Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kekerasan Struktural bagi Penghayat Kepercayaan

Meski identitasnya diakui negara, penghayat kepercayaan masih rentan kekerasan struktural. Bagaimana cara menghapusnya?

14 Februari 2025 | 15.00 WIB

Seorang pria Suku Badui Dalam menunjukkan KTP elektronik barunya untuk memenuhi syarat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di Binong, Lebak, Banten, Juni 2023. Antara/Andi Firdaus
Perbesar
Seorang pria Suku Badui Dalam menunjukkan KTP elektronik barunya untuk memenuhi syarat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di Binong, Lebak, Banten, Juni 2023. Antara/Andi Firdaus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 dianggap sebagai kemajuan dalam kemerdekaan beragama.

  • Namun, di lapangan, penghayat kepercayaan masih mengalami berbagai diskriminasi soal fasilitas ibadah, pelayanan administrasi publik, fasilitas pendidikan, dan lainnya.

  • Indonesia membutuhkan kebijakan yang menghapus diskriminasi dan membudayakan pendidikan demokrasi dalam berbagai lembaga pendidikan dan kehidupan bermasyarakat.

INDONESIA telah mengalami kemajuan dalam hal kemerdekaan beragama dan bertenggang rasa setelah reformasi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengisian Kolom Agama pada Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk bagi Penghayat Kepercayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sejak itu, negara mengakui keberadaan identitas penghayat kepercayaan secara resmi di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pencatatan perkawinannya. Hasilnya, ratusan ribu warga negara Indonesia (WNI) memiliki KTP dengan identitas penghayat kepercayaan. Sebelumnya, kolom agama dalam KTP diisi kosong bagi pemeluk kepercayaan, sehingga hak kemerdekaan menjalankan agama dan kepercayaan mereka belum sepenuhnya terjamin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Namun kemajuan tersebut belum cukup. Penghayat kepercayaan masih mengalami berbagai diskriminasi dalam hal fasilitas ibadah, pelayanan administrasi publik, fasilitas pendidikan, dan lainnya. Ini menjadikan mereka sebagai subaltern—kelompok yang ditundukkan oleh kelompok lain yang menguasai mereka.

Dalam konteks kewarganegaraan, identitas subaltern tidak mendapatkan perlindungan yang setara dan adil selayaknya warga negara lain. Mereka dianggap tidak ada atau dibungkam dalam konstruksi struktur sosial politik yang kompleks sehingga kesulitan untuk menyuarakan aspirasinya.

Ini disebabkan oleh, salah satunya, modernisasi yang memaksa warga untuk tunduk pada norma mayoritas. Sehingga terjadi degradasi terhadap pengetahuan asli.

Solusinya, Indonesia memerlukan kebijakan yang menghapus diskriminasi dan membudayakan pendidikan demokrasi dalam berbagai lembaga pendidikan dan kehidupan bermasyarakat. Sehingga hak penghayat kepercayaan dapat terpenuhi secara adil dan setara, serta masyarakat pun terlatih hidup harmonis dalam keberagaman.

Penghayat kepercayaan Pahoman Sejati dan Padepokan Seni Budi Aji melakukan ritual Sesaji Pisungsung Gunung di Ketep Pass, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Oktober 2020. Antara/Anis Efizudin

Degradasi Pengetahuan Asli

Modernisasi yang telah dimulai sejak zaman kolonial berdampak pada degradasi pengetahuan asli. Ini menyebabkan pemahaman kita terhadap pengetahuan dan kearifan lokal menjadi terbatas atau dipenuhi prasangka tertentu.

Bumi dengan pohon-pohon yang rapat dan hijau, contohnya, sering digambarkan dengan simbol yang mengerikan seperti genderuwo dan kuntilanak. Ahli pengobatan tradisional juga termarginalisasi sedemikian rupa sehingga istilah dukun sering dimaknai negatif. Dalam konteks penghayat kepercayaan, mereka kerap dipandang nyeleneh atau menyimpang dari identitas ideal mayoritas masyarakat.

Degradasi berbagai bentuk kearifan lokal dan pengetahuan autentik ini terjadi sedemikian rupa sehingga mendorong munculnya bentuk-bentuk kekerasan struktural dalam aspek sosial. Contohnya dalam hal fasilitas peribadatan, pendidikan formal, bias dalam norma sosial, serta penolakan sosial.

Kekerasan Struktural Halangi Kemerdekaan

Dalam hal tempat peribadatan, masih jarang fasilitas umum yang ramah terhadap keanekaragaman agama dan kepercayaan. Fasilitas keagamaan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai agama dan kepercayaan, seperti Puja Mandala di Bali, jumlahnya di Indonesia dapat dihitung dengan jari.

Lembaga pendidikan formal yang selayaknya mempromosikan keadilan bagi seluruh peserta didik dan staf terkesan memprioritaskan ibadah hanya untuk mayoritas pemeluk enam agama. Pengelola sekolah umumnya beralasan bahwa jumlah penghayat kepercayaan di sekolah mereka sangat sedikit sehingga tidak perlu mendapatkan tempat khusus.

Selain itu, norma sosial kadang bias dalam hal busana. Misalnya, di beberapa sekolah formal, siswi non-penghayat kepercayaan sering kali dipaksa mengenakan busana berlengan panjang, celana panjang, dan jilbab. Diskriminasi serupa muncul di lingkungan masyarakat, baik dari sebaya maupun orang yang lebih tua.

Ini berisiko memunculkan penolakan dan keterasingan sosial. Sebab, penghayat kepercayaan dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya, sehingga satu-satunya cara untuk diterima adalah dengan konformitas—menyesuaikan sikap dan perilaku dengan nilai atau kaidah yang berlaku. Jika tidak, kelompok minoritas akan kesulitan memperoleh pekerjaan dan mengakses kebutuhan dasar.

Para penganut kepercayaan Ugamo Malim melaksanakan ritual Sipaha Lima. Dok. Kemendikbud

Bagaimana Solusinya?

Kekerasan struktural yang menimpa penghayat kepercayaan membutuhkan solusi dari dua sisi. Dari sisi kelompok minoritas, penghayat kepercayaan perlu dibekali dengan kepercayaan diri, untuk berani tampil secara jujur dalam kondisi masyarakat yang beraneka ragam. Dengan bersikap jujur, kelompok minoritas ini akan makin mudah memperoleh penerimaan, sehingga perbedaannya dihormati dan kebutuhannya terpenuhi.

Namun ini hanya mungkin terjadi jika penghayat kepercayaan telah memiliki rasa aman dalam menjalankan kepercayaannya. Artinya, dari sisi pemerintah, mereka harus betul-betul menjamin kemerdekaan dan keamanan penghayat kepercayaan. Caranya adalah menyediakan ruang bagi kelompok minoritas penghayat kepercayaan untuk bersuara agar mendapatkan pemenuhan haknya sebagaimana warga negara yang lain.

Dengan kata lain, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengatur penyediaan fasilitas umum untuk peribadatan berbagai umat beragama, termasuk penghayat kepercayaan. Ini bisa dimulai dari lingkup kecil, seperti tempat kerja, lalu berkembang ke lingkungan tempat tinggal, seperti rukun tetangga dan desa.

Terakhir, penting bagi masyarakat untuk belajar tentang pendidikan yang saling memerdekakan, yaitu pendidikan yang memiliki tujuan bertenggang rasa dalam kehidupan demokratis. Dengan begitu, masyarakat akan mengembangkan sikap toleran, sesuai dengan pepatah live and let live yang dikutip Bung Karno dalam pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 yang berarti menjadi diri sendiri di tengah aneka identitas, dan melihat keberagaman sebagai harmoni yang selaras.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini sebelumnya terbit di The Conversation Indonesia dengan judul Meski Identitasnya sudah Diakui, Penghayat Kepercayaan masih Rentan Kekerasan Struktural.

Irfa Puspitasari

Irfa Puspitasari

Staf pengajar Universitas Airlangga, Surabaya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus