SEBUAH pergelaran dalam ragam klasik tidak sepantasnya dinilai dari sudut penataan atau komposisinya. Ia harus dibahas dari sudut interpretasi dan kemahiran pembawaannya. Tapi ini tak berarti segi penataan tidak mengambil peranan dalam seni tradisional ragam klasik. Sebuah badan kesenian kerajaan "diturunkan" ke khalayak ramai, di Gedung Kesenian Jakarta, 7-8-9 April lalu. Selama tiga malam itu tak satu mata acara tari yang diulang. Dan hampir tiap penari tentu harus siap untuk tiga tarian yang masing-masing minimal 30 menit. Yang berpentas ini adalah Kewedanaan Hageng Punakawan Krida Mardawa dari Keraton Yogyakarta, yang dibentuk Sultan Hamengku Buwono IX pada 1940. Pengembangan institusional dari pendidikan tari ragam klasik Yogyakarta merupakan riwayat tersendiri yang menarik. HB IX dalam sikap politiknya sangat revolusioner: ia republiken yang tangguh mengikis adat feodal dalam masyarakat kerajaan yang dipimpinnya. Namun, sikap budayanya, khususnya yang tampak dalam seni tari, menunjukkan kepemimpinannya dalam menjadikan tari tradisi di keratonnya itu tetap terpelihara dan tumbuh subur. HB IX menghidupkan budaya menapta dalam lingkup seni tradisi, melahirkan karya-karya baru. Di Gedung Kesenian dipergelarkan antara lain dua karya HB IX, Bedhaya Sangaskara dan Beksan Golek Menak. Acara lain adalah konser karawitan yang memperdengarkan "gendhing ageng", Beksan La7ung Ageng, dan dua fragmen ayang uong (drama tari) yang menampilkan cerita Arjuna Wiu!aha dan Subali Lena. Pentas bagian belakang diisi penuh oleh perangkat lengkap gamelan ber-laras, tangga nada acuan, Slendro dan Pelog (lihat boks). Para pemainnya mengenakan seragam hitam dan selempang kuning keemasan. Di deretan terdepan duduk tiga pesinden (swarawati), pemukul keprak (pemberi pukulan-pukulan aksentuasi untuk Iringan tari), pembaca kandha (narator), dan tiga orang lebdaswara (swarawan). Keenam mereka duduk dalam sikap tenang tapi siaga menyiratkan keutuhan pencurahan batin dalam berungkap seni suara. Tanpa pengeras suara, mereka menghadirkan keindahan yang menumbuhkan haru. Cengkok (lenggok lagu) mereka seperti jauh dari upaya memikat perhatian orang lain. Arahnya tidak ke virtuositas melainkan nada-nada itu muncul seperti alam. Bahkan, bagai bintang di langit jernih yang rindu akan sesuatu yang belum diketahui. Kualitas itu terungkap pula dari penarinya. Misalnya penari putri yang menarikan Bedhaya Sangaskara. Mereka luluh dalam irama, dalam gerak-gerakan halus, bersuasana semadi. Mungkin penonton yang masih berperasaan asing terhadap tari Jawa akan mengantuk dibuatnya. Sebaliknya, orang yang telah terbuka terhadap gaya ini akan terpikat dan terpukau mengikuti runutan detail demi detail, memungkinkan pengungkapan yang rampak, tapi tak mekanis. Demikian sempurnanya teknik tari mereka, sehingga ketika pada saat empat penari harus berbanjar dan yang tiga mengelompok terlalu dekat, dan membuat seorang seperti terpisah, ml terasa mengganggu. Pementasan itu berhasil menyajikan kualitas: dalam teknik, disiplin, dan penghayatan. Tapi berapa persen dari penonton menangkap kenikmatan itu? (Beberapa remaja d sebelahku tertawa-tava kecil hampir sepanjang pertunjukan juga ketika penyajian yang indah terungkap di pentas. Kala1 pergelaran semacam ini dibikin mahal dan langka, dapatkah warisan budaya ini bertahan dan menjadi milik bangsa?) Edi Sedyawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini