubu, yang berarti jorok, bodoh, terbelakang, dan punya ilmu hitam.
Pilihan Pematas tentu bukan tanpa risiko: ia dan keluarganya bisa dibuang, dan haknya dicopot se-bagai kerabat orang rimba. Pematas bukan tak tahu ancaman ini. Tapi ia mengaku tak punya pilihan. Bertahan hidup di hutan makin sulit saja. Binatang buruan, madu, rotan, bahkan ubi tak mudah diperoleh lagi. Paling banter, Pematas hanya bisa menangkap biawak, ular, atau tikus, sesekali saja babi hutan. ”Ubi saja mesti beli di pasar,” katanya, sambil mengampelas kecepek, senjata rakitan untuk berburu babi, yang makin jarang ketemu sasaran itu.
Tak tahan dengan kepahitan hidup di hutan, Pematas memilih ”jalan-tengah”. Bersama saudara dan mertuanya, ia membangun bubung (gubuk) di kebun karet transmigran, dekat jalan lintas Sumatera. Kalau buruan lagi sepi, ia ganti profesi jadi pedagang asongan. Itu pun ia harus sering memindahkan bubung karena diusir pemilik kebun. ”Kami ini seperti rumput liar, terus diusir dan disisihkan,” katanya kepada TEMPO.
Selama 25 tahun terakhir, sejak peradaban mulai menyentuhkan sihirnya ke hutan-hutan di Sumatera, hidup bagi orang rimba seperti perjudian yang sia-sia. Transmigran, perusahaan perkebunan, dan pengusaha pemilik HPH silih berganti merangsek dan merampas wilayah mereka. Belukar disulap menjadi pokok sawit dan deretan karet. Sungai diperkeras dengan aspal menjadi jalanan. Babi hutan berlarian, berubah menjadi derum bus dan truk. Yang tersisa kini tinggal secuil hutan di Bukit Duabelas, persis di jantung Provinsi Jambi. Itu pun belakangan mulai dirambah para pembuka ladang ataupun pencuri kayu.
Bagi orang rimba, kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, yang luasnya hampir menyamai wilayah DKI Jakarta itu, seperti surga penghabisan. Mereka tinggal di beberapa petak, jauh di bagian tengah dan hulu Sungai Makekal, Air Hitam, dan Kali Kejasung. Jumlah mereka terus menyusut. Ensiklopedia Suku Bangsa Indonesia memperkirakan populasi orang rimba tinggal 12 ribu. Tapi sensus Warsi, LSM yang selama ini mendampingi orang rimba, mencatat angka yang merisaukan: jumlah mereka tinggal 2.700—hampir separuhnya berada di Bukit Duabelas.
Jika dibiarkan, angka ini akan terus menipis, bahkan tidak mustahil bakal segera habis. Daya dukung hutan sebagai sumber kehidupan makin tak memadai. Air sungai, yang sedari dulu dijaga setiti hati-hati (orang rimba diharamkan memakai sabun dan buang hajat di kali untuk menjaga kesucian airnya), kini justru jadi sumber penyakit. Wabah muntaber dan pelbagai penyakit aneh bermunculan, tanpa ketahuan obat penangkalnya. Para temenggung (tetua adat Kubu), yang juga bertugas menjadi tabib, kini kesulitan meracik ramuan obat. Sejumlah perdu dan herba yang dulu manjur mengobati puluhan penyakit pelan-pelan mulai punah bersama rusaknya hutan.
Sementara itu, siklus melangun—budaya pindah ladang karena kematian kerabat—kian hari makin cepat saja. Padahal tradisi ini merupakan ikhtiar tradisional untuk menjaga kesuburan tanah. Dulu perlu tiga sampai lima tahun sebelum kembali lagi ke lokasi semula. Kini rentang waktunya tinggal bilangan bulan saja. ”Lahan belum subur, kami sudah kembali lagi,” kata Temenggung Enggrip, tetua adat Makekal Tengah, kepada TEMPO.
Dalam situasi yang rawan seperti itu, konflik gampang meletus. Hari-hari ini perundingan Temenggung Mirak dengan penduduk desa di bagian barat Bukit Duabelas berjalan panas. Mirak minta agar penduduk menghentikan penjarahan hutan. Soalnya, rombong (kumpulan gubuk) kelompok ini tinggal berjarak dua ratus meter saja dari ladang penduduk. Perundingan amat alot karena orang-orang desa juga merasa diperlakukan tidak adil. Begitu Bukit Duabelas diresmikan menjadi taman nasional tahun lalu, mereka dilarang masuk hutan, sedangkan orang Kubu justru berkeliaran di dalamnya.
Bukan hanya dengan orang-orang desa, bentrokan juga gampang meletup dengan pembalok kayu. Dua tahun lalu, kelompok Temenggung Marid dari Serenggam mencoba menghalangi truk penebang pohon. Namun, para pembalok liar itu malah menyerang dan mengejar. Dua orang kerabat Marid tertangkap dan dihajar hingga tewas.
Ancaman yang lain datang dari kepercayaan adat yang merugikan. Orang rimba menyerah pada permintaan ”pangkal waris”, yang pantang ditampik. Dulu, sebelum abad ke-20, pangkal waris merupakan penghubung antara Raja Jambi dan rakyat yang tersebar di anak-anak Sungai Batanghari. Pangkal waris membagikan kain dan peralatan berburu sebagai imbalan pajak hasil bumi yang mereka kutip.
Sekarang, praktek barter ini terus berlangsung, tapi dengan nilai tukar yang ditentukan semaunya oleh pangkal waris. Orang rimba tak sanggup menolak karena mereka percaya permintaan ini dideking aparat kecamatan atau kepolisian. Dengan memenuhi tuntutan pangkal waris, mereka yakin bisa terhindar dari campur tangan alat-alat pemerintah. Akibatnya, hasil bumi orang rimba dijarah dengan harga murah, bahkan anak-anak mereka diperjualbelikan seperti budak (lihat Yang Takluk dalam Dupa Kemenyan).
Akibat tekanan ini, banyak yang ”menyerah”. Mereka melawan takdir sebagai orang rimba dan belajar menjadi ”orang terang”. Misalnya, dengan mengikuti program permukiman yang digelar pemerintah. Sejak sepuluh tahun lalu, sudah ada 62 keluarga yang mengikuti program, tapi hanya separuh yang bertahan. Mereka tak sanggup hidup menetap dan bercocok tanam. Mereka yang bertahan mengaku malu harus hidup dalam belukar.
Sementara itu, mereka yang bertahan di dalam hutan kian ketinggalan. Upaya membuka pintu pikiran orang rimba dengan menyediakan sekolah tak pernah berhasil. Suku Kubu percaya, pendidikan hanya akan merusak akhlak dan menghasut anak-anak rimba menjadi orang jahat seperti orang terang. Kalaupun ada setitik harapan, itu datang dari pen-didikan informal yang dilakukan diam-diam oleh sejumlah tenaga sukarelawan Jambi.
Mereka mengajari beberapa anak rimba membaca dan menulis, lalu dari anak-anak inilah akan muncul beberapa ”guru” orang rimba asli. Guru baru inilah yang kemudian menularkan pengetahuannya kepada teman-teman lainnya. Meskipun upaya ini tidak kecil artinya bagi daya nalar orang rimba, harus diakui kemajuannya sangat lamban. Sebagian dari orang Kubu memang tak bisa lagi ditipu tauke-tauke pe-dagang kelontong. Tapi pelajaran baca-tulis saja mustahil menandingi putaran gergaji mesin para pembabat hutan.
Robert Aritonang, antropolog yang bekerja untuk Warsi, percaya bahwa perubahan harus dilakukan dari dalam oleh orang rimba sendiri. Selama ini mereka tak pernah menduga teknologi bisa menghabiskan hutan ribuan hektare hanya dalam hitungan bulan. ”Bagi orang rimba,” kata Robert, ”ini pertanda kiamat telah dekat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini