Buku Aung San Suu Kyi menggambarkan keberanian dan langkah politik menentang rezim yang berkuasa di Birma. Ada kritik, konsepnya belum kongkret untuk demokrasi dan hak asasi. APA yang bisa diperbuat seorang suami jika istrinya dikurung oleh lawan politiknya? Yang paling menarik adalah menerbitkan buku mengenai ketokohan, kepribadian, dan keberanian istrinya. Itu yang dilakukan Michael Aris, suami tokoh oposisi Birma Aung San Suu Kyi, yang kini menjalani tahanan rumah selama empat tahun. Hasilnya adalah kumpulan esei, bagian dari surat-surat pribadi, pidato-pidato Suu Kyi, dan wawancaranya dengan berbagai media massa. ''Tujuan kumpulan tulisan Suu Kyi ini untuk melawan serangan terhadap nama baiknya serta untuk menjelaskan harapannya untuk masa depan tanah airnya,'' kata Michael pada TEMPO, ketika buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris dua tahun silam. Memang lima tahun yang lalu Suu Kyi tak dikenal banyak orang. Di tanah airnya Birma, yang kini dinamakan Myanmar oleh para penguasa militer, mungkin ada yang masih ingat anak bungsu Jenderal Aung San itu. Sang Jenderal mendiang adalah pahlawan nasional yang amat dicintai rakyat Myanmar. Padahal Suu Kyi sendiri, seorang pakar masalah Asia di Universitas Oxford ternama itu, cukup tenar akibat tulisan-tulisannya yang sudah banyak diterbitkan. Sayang, karyanya itu dicap sebagai bacaan terlarang di Myanmar. Sedangkan Suu Kyi sendiri lebih banyak hidup di luar negeri. Namun kehidupan akademis itu berubah radikal pada pertengahan tahun 1988. Di tengah pergolakan mahasiswa yang meledak, wanita yang jarang ikut kegiatan aktivis itu tiba-tiba tampil di panggung politik. ''Saya sama sekali tak menduga perkembangan ini,'' pernah dikatakan Suu Kyi kepada TEMPO dalam suatu wawancara. Memang, sebenarnya perjalanannya dari Inggris ke Myanmar tahun itu hanya untuk menengok ibunya yang sedang sakit keras. Dengan pesat Suu Kyi menjadi penyambung lidah rakyat yang merasa tertekan oleh kekuasaaan Jenderal Ne Win sejak tahun 1962. Popularitas Suu Kyi kian meningkat hingga ia berani menyerang Ne Win. Akhirnya pada Juni 1989, setelah menuduh Ne Win sebagai penyebab kebangkrutan negara, Suu Kyi kena tahanan rumah. Di balik tahanan itu ia toh berhasil memenangkan pemilu tahun berikutnya. Partai yang dipimpinnya, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), menang mutlak. Cuma, rezim militer di Yangon (dahulu Rangoon), menolak menyerahkan kekuasaan. Banyak pemimpin partai LND ditahan. Ia dilarang menerima berita dari luar, termasuk dari suami dan kedua anak lelakinya di Inggris. Tahun 1991 Suu Kyi terpilih sebagai pemenang Nobel karena perannya dalam membangkitkan demokrasi di Myanmar. Buku yang disunting oleh suaminya, Michael Aris, mencoba menggambarkan Suu Kyi sebagai seorang warga negara Myanmar yang sejati. Sebab di mata penguasa militer, Suu Kyi tak boleh ikut dalam kegiatan politik di negerinya. Alasannya, ia hidup lama di luar negeri, suaminya orang Barat, dan kurang paham masalah sosial politik negeri itu. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Yang pertama berupa pembahasan mendalam mengenai sejarah, sastra, kebudayaan, dan perkembangan kegiatan politik di Myanmar. Esei panjang tentang ayahnya, Jenderal Aung San, menunjukkan rasa tanggung jawab Suu Kyi untuk meneruskan misi ayahnya yang gagal karena sang ayah terbunuh oleh lawan politiknya. Bagian kedua lebih menampilkan jalannya demokrasi, termasuk upaya Suu Kyi untuk membangkitkan semangat rakyat dalam kampanye menjelang pemilu tahun 1990. Mungkin yang paling menarik adalah bagian terakhir. Ada opini beberapa tokoh dan pakar tentang Suu Kyi dan tulisan-tulisannya. Dan tak semuanya mengandung pujian, kendati ada kecenderungan untuk tak menyerangnya. Suu Kyi merupakan lambang perjuangan antipenindasan. Misalnya, Josef Silverstein, ahli masalah Birma. Ia mempertanyakan pemimpin macam apa Suu Kyi seandainya boleh ikut pemilu dan menang. ''Sejauh ini belum ditunjukkan bahwa ia (Suu Kyi) seorang pemikir sistematis yang dilengkapi dengan pemikiran matang mengenai tujuan yang akan dicapai,'' kata Silverstein. Ia juga menambahkan, Suu Kyi belum memberikan jawaban jelas bagaimana demokrasi dapat dilembagakan, menciptakan kesatuan nasional, memperbaiki ekonomi, dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi dan politik.'' Buku ini merupakan terjemahan langsung dari aslinya berjudul Freedom from Fear. Tak tampak ada penyimpangan yang mencolok. Hanya satu keganjilan, yakni penggunaan nama Myanmar. Dalam buku aslinya, Suu Kyi tak pernah menggunakan nama itu. Sebab ia tak pernah setuju negerinya diberi nama Myanmar. Kepada TEMPO, Suu Kyi menjelaskan bahwa Myanmar berarti suku Burman. ''Ini bisa diartikan bahwa yang berkuasa suku Burman. Padahal harapan kami adalah untuk menyatukan semua suku di negeri kami, dan nama Birma itulah yang diterima semua kelompok,'' kata Suu Kyi. Kalau para redaktur dan penerjemah ingin menggunakan Myanmar, memang tak salah sebab itu nama resmi Birma selama empat tahun ini. Namun, karena dalam buku aslinya Suu Kyi sendiri enggan memakai nama Myanmar, sebaiknya ada penjelasan. Sebagai orang yang mengenal sifat Suu Kyi, saya yakin ia pasti marah jika melihat perubahan dalam tulisannya itu. Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini