DJADOEG Djajakusuma hidup kembali di Taman Ismail Marzuki. Memang, orang tidak akan berjumpa lagi dengan sosok seorang tua berambut putih panjang yang terjalin rapi itu. Ia sudah meninggal, ketika memimpin upacara Sumpah Pemuda di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), lima tahun lalu. Namun, jika orang datang ke Pekan Retrospeksi Film D. Djajakusuma, yang berlangsung sejak 24 sampai 28 Januari di Teater Tertutup TIM, itu memang berarti ikut merayakan sebuah upacara kebangkitan kembali. Selama ini Pak Djaja, begitulah ia biasa disebut, secara terbatas hanya dikenal lewat dua film yang tampaknya akan menjadi klasik: Harimau Tjampa (1953) dan Tjambuk Api (1959). Keduanya merupakan film hitam-putih, dengan warna etnografis, yang secara mengejutkan disambut hangat dalam Festival Tiga Benua 1984 di Nantes, Perancis. Dalam pekan film ini, penemuan yang mengejutkan akan bertambah karena terdapat tiga film lagi yang belum pernah diketahui orang, yakni Embun (1951), Pak Prawiro (1960), dan Rimba Bergema (1963). Ketika film-film tokoh yang selalu mempertahankan kehidupan seni tradisi itu didata kembali, ternyata banyak yang kopinya sudah rusak berat atau hilang. Ketika dicek kembali ke Sinematek Indonesia, perpustakaan film yang kekurangan dana itu, ternyata masih terdapat kopi negatif beberapa film yang bisa dicetak lagi. Marselli, anggota Dewan Kesenian Jakarta yang mempersiapkan pekan film ini, memilih ketiga film tersebut. Film Djajakusuma yang lain, seperti Terimalah Laguku, sebuah eksperimen musikal, hilang lenyap tak tentu rimbanya. Penemuan ini disebut mengejutkan karena kualitasnya sebagai film. Jadi, bukan karena nostalgia, bukan pula karena eksotisme. Sehingga, dalam sebuah retrospeksi, bisa disebut suatu kebangkitan kembali, karena selama ini Djajakusuma tidak pernah dipuji sebagai seniman. Tepatnya, sebagai sineas. Memang ia dihormati sebagai aktivis kebudayaan yang tidak pernah berhenti membina dan menjaga kehidupan seni. Bukan hanya seni tradisi seperti wayang orang Bharata dan lenong, tapi juga seni modern, antara lain dengan kehadirannya yang tak pernah putus di IKJ. Barangkali ini terjadi karena dalam belasan tahun terakhir Djajakusuma sudah tidak membuat film. Tepatnya, tentu, tidak ditawari membuat film komersial, karena dari tangan seorang Djajakusuma tak akan lahir film yang dibuat dengan selera pasar. Apalagi filmnya yang paling mutakhir, seperti Api di Bukit Menoreh (1971) dan Malin Kundang (1972), selain tidak meledak secara komersial, juga tidak mendapat sambutan para kritikus. Selain itu, kritikus tahun 1950 sampai 1980-an menganggap sepi karya-karya Djajakusuma pada dasawarsa tersebut boleh jadi karena terpesona oleh jargon-jargon kesenian yang berkiblat di luar bumi Indonesia. Namun, toh satu-satunya ujian bagi kesenian adalah waktu. Penemuan kembali film-film Djajakusuma tersebut bagaikan penemuan mutiara yang hilang. Rimba Bergema, dengan pemain seperti Ray Iskandar, Rita Zahara, Aedy Moward, dan Parto Tegal, meskipun kurang berhasil sebagai film, sangat bermanfaat sebagai dokumen sosial pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Bagaimana orang-orang berjuang meningkatkan taraf hidup, dengan menyeberang dari Jawa ke Sumatera, tanpa menyebut sepatah pun kata transmigrasi. Dalam film ini, Djajakusuma berhasil merekam kehidupan di perkebunan karet di wilayah Deli. Film pertama Djajakusuma, Embun, adalah sebuah usaha menangkap kegelisahan jiwa. Tokohnya, Sulaiman -- dimainkan A.N. Alcaff -- adalah seorang pejuang dalam revolusi fisik, yang menjadi serba salah tanpa senjata. Film ini bagaikan sebuah sisi lain dari Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail. Hanya saja, tokoh Usmar mengalami nasib yang tragis dalam kegelapan jiwa di kota, sedangkan tokoh Djajakusuma mengalami pencerahan di desa. Lokasi Gunungkidul dimanfaatkan kamerawan Max Tera dengan baik, menghadirkan komposisi geografis serba spektakuler. Adapun tata musik yang digarap Tjok Sinsoe, jika direkam ulang secara digital (digitally remastered), akan segera diterkam para penggemar musik. Kebangkitan kembali Djajakusuma sebetulnya dikukuhkan oleh Pak Prawiro. Beliau telah mengolah sebuah film penerangan mengenai Bank Tabungan Pos, menjadi sebuah komedi yang gemilang. Lebih dari sekadar komedi, dalam film ini Djajakusuma juga menancapkan dramaturginya sendiri. Dengan iringan musik gamelan, Djajakusuma berkisah tentang kehidupan sehari-hari seorang pensiunan, secara komis. Hebatnya, Djajakusuma berhasil mengumbar imajinasi yang liar, yang belum pernah ada dalam sinema Indonesia selama ini. Sedangkan Rendra Karno, sebagai Pak Prawiro, layak mendapat penghargaan meski terlambat. Tentu tidak bisa diharapkan bahwa film-film itu secara teknis sudah canggih. Meskipun begitu, setelah lebih dari 30 sampai 40 tahun, film-film ini tetap memperlihatkan gurat-gurat keindahan sinematis yang mempesona. Film-film ini juga menunjukkan bahwa ''Bapak Perfilman Indonesia'' bukan cuma Usmar Ismail, melainkan juga Djadoeg Djajakusuma. Seno Gumira Ajidarma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini