Jurassic Park III
Sutradara : Joe Johnston
Skenario : Peter Buchman, Alexander Payne, James Taylor, Jim Taylor
Pemain : Sam Neill, Tea Leoni, William H. Macy, Laura Dern
Produksi : Dreamworks, 2001
SENSASI memang tak gampang diulang. Dunia heboh saat Jurassic Park karya Steven Spielberg dirilis pada 1993. Dinosaurus, yang selama ini hanya dikenal lewat buku atau patung, tiba-tiba "hidup" menyapa publik. Demam kadal purba ini pun terjadi di mana-mana, baik di tataran ilmiah maupun yang sekadar main-main. Yang paling diuntungkan tentunya Dreamworks, yang berhasil meraup US$ 920 juta lewat film ini. The Lost World (1997), seri kedua Jurassic Park, masih sukses besar dengan pendapatan US$ 614 juta. Namun, penonton tak lagi terperangah seperti saat menonton film pertama. Maklum, menu yang disajikan bukan barang asing lagi.
Bagaimana dengan Jurassic Park III? Dari segi komersial, film ini tak terlalu jelek hasilnya. Sampai pekan ketiga, film ini berhasil menjala US$ 146 juta di Amerika Utara saja. Pencapaian artistik dalam film ini pun tak bisa dibilang sepele. Sutradara Joe Johnston (sebelumnya pernah menggarap Honey, I Shrunk the Kids dan Jumanji), yang menggantikan peran Spielberg, bahkan mampu menciptakan ketegangan yang melebihi dua seri sebelumnya. Namun, karena ini film sekuel, sajian trik yang canggih pun tetap terasa klise.
Mekipun begitu, bukan berarti tak ada hal baru. Dalam film Jurassic Park III, penonton diajak berkenalan dengan spinosaurus, jenis dinosaurus yang lebih besar dan buas. Selain itu, ada adegan terbang pteranodons, reptil raksasa bersayap, yang mendebarkan. Adegan velociraptor yang berkomunikasi dengan sesamanya juga menarik.
Jurassic Park III kembali berseting di Isla Sorna, seperti seri pertama. Dr. Alan Grant (Sam Neill) terpaksa menerima tawaran dari pasangan miliarder Paul dan Amanda Kirby (dimainkan William H. Macy dan Tea Leoni) untuk kembali ke pulau seram itu. Ia membutuhkan dana banyak untuk penelitiannya. Semula Kirby menyebut ingin berwisata. Namun, ternyata mereka ingin menyelamatkan anak mereka yang hilang di pulau itu. Tentu saja ini bukan tindakan yang cerdas. Bila duit mereka begitu banyak, mengapa mereka tak sekalian meminta pasukan penyelamat? Bisa ditebak, segelintir orang ini akhirnya pontang-panting menghadapi keganasan satwa liar.
Skenario film ini, yang tak lagi bersumber dari buku Michael Crichton, memang punya banyak kelemahan. Adegan penutupnya, misalnya, jelas-jelas dirancang untuk menyiapkan sekuel keempat. Persoalannya: apa menu ini kelak masih menggoda?
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini