BILA demokrasi masih mahal, mungkin korupsi yang terhitung murah dan gampang menjatuhkan rezim. Dulu, mantan penguasa Orde Baru, Soeharto, yang tujuh kali menjadi presiden, secara formal diadili karena kasus berbagai yayasan. Lantas, B.J. Habibie gagal menjadi presiden kedua kalinya gara-gara skandal Bank Bali. Setelah itu, giliran Presiden Abdurrahman Wahid yang dilengserkan MPR akibat kasus dana Bulog senilai Rp 35 miliar.
Kasus korupsi ataupun kolusi yang terkait dengan Presiden Abdurrahman dan Habibie tersidik lewat jalan politik di DPR. Sayangnya, hingga kini belum ada perangkat hukum untuk mekanisme pengusutan presiden melalui jalur peradilan pidana. Kalaupun terpaksa dengan instrumen hukum seadanya, yakni KUHAP dan KUHP, toh pengadilan akhirnya merasa tak perlu membuktikan lebih lanjut keterlibatan Presiden Abdurrahman dalam kasus Bulog.
Dalam kasus dana Bulog, dua terdakwanya, Wakil Kepala Bulog Sapuan dan Soewondo, wiraswasta yang disebut-sebut sebagai tukang pijit Gus Dur, telah divonis. Sapuan, yang juga Ketua Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog, dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dianggap terbukti melakukan penggelapan dalam jabatan.
Sementara itu, Soewondo Senin pekan lalu dihukum tiga setengah tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis hakim yang diketuai Suwardi menganggap Soewondo terbukti menipu Yanatera Bulog hingga yayasan itu merugi Rp 35 miliar.
Mendengar vonis yang enam bulan lebih berat ketimbang tuntutan Jaksa Nulis Sembiring, Soewondo, yang tangan kirinya terbalut perban bekas infus, hanya diam tertunduk. Seusai sidang, ia juga bungkam. "Pusing, saya pusing," ujar pria berusia 44 tahun itu, yang membiarkan rambut agak panjangnya berantakan menutupi wajah.
Tim pembela Soewondo sempat bersi-tegang dengan aparat kejaksaan. Mereka bersikeras membawa kliennya ke rumah sakit. Sementara itu, petugas kejaksaan akan memboyong terdakwa ke Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, sesuai dengan perintah hakim. Rupanya, sejak Februari 2001, Soewondo menikmati penangguhan penahanan dengan "menginap" di Rumah Sakit Kramat 128, Jakarta. Akhirnya, kejaksaan bisa menggiring Soewondo ke rumah tahanan.
Menurut majelis hakim, kasus Bulog yang mengguncang panggung politik itu semata-mata akibat muslihat Soewondo. Lewat bujuk rayunya kepada Sapuan, ia menerima uang Rp 35 miliar dari Yanatera. Uang itu cair karena Soewondo menyatakan Presiden Abdurrahman butuh dana kemanusiaan Aceh. Agar lebih meyakinkan, Soewondo juga mengaku sebagai asisten pribadi Gus Dur.
Ternyata, kata majelis, uang itu bukan di-salurkan ke Aceh, melainkan dibagi-bagikan ke mitra bisnis dan kerabat Soewondo. "Ter- dakwa juga cuma pedagang, bukan asisten pribadi Gus Dur," kata Hakim Suwardi. Majelis hakim juga menepis dalih bahwa kasus itu cuma urusan pinjam-meminjam. Sebab, perjanjian utang antara Soewondo dan Sapuan dibuat setelah uang diterima Soewondo dan kasus itu diributkan DPR.
Salah seorang pembela Soewondo, Hendra R. Putra, merasa berang dengan vonis hakim. "Apa dasar hukuman itu? Uang Yanatera dan bunga pinjamannya telah dikembalikan terdakwa," kata Hendra. Perkara pun makin bersifat perdata lantaran hakim memerintahkan agar harta Soewondo, yang dibeli dengan uang kasus Bulog, dikembalikan ke Yanatera. Bahkan mobil Mercy New Eyes, Range Rover, sebidang tanah di Sirnagalih, Jawa Barat, serta deposito Soewondo senilai Rp 16,5 miliar disita hakim.
Namun, Suwardi menganggap vonis itu sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Suwardi kembali mengingatkan bahwa perbuatan Soewondo telah menimbulkan keguncangan politik dan meresahkan masyarakat. "Bahkan Presiden Abdurrahman dimintai keterangan oleh DPR," ujar Suwardi. Ia juga membantah anggapan Hendra bahwa Soewondo cuma korban permainan politik. "Terdakwa yang meminta dan menerima uang itu dari Bulog. Bagaimana bisa dikatakan cuma korban?" ia menandaskan.
Adapun soal keterkaitan Soewondo dengan Presiden Abdurrahman, Suwardi menyatakan tak perlu diusut lebih lanjut. Alasannya, Gus Dur tak mengetahui masalah dana yang ditarik Soewondo. Hal itu berdasarkan keterangan tertulis Gus Dur setelah diperiksa Kapolri semasa Jenderal Rusdihardjo, dan pengakuan Soewondo di persidangan. "Ya, bisa dikatakan Soewondolah pelaku utamanya," kata Suwardi.
Agaknya, kasus dana Bulog sudah sayonara di vonis Soewondo. Kalaupun masih ada pengusutan, hanya menyangkut dua pengurus Yanatera Bulog, yakni Mulyono Makmur dan M. Jacob Ishak, yang sampai kini penyidikannya pun tak jelas. Sekalipun demikian, sejarah pahit kasus kolusi dan nepotisme akan menjadi pelajaran mahal buat pemerintah yang sekarang dikomandani Presiden Megawati Sukarnoputri.
Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini