Bung Karno mangkat. Di dalam peti berselimut bendera Merah Putih itu, terbaring sebuah misteri bernama Bung Karno. Hingga kini kematiannya dan ''lengser"-nya dari jabatannya sebagai presiden masih menjadi kontroversi sejarah. Dan Boediardjo, bekas Menteri Penerangan dan belakangan dikenal sebagai penggemar fotografi, merekam misteri itu dengan imaji hitam putih yang mencekam.
Inilah salah satu foto dari 73 karya fotografi Boediardjo yang dipamerkan di Galeri Cahaya. Dokumentasi mendiang mantan Menteri Penerangan itu hanyalah sebagian kecil dari hasil rekamannya selama 50 tahun menekuni hobi fotografi, yang dipamerkan dengan tajuk ''Haji Boediardjo Mendongeng dengan Foto". Inilah pameran yang diprakarsai generasi muda fotografi untuk mengenang 1.000 hari wafatnya sosok yang selalu membawa kamera di sela berbagai kesibukannya menjalankan berbagai profesi dalam hidupnya itu. Boediardjo, selama hidupnya, pernah dikenal sebagai prajurit TNI AU, diplomat, petinggi negara, budayawan, dalang, dan pencinta anggrek. Perhelatan yang menampilkan serangkaian foto Bung Karno dan puluhan foto lainnya itu—antara lain Rendra—adalah pameran tunggal keduanya, setelah menggelar yang perdana di Galeri Nasional, tepat pada ulang tahunnya yang ke-75, tiga tahun silam. Sebagai penyelenggara, fotografer Deniek Sukarya, dibantu tim kurasi Nico Dharmajungen, Roy Genggam, Alphons Mardjono, Warren Kiong, dan Ratkocodomo, harus memilih 73 foto dari 90.000 slide koleksi pribadi Pak Boed yang terawat rapi di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Wawasan, kejelian membidik, ketepatan menyentuh shutter, rasa humor, punya intuisi merekam suasana jiwa, adalah tonggak penting fotografi kakek 18 cucu ini. Foto Tari Lenso, misalnya, tidak sekadar memperlihatkan gerak kaki lincah Bung Karno, yang dengan mata setengah terpejam menggamit jari-jari kanan Endang Ruganika Asrahardjo, putri mantan Kasad Bambang Soegeng, berputar di suatu floor tari lenso, tapi sekaligus mengungkap karakter Bung Karno yang flamboyan. Karya dokumenter lainnya diberi judul BK di Kairo, yang menggambarkan Bung Karno (BK) sedang duduk sumringah, dikelilingi lima perempuan cantik, staf lokal Kedutaan Besar RI di Mesir, sementara agak terpisah di sebelah kanannya duduk istri Duta Besar RI di Mesir, Sanusi Hardjadinata, mengenakan kebaya lengkap.
Lima tahun menjadi atase udara di Kairo (1956-1961), demikian tulis Boediardjo dalam memoarnya, merupakan saat-saat penting dalam perjalanan hidupnya. Salah satunya karena dia bisa memanfaatkan hobi fotografinya untuk mengabadikan sejumlah artefak bangsa yang terkenal dengan piramidnya itu, selain untuk mengobati kekecewaannya karena gagal menjadi penerbang tempur hanya karena tingginya tidak menyentuh 165 sentimeter. Dalam periode itu dia juga mengabadikan sebuah foto Bung Karno berjalan dengan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dalam suatu upacara resmi. Boediardjo mengabadikannya dari sebelah kanan Bung Karno sambil melangkah bersama rombongan. Foto itu mampu memperlihatkan karakter kedua pemimpin Dunia Ketiga terkemuka itu. Keras dan kukuh.
Masih dalam periode itu, Pak Boed juga membuat satu dokumentasi keluarga yang menyentuh. Foto Sedanku diabadikannya di kompleks piramid Giza, dekat Kairo. Mercedes dinasnya yang ditumpangi keluarganya itu diabadikan saat mereka harus berhenti karena putra sulungnya, Dandung Kahono, yang saat itu berusia sembilan tahun, mendadak ingin buang air besar. Sedanku dihasilkan dari kejelian dan refleks melihat yang terlatih dan itu salah satu karya terbaik dari semua koleksi pameran.
Masih dalam periode diplomat, saat menjadi duta besar RI di Kamboja pada 1965-1968, Boediardjo merekam suatu karya menarik lainnya. Foto Perpisahan, yang diabadikan saat Bung Karno berpelukan erat dengan Norodom Sihanouk dan disaksikan Putri Monique di ujung kunjungan resmi di Phnom Penh itu, direkam dari tangga pesawat, sebuah sudut paling tepat untuk mengungkap suasana perpisahan dua sahabat tersebut. Karya lainnya adalah semacam retrospeksi dari keberagaman bidang resmi ataupun informal yang ditekuni Boediardjo, termasuk foto BK Mangkat, Dandung dan Leo Watimena di Kokpit Unta, Anak Tibet, Ulama, Bunga dari Ciputat, Bunga Matahari, Gerhana Matahari di Borobudur, Sang Buddha, Lomba Bekisar, Di atas Sungai Nil, Raksasa Raksasa, dan Ibu dan Mandra.
Boediardjo mengaku gandrung fotografi sejak masa kanak-kanak, karena ayahnya adalah seorang juru penerang yang menggunakan medium fotografi untuk menyampaikan informasi. Ia akhirnya belajar fotografi saat bersekolah di MULO Magelang, Jawa Tengah. Adalah seorang Jepang yang membuka studio foto di Magelang yang melihat bakat terpendam Boediardjo dan meminjamkan kamera kepadanya. Dia mempersilakan Boediardjo muda berlatih memproses film di kamar gelapnya.
Sejak itulah Boediardjo ''terjerumus" menjadi fotografer amatir. Saat itu ia menjadi prajurit radio TNI AU (1949-1950), profesi yang terpaksa ditekuninya setelah gagal menjadi penerbang. Dia bahkan sempat membantu tim fotografi IPPHOS meliput pejuang RI di hutan Kalimantan. Itu karena persahabatannya dengan Frans dan Alex Mendur, Umbas dan Alex Mamusung. Ketika menjadi siswa di Royal Air Force Staff College (1952-1954), di Andover, Inggris, barulah dia berhasil membeli kamera Leica bekas, yang menjadi sahabatnya ke mana-mana. ''Ayah kelihatan gagah dengan Leica yang digantung sebatas dada," cerita putra sulungnya, Dandung, 50 tahun, yang kini menjadi seorang pelukis karena filosofi fotografi pelan-pelan ditularkan sang ayah sejak dia berusia sembilan tahun.
Kendati ia punya segudang minat, menurut Dandung, fotografi adalah kecintaannya. Itulah sebabnya, Boediardjo berurai air mata saat 90.000 koleksi negatif dan slide pribadinya hangus saat kantor PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan—tempat dia menjabat direktur utama pada 1985—terbakar. ''Ayah sedih dan betul-betul terpukul saat itu, kendati koleksi sisanya masih aman tersimpan di Jalan Teuku Umar," tutur Dandung. Fotografi adalah minat yang serius ditekuninya dan menjadi pelipur lara yang setia menemaninya sejak vonis medis tahun 1987 menyatakan dia mengidap kanker prostat. Dia lalu banyak bepergian, memendam penderitaannya, tapi tentu dengan kamera setianya.
Saat kembali mengunjungi Kairo, Boediardjo membuat Potret Diri yang dramatis, mengharukan, dan inilah koleksi terbaik yang dibuat Boediardjo dalam pameran tersebut. Tidak ada wajah tampan dan rambutnya yang memutih. Dia mengabadikan bayangan badannya sendiri yang tengah memotret, di bebatuan dan pasir kompleks pemakaman Mesir Kuno, di Giza, tempat favoritnya, dengan tiga piramid (makam Khufu 2549-2460 SM, Khephren 2518-2493 SM, dan Menkaure 2488-2460 SM) dan langit biru yang menjadi latar belakangnya. Hening dan senyap, tidak ada siapa-siapa lagi di sana, hanya Boediardjo tua dan bayangannya, juga mungkin kontak pribadinya dengan Yang Maha Esa.
''Sekarang pergelaran wayang telah selesai. Saya masih harus menggelar karya-karya saya supaya masyarakat tahu apa hasilnya kalau saya membawa-bawa kamera ke sana-kemari. Inilah potret dunia saya, musik hidup saya, dongeng saya," demikian tulisnya dalam buku memoarnya. Akhirnya gulita. Pada 15 Maret 1997, Boediardjo kembali ke pangkuan Sang Khalik, saat fajar tengah berusaha menerobos kepekatan malam. Dia seolah menyambut fajar kedua dalam catatan kehidupannya. Makamnya bersebelahan dengan pusara ayah-bundanya di Tingal, dekat Candi Borobudur, desa kelahirannya. Tingal—sebuah kata Jawa—berarti mata atau melihat. Tempat itu, seperti juga kamera, menjadi saksi dalam hidup.
Oscar Motuloh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini