Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANTAI Katsiveli, Crimea, Ukraina, sekitar pukul 20.00 waktu setempat, 3 Oktober lalu. Dibungkus jaket tebal dan sarung tangan, puluhan anak-anak usia belasan tahun berkumpul di sebuah tenda besar tanpa dinding. Angin laut leluasa menerpa tubuh mereka. Suhu udara pada malam musim gugur itu sekitar 10 derajat Celsius. Amat dingin. Toh, mereka tampak sabar menunggu namanya dipanggil.
Suara panggilan itu datang dari luar tenda. Berada dalam tujuh titik yang terpisah, berdiri tujuh orang dewasa, memegang sehelai kertas dan pena. Merekalah yang memanggil nama setiap remaja satu per satu. Anak yang dipanggil berdialog dengan orang-orang itu selama sekitar tiga menit, sambil sesekali tangannya menunjuk ke arah langit yang terang.
Begitulah Olimpiade Astronomi Internasional itu digelar di Ukraina selama sepekan sampai 8 Oktober lalu. Lomba diikuti 76 siswa setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang berasal dari 18 negara. Mereka dibagi dalam dua grup: kelompok yunior, dengan umur maksimum 15 tahun, dan kelompok senior, maksimum 17 tahun.
Indonesia mengirimkan enam peserta. Kelompok yunior diwakili Ahmad Agung Ahkam (siswa SMPN 6 Makassar), Hartono Gunawan (siswa SMPK IPEKA Tomang, Jakarta), dan Rizky Rahmayanti (dari SMPN 1 Ponorogo, Jawa Timur). Kelompok senior terdiri atas Evan Gozali (SMAK Trimulia, Bandung), Jayawijayaningtiyas (SMAN 3 Bandung), dan Masyhur Aziz Hilmy (SMAN 1 Klaten, Jawa Tengah).
Hasilnya luar biasa. Mereka semua pulang membawa medali. Masyhur meraih medali emas, Evan mendapat perak, empat siswa lainnya mendapat perunggu. Tim Indonesia menempati urutan kelima, di bawah India, Moskow Land, Iran, dan Rusia.
Menurut Suhardja D. Wiramihardja, dosen astronomi Institut Teknologi Bandung, yang memimpin mereka, sebenarnya perolehan medali Indonesia sama dengan Rusia. "Bedanya, Rusia mendapat Polar Bear Prize," ujarnya. Itu sebuah penghargaan bagi siswa yang mampu menjawab soal secara brilian.
Prestasi tim Indonesia meningkat. Soalnya, tahun lalu, di Swedia, pertama kali ikut Olimpiade Astronomi, Indonesia hanya berada di peringkat ketujuh dengan meraih dua medali perak, satu perunggu, dan satu Polar Bear. Enam tim di atas prestasi Indonesia saat itu adalah Cina, Moskwa, India, Rusia, Armenia, dan Bulgaria.
Kegembiraan dirasakan Masyhur Aziz Hilmy, 16 tahun, yang mampu mempersembahkan emas. Sebelumnya, pemuda Klaten ini mesti melewati sejumlah seleksi di tingkat provinsi dan nasional agar bisa bergabung dengan tim Indonesia. Sepulang dari Ukraina, ia semakin mencintai astronomi. "Saya ingin terus belajar astronomi," tuturnya.
Begitu pula Evan Gozali, yang mendapat perak. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Saat lomba, ia mendapat pengalaman yang lucu. Ini gara-gara salah satu pengujinya, orang asli Ukraina, tidak terlalu lancar berbahasa Inggris. Akibatnya, Evan mesti berulang-ulang bicara agar bisa dimengerti oleh pengujinya itu. "Kacaulah waktu itu," kata pemuda Bandung itu sambil tertawa.
Pada hari pertama, memang diadakan ujian lisan di Pantai Katsiveli. Mereka dites pengetahuannya tentang bintang, sembari mengamati langsung ke langit. Saat itu, "Para siswa kita mampu menjawab pertanyaan dengan benar," ujar Suhardja.
Hari berikutnya, para siswa ini mengerjakan soal teori dan praktek, yang diadakan di sebuah ruang kelas milik sebuah sekolah pemerintah Ukraina. Lagi-lagi para pelajar Indonesia ini mampu menjawab segala pertanyaan dengan baik.
Semua itu merupakan buah penggemblengan yang serius di Lembang. Di sana semua siswa sebelumnya dilatih dengan soal-soal astronomi. Bahkan mereka juga diminta mengerjakan soal untuk mahasiswa S1 Astronomi ITB. "Materinya bermacam-macam, mulai dari astrofisika, kosmologi, sampai soal tata surya," kata Masyhur.
Tak cuma disodori banyak soal, mereka juga dilatih hidup dengan jam biologis penduduk Eropa Utara. Menurut Suhardja, para siswa juga dibiasakan bangun tidur pukul 11.00 WIB dan belajar hingga pukul 02.00 WIB. "Supaya mereka tak kaget dengan perbedaan waktu," ujarnya.
Masyhur dan kawan-kawan pun belajar serius tentang pemandangan langit utara beserta bintang-bintangnya. Ini agar mereka gampang menjawab pertanyaan karena Olimpiade digelar di Ukraina. Selama ini para siswa lebih terbiasa mengamati bintang-bintang di langit selatan. "Itu berbeda sekali. Kalau tak dipelajari, kita tak akan bisa menjawab pertanyaan," kata Suhardja.
Bekal yang diberikan selama sebulan di Lembang rupanya amat berguna. Dalam ujian praktek, Jayawijayaningtiyas (SMAN 3 Bandung) mampu meraih urutan kedua ujian praktek, di bawah Maria Kozlovskaia dari Moskwa Land. Lalu, Masyhur mengukir prestasi luar biasa dengan mengerjakan soal teori dengan hasil sempurna. Karena itu pula ia berhasil membawa medali emas.
Anggota tim Indonesia sama sekali tidak tegang saat mengikuti lomba. Soalnya, suasana Olimpiade Astronomi amat santai. "Suasananya tidak seperti lomba. Tidak ada suasana saling bersaing. Yang ada hanya keakraban antar-peserta," kata Rizky Rahmayanti dari SMPN 1 Ponorogo
Di waktu senggang, mereka malah sempat main kartu remi dengan para siswa asal Cina. "Kami akrab dengan anak-anak dari Cina karena, di hotel, kamar kami satu lantai dengan kamar mereka," ujar Rizky. Dan suasana riang semakin terasa menyenangkan setelah ia dan rekan-rekannya mengantongi banyak medali.
Rian Suryalibrata, Imron Rosyid (Klaten), Ahmad Fikri (Bandung), Rohman Taufiq (Ponorogo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo